34
Tak berapa lama, Khadija sudah tiba. Dia langsung menuju ke kamar Rasyid lagi, dia yakin Khalima masih disana. Sebelum naik, dia mencari Bibi Elsa untuk meminta disiapkan sendok dan mangkuk juga segelas air putih.
Tok Tok Tok
Khadija mengetuk pintu kamar yang setengah terbuka, benar saja Khalima masih ada disana. Dia langsung menyimpan nampan yang dibawanya diatas nakas. Kemudian dia mengambil mangkuk bubur dan diserahkannya pada Khalima.
“Lha kho aku?” gadis itu cemberut.
“Kamu kan adiknya Ima, dia mana bisa makan sendiri,” merlirik Rasyid yang masih selimutan, matanya masih terpejam.
“Males ah,” Khalima hendak beranjak pergi, namun lengan bajunya ditarik Khadija. Dengan tatapan mata memaksa, Khadija memberikan mangkuk bubur pada gadis itu. Dengan malas, Khalima menerimanya.
“Kak, bangun, makan dulu tar minum obat,” Khalima menarik selimut Rasyid yang menutup hingga dadanya. Lelaki itu hanya menggeliat dan menarik selimutnya kembali, wajahnya terlihat semakin pucat dan bibirnya kering.
Pluk Pluk Pluk
Khalima menguyel-uyel pipi Kakaknya, akhirnya lelaki itu membuka matanya.
“Aaaaa,” Khalima menyendokan bubur pada mulut Rasyid, lelaki itu malah menepis tangannya.
“Ga laper Dek,” ucapnya.
“Kayak anak kecil ih, Nayya aja kalo sakit ga manja,” cebik Khalima. Akhirnya karena bosan mendengar ocehan adiknya, lelaki itu perlahan mau membuka mulutnya. Hanya beberapa sendok bubur yang masuk.
“Udah di kompres Ma?” Khadija bertanya pada Khalima, gadis itu menunjukkan baskom berisi air bekasnya tadi mengompres kakaknya.
“Kamu kenapa khawatir banget sih?” Khalima memicingkan mata kearah sahabatnya.
“Soalnya dia sakit pasti gara-gara aku, semalem kami kehujanan, jaket Kak Rasyid aku yang pake.” Khadija menunduk merasa bersalah.
“Bukannya tadi malem Kakak pergi bareng mak lampir ya?” Khalima memicingkan mata kearah Rasyid.
“Udah lah ga usah dibahas.” Lelaki itu tampak malas berdebat dengan adiknya.
Tok Tok Tok
“Den, Non, ada Non Merlina dibawah mau ketemu Den Rasyid,” ucap Bibi Elsa.
“Suruh pulang aja Bi, bilangin Kakak ga ada di rumah,” ucap Khalima malas, dia memang sangat tidak suka dengan Merlina. Rasyid hanya diam seolah mengiyakan perintah adiknya.
“Bibi udah terlanjur bilang Den Rasyid lagi sakit Non,” ucap Bibi Elsa terlihat takut dengan Khalima.
“Dija, ini tolong ya, kamu kan turut andil juga atas sakitnya dia,” ucap Khalima sambil memberikan mangkuk bubur pada Khadija.
“Hah, apaan? Engga ah.” Khadija menolak.
“Kamu pilih mau nemuin Merlina atau nyuapin Kakak?” Khalima menatapnya mengintimidasi. Akhirnya dengan ragu, Khadija mengambil mangkuk bubur itu, dia melirik kearah Bibi Elsa.
“Bibi, temenin Dija dulu disini, masa berduaan sama bukan muhrim dalam kamar,” ucap Khadija pada Bibi Elsa, kemudian dia duduk di kursi samping tempat tidur Rasyid. Bibi Elsa mengangguk dan berdiri dsamping tempat tidur Rasyid, sejejer dengan Khadija. Sementara itu Khalima berjingkat turun untuk menemui tamunya, entah apa yang akan dia lakukan pada gadis itu.
“Kak!” Khadija menyodorkan sendok ke mulut Rasyid, lelaki itu terlihat canggung tapi akhirnya dia membuka mulutnya.
Baru saja beberapa suapan makanan yang masuk, tiba-tiba pintu terbuka seketika. Gadis cantik bertubuh tinggi dengan rambut tergerai itu kini berada didepan kamar Rasyid. Semua yang ada dalam ruangan secara serentak menoleh.
“Al!” Gadis itu berlari menghampiri lelaki yang tengah terbaring itu. Rasyid tidak tahu harus berkomentar seperti apa, badannya yang terasa panas tak karuan dan kepala yang berdenging tidak bisa membuatnya berpikir.
Merlina menatap tidak suka pada Khadija yang sedang memegang mangkuk bubur. Dengan kasar dia merebut mangkuk itu. Tatapan matanya menyalak tajam seolah-olah hendak menerkam. Khadija bergeser dengan tenang.
“Kak Rasyid, makasih ya tumpangannya semalam, maaf gara-gara aku Kakak jadi sakit kayak gini, karena pacar Kakak udah datang, saya permisi khawatir ganggu, lagian urusan aku sama Nayya udah selesai, assalamu’alaikum,” ucap Khadija meninggalkan ruangan itu.
“Hei, orang ga punya sopan santun!” Khalima baru saja muncul di pintu dengan nafas terengah-engah. Rupanya ada sesuatu yang terjadi dibawah.
Merlina hanya meliriknya dan tersenyum sinis karena merasa berhasil mengelabui gadis itu. Dia meminta Khalima untuk mengambilkan air minum, namun disaat gadis itu ke dapur, Merlina langsung mencari Rasyid ke kamarnya.
“Kenapa Ima?” Khadija yang baru saja hendak keluar mencoba menepuk-nepuk bahu sahabatnya untuk menenangkannya, gadis itu terlihat marah sekali.
“Sudah lah malas.” Khalima berbalik kembali turun menemani Khadija yang hendak pulang.
“Ima, tolong sampaikan pengertian pada Nayya ya, aku belum sempat bicara padanya, sepertinya aku akan pindah kontrakan dalam waktu dekat, Mas Azmi sedang membantu mencarikannya untukku,” ucap Khadija.
“Baiklah, nanti kita boleh main kan, Nayya pasti kangen sama kamu Ja, dia kan udah menganggap kamu seperti kakaknya sendiri, padahal aku pun harap kamu bisa jadi kakak kami.” Khalima terkekeh, merasakan harapannya agar Khadija bersanding dengan Rasyid akan sia-sia. Bagaimanapun Khadija adalah gadis baik-baik yang masih belum terkontaminasi, sementara kakaknya seorang playboy yang sudah sering bergonta-ganti wanita.
“Main lah, tapi kontak dulu, kamu tau sendiri kan jadwal ku padet, ya kuli, ya kuliah.” Khadija terkekeh sendiri.
“Uokeh!” Khalima menautkan ujung jari telunjuk dengan jempolnya membentuk hurup o.
“Assalamu’alaikum.” Khadija berpamitan meninggalkan rumah utama.
“Wa’alaikumsalam.” Khalima menatap punggung sahabatnya yang berlalu.
***
Seminggu setelah semua kejadian itu berlalu, Azmi sudah mendapatkan sebuah kontrakan yang terbilang murah dan dekat juga dengan kampus. Azmi tidak mencarikan kost-kostan mengingat Khadija sudah memiliki barang-barang sendiri di kontrakan lamanya.
Khadija berpamitan pada Khalima dan Nayya juga Bibi Elsa, Nayya menangis namun akhirnya bisa ditenangkan. Dia tidak berpamitan pada Rasyid karena memang lelaki itu sedang tidak ada di rumah menjelang kepindahannya. Khadija dibantu oleh Azmi dengan menyewa mobil untuk pindahan.
Khadija sebetulnya tidak tega menatap Nayya dengan mata sembab melepas kepergiannya. Gadis kecil yang haus kasih sayang itu sangat dekat dengannya. Tapi dia juga memang harus benar-benar berhitung mengingat biaya kuliah yang diluar perkiraan ternyata jumlahnya lumayan.
Menjelang sore, Khadija sudah selesai membereskan semua barang-barang yang dibawanya. Badannya lumayan merasa lelah. Khadija sedang bersandar pada dinding kontrakannya ketika Azmi datang dengan membawa dua porsi sop iga dan nasi. Lelaki itu memang dewasa dan perhatian, dia mengerti tanpa Khadija memintanya untuk mencari makanan, dia sudah melakukannya sendiri.
Mereka berdua menghabiskan makan siang menjelang sorenya dengan lahap di kontrakan tiga petak yang menjadi rumah baru Khadija. Mereka duduk berselonjor sambil menonton televisi, tak banyak percakapan yang terjadi. Pikiran mereka berkelana sendiri-sendiri. Khadija masih memikirkan Nayya, dan meyakinkan jika keputusannya adalah hal yang tepat. Sementara Azmi sedang memikirkan bagaimana caranya agar Khadija tahu tentang perasaannya tanpa dia harus mengatakannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top