35

Khadija sudah beberapa bulan menjalani kehidupan di kontrakan barunya. Semua bergulir seperti biasanya. Rutinitas yang membosankan kembali dialaminya. Rencana yang sudah dibahas bersama Arina dan Azmi untuk hunting kuliner dan mengunjungi beberapa tempat wisata sementara ditunda karena kesibukan jadwal kuliah yang lumayan padat.

Tahun ini Azmi akan wisuda, kuliahnya dia sudah selesai. Sementara Khadija baru saja memasuki semester ketiga. Namun demikian, Azmi masih sering membantu Khadija karena memang mereka bekerja pada pabrik yang sama. Semua berjalan baik-baik saja sampai Khadija berada pada semester empat kuliahnya.

Kondisi perekonomian global terganggu karena adanya issue kesehatan, virus covid melanda seluruh dunia dan membuat lumpuh perekenomian. Seluruh dunia terkena dampaknya termasuk Indonesia. Naas, pada saat bersamaan semua sedang down, kontrak kerja Khadija berakhir. Dengan sangat berat, Bu Riska yang dulu menjanjikannya untuk mempertahankannya sampai kuliah selesai harus melepasnya.

Hampir lima puluh persen dari pekerja kontrak di pabrik tempat kerja Khadija terkena dampaknya. Semua di rumahkan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kondisi ini ternyata memiliki efek domino terhadap kehidupan, semua terkena termasuk juga sektor penjualan properti. Khadija yang memang masih menjadi marketing properti freelance cukup kesulitan mendapatkan calon buyer, rata-rata semua tidak tertarik untuk investasi pada masa kritis seperti itu.

Azmi, sahabat yang selalu membantunya hanya bisa membantu alakadarnya, karena kondisi keuangan semua staff yang bertahan juga semua berkurang. Khadija memutar otak mengingat tabungannya sudah semakin menipis dipakai untuk memenuhi kebutuhan harian. Dalam masa seperti itu Khadija hanya mengelus dada, tak ada satupun dari keluarga yang setiap bulan dikiriminya uang yang bertanya, bagaimana kehidupannya sekarang. Khadija sudah mengabari mereka jika kontrak kerjanya selesai dan tidak bisa memberikan uang bulanan seperti biasa, namun tidak ada tanggapan yang signifikan.

Siang itu Khadija sedang berjalan sendiri ditengah terik, menyusuri jalanan mengunjungi ruko-ruko yang mungkin sedang membutuhkan lowongan. Beberapa map lamaran sudah siap diransel punggungnya. Peluhnya sudah mulai bercucuran, dia sudah berjalan cukup lama. Sudah beberapa hari ini dia memulai harinya dengan berkeliling mencari pekerjaan dengan berjalan kaki. Menempuh jarak berkilo-kilo menyusuri tiap gang, perumahan dan ruko.

Berbagai kata maaf dan penolakan sudah menjadi lalapannya setiap hari, namun itu tidak membuatnya berhenti. Hidup harus tetap berjalan, karena hidupnya adalah tanggungjawabnya. Perutnya sudah berteriak minta diisi, namun karena dia sedang berhemat dengan mengakalinya Cuma makan sehari dua kali, siang itu dia hanya membawa air mineral pada botol minum yang disimpan diranselnya. Dia berhenti, mencari mesjid di pinggir jalan untuk menumpang melepas lelah.

Khadija mengeluarkan air mineral yang dibekalnya untuk meredakan rasa lapar yang menimpanya. Gadis itu menyeka keringat diwajahnya menggunakan ujung kerudungnya yang menjuntai. Kulitnya terlihat lebih hitam karena sering terkena matahari. Dia bersandar pada tiang masjid sambil menunggu hawa panas sedikit memudar untuk mengambil wudhu. Tiba-tiba ada dua orang wanita yang mengambil tempat duduk tidak jauh dari mereka. Terlihat masih mengenakan seragam kantoran. Mereka duduk dan melepas sepatu pantofelnya, sepertinya kedua orang itu sehabis menjalankan dinas luar. Khadija tanpa sengaja mencuri dengar obrolan mereka.

“Sis, gimana pembantu Loe, beneran jadi pulang kampungnya?” ujar wanita yang memakai blezer warna tosca sambil touch up make up nya.

“Iya Ren, dia mau dinikahkan katanya, sekarang aja rumah gue udah ga tau kayak gimana bentukannya, Mas Reza udah ngomel-ngomel mulu, tau sendiri dia kan apik, huh,” ucap wanita dengan blezer warna peach.

“Loe udah coba nyari ke yayasan?” tanya wanita dengan blezer tosca.

“Udah, tapi masih belum dapat yang cocok, kemarin udah beberapa orang gue pulangin lagi,” ucap wanita berblezer peach itu.

Khadija yang mendengar percakapan mereka mencoba memberanikan diri menghampiri kedua orang itu. Dengan wajah pucatnya dia mencoba menebar senyum.

“Assalamu’alaikum, maaf ganggu Bu,” ucap Khadija terjeda ketika wanita dengan blezer tosca itu melipat tangannya dengan mengucap maaf.

“Bu, saya bukan mau minta-minta,” Khadija mencoba tersenyum meski terasa sakit, dia mengerti dikiranya dia pejuang recehan yang tidak mau bekerja keras.

“Oh maafin teman saya Mba, dia emang gitu, ada apa ya Mba?” wanita dengan blezer peach itu merasa tidak enak.

“Maaf sebelumnya, tadi saya mencuri dengar jika ibu sedang mencari pengganti pembantu rumah tangga, kebetulan saya sedang mencari pekerjaan, apakah saya bisa mencobanya?” tanya Khadija.

“Kamu siapa, bagaimana kami yakin kalo kamu orang baik-baik dan bukan sindikat dari perampokan,” wanita dengan blezer tosca itu terlihat sinis.

“Hissh, Rena!” Wanita dengan blezer peach itu mendengus kesal karena sahabatnya berkata demikian.

“Sisy, sekarang lagi zaman susah, kamu jangan langsung percaya saja sama orang, kebanyakan para sindikat memanfaatkan wajah-wajah lugu seperti dia, gimana coba kalo kejadian kayak tetangga komplek Loe?” Rena menatap serius pada sahabatnya. Wanita yang dipanggil Sisy itu terlihat berpikir. Khadija mengerti situasi yang dia hadapi, dia segera membuka tas ranselnya dan mengambil map lamaran yang memang sudah disiapkannya.

“Ini Bu, ibu bisa check berkas saya, ini lamaran kerja saya, lengkap juga ada packlaring dari perusahaan lama, saya habis kontrak karena efek krisisi global Bu,” ucap Khadija. Sisy menerima map itu dan membukanya. Rena ikut mengecheck juga.

“Ini kan kamu udah keluar dari perusahaan itu, bukan jaminan jika kamu sekarang tidak terlibat sindikat,” Rena masih mencoba mencari informasi. Khadija terlihat berfikir sejenak, kemudian dia teringat sesuatu, dia mengambil sebuah kartu dari dalam tasnya.

“Ini Bu, ini kartu mahasiswa saya, sekarang saya sedang menempuh S1 di universitas XXX dan masih aktif, saya semester tiga, Ibu bisa memastikannya dengan menghubungi kampus saya untuk mengecheck,” ucapnya sambil menyodorkan kartu mahasiswanya. Rena menerimanya dan memperlihatkannya pada Sisy.

“Wah, selera kamu tinggi juga ya, ini kan kampus yang cukup populer di kota ini?” ucap Rena mulai ramah.

“Saya hanya sedang melakukan yang terbaik Bu untuk masadepan saya, makanya itu saya mau bekerja apa saja agar bisa tetap bisa makan dan bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu,” ucap Khadija lirih.

“Baik Mba, sore ini saya pulang kerja paling sampai rumah pukul 18.00, Mba bisa ke rumah saya ya, ini alamatnya, saya harus bicara juga pada suami,” ucap Sisy sambil memberikan sebuah kartu nama. Khadija mengangguk dan menerima kartu nama itu dengan tersenyum, jaraknya lumayan, tiga puluh menitan dari kontrakannya kalau jalan kaki.

“Baik Bu, saya akan segera mengubungi ibu, permisi Bu, saya mau sholat dulu,” Khadija undur diri dan meninggalkan kedua wanita itu yang kini menatapnya iba.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top