33

"Berubah itu butuh waktu dan proses, bukan hanya kalau, andai, jika, itu baru rencana Kak,” jawab Khadija enteng. Rasyid hanya menghela nafas, ternyata gadis yang ada disampingnya itu memang benar-benar tahan godaan. Berbeda dengan wanita-wanita lainnya yang selama ini dia dekati.

Angin berhembus semakin dingin, malam itu terlihat beberapa awan menggumpal mulai menutupi sinar bulan. Khadija yang sejak tadi menatap langit, segera menghabsikan minuman jahe susu yang tinggal setengah. Namun Rasyid masih anteng saja mengupas kacang rebus satu per satu. Khadija menghela nafas, bagaiamanapun itu porsi kacang rebus masih ada setengahnya.

“Kak, ayo nanti keburu ujan, makannya cepetan!” ucap Khadija.

“Bentar lagi, tinggal dikit, kamu sih beli kacang sama kulitnya, jadinya lama makannya,” gerutunya sambil sekilas menatap ke langit yang memang sudah tampak mau hujan.

“Namanya juga kacang rebus, mana ada kacang rebus ga ama kulitnya,” Khadija mendengus kesal. Namun tak berapa lama gadis itu menghampiri Rasyid kemudian dia membantu mengupas kulit-kulit kacang itu. Rasyid menatapnya lekat wajah manis yang hanya berjarak beberapa senti itu yang tengah menunduk dan khusuk mengupaskan kacang untuknya.

“Ayo cepetan makannya, nanti keujanan,” ucap Khadija tanpa menoleh, gerakan tangannya begitu cekatan mengupas kulit-kulit kacang tersebut. Sementara ada senyum yang mengembang dari lelaki yang sejak tadi menatapnya sambil sibuk juga memakan kacang yang sudah dikupaskan.

“Udah beres,” Khadija mengangkat kepalanya hendak melihat lagi ke langit namun sudut matanya melihat sepasang mata itu masih memperhatikannya, membuat gadis itu segera kembali ke tempat duduknya dan melempar pandangan ke sembarang arah. Rasyid hanya tersenyum melihat sikapnya.

“Ayo!” Rasyid melirik Khadija dan mengajaknya pulang. Gadis itu mengangguk. Khadija berjalan duluan sementara Rasyid membayar dulu minuman yang tadi mereka pesan.

Rintik-rintik gerimis sudah mulai turun ketika honda wing tersebut sudah mulai bergerak. Angin malam bercampur gerimis terasa menjadi semakin dingin. Terutama Rasyid, lelaki itu hanya memakai kaos dengan lengan pendek dan celana dibawah lutut, hanya kepalanya saja yang aman terlindungi oleh helm full face. Khadija masih lebih baik karena memakai jaket yang Rasyid berikan padanya tadi.

Akhirnya mereka tiba didepan kontrakan Khadija dengan kondisi setengah basah. Beruntung boneka frozennya masih terbungkus plastik. Khadija bergegas turun dan berlari menuju kontrakan menghindari rintik-rintik hujan yang semakin besar. Sementara Rasyid terlihat sudah menggigil dan segera memutar balik motornya menuju rumah utama.

***

Beruntung hari itu hari minggu, Khadija bangun kesiangan karena insiden hujan semalam. Dia bergegas mencuci jaket Rasyid yang dipakainya tadi malam. Kemudian berjemur sebentar menghangatkan badan. Setelah itu dia bergegas menuju rumah utama sambil membawa boneka frozen untuk Nayya. Setelah memberikan boneka itu dia berniat untuk mencari sarapan.

“Assalamu’alaikum,” Khadija mengucap salam.

“Wa’alaikumsalam,” Khalima muncul dari dalam, sepertinya gadis itu baru bangun tidur.

“Kamu tumben kesini pagi-pagi, emang ga kuliah?” tanya Khalima sambil masih berdiri didaun pintu.

“Yang pagi dosennya kosong, tadi ngasih tugas aja di grup, paling nanti agak siangan,” ucap Khadija.

“Eh Nayya mana?” Khadija mengedarkan pandangan mencari gadis mungil itu.

“Ada di kamar Kakak, Kakak lagi demam, lagian udah gede kayak anak kecil, pulang malem ujan-ujanan, ayo ke kamar aja, Nayya ga mau ninggalin Kakak,” ajak Khalima sambil ngomel atas kelakuan kakaknya. Khadija jadi merasa bersalah, bagaimanapun Rasyid sakit setelah mengantarnya pulang.

Kedua gadis itu berjalan beriringan. Baru pertama kali bagi Khadija masuk kedalam rumah besar itu. terlihat di ruan tengah masih tertata rapi, artinya Nayya belum keluar untuk berbuat onar. Beberapa photo terpasang disana, photo-photo masa kecil Rasyid dan Khalima, ada juga photo-photo Nayya, namun Khadija tak melihat pajangan photo orang tua mereka.

“Aku selama ngontrak disini, belum pernah ketemu orang tua kamu,” ucap Khadija sambil mengekori Khalima ke kamar Rasyid. Kamar Rasyid terletak di paling belakang dan di lantai dua.

“Mereka hanya sesekali kesini, tinggal di apartement biar deket ngantor katanya, kami tinggal sama Bibi Elsa, dia yang melayani semua kebutuhan kami,” ucap Khalima sambil menaiki anak tangga.

“Oh, gitu?” Khadija hanya manggut-manggut. Mereka akhirnya tiba di kamar Rasyid. Khalima langsung mendorong pintu kamar yang setengah terbuka.

“Nayya, dicarrin Kak Dija,” Khalima memberitahu adik perempuannya yang sedang telungkup di tempat tidur, di samping Rasyid yang terbaring lemah. Terlihat wajahnya pucat, matanya terpejam, selimut tebal membungkusnya sampai ke leher.

“Assalamu’alaikum Nayya,” Khadija tersenyum melihat gadis kecil itu bergega bangun menyambutnya.

“Kakak Jija!” teriaknya, lupa sudah dia sedang menunggui orang sakit sehingga lompat-lompat dan teriak.

“Ssssttt,” Khadija mengisyaratkan Nayya untuk diam. Gadis itu menurut, namun Rasyid sudah terlanjut membuka mata, terlihat matanya sedikit merah dan berair.

“Ini hadiah buat Nayya dari Kak Jija,” ucap Khadija sambil memberikan kantong plastik berisi boneka Frozen. Nayya menerimanya, dan kembali melompat-lompat senang.

“Holeeee, boneka flozen agiii, holeee!” gadis itu sudah seutuhnya lupa kalau dia sedang menunggui Kakaknya yang sedang sakit. Dia bergegas turun dari kasur dan berlari menuju keluar, menuju kamarnya yang berdampingan dengan Rasyid.

“Nayya mau kemana?” Khadija bertanya.

“Mau main boneka flozen di kamal!” ucapnya tanpa menoleh.

“Ima, sebenernya aku mau sekalian bujuk Nayya biar bisa ngaji di TPA, tapi orangnya keburu lari,” ucap Khadija.

“Lha emang kalo ngaji di kamu kenapa?” Khalima bertanya sambil duduk di samping tempat tidur kakaknya.

“Aku mau pindah kontrakan, nyari yang deket kampus, biar ga terlalu capek dan ga terlalu boros ongkos,” ucap Khadija. Sementara lelaki yang biasanya usil dan jahil itu hanya memejamkan mata menyimak obrolan mereka.

Khadija memberanikan diri mendekat, dengan ragu punggung telapak tangannya menyentuh dahi lelaki itu. Bagaimanapun dia tetap turut andil atas sakit yang menimpanya. Mungkin Rasyid tidak akan sakit jika jaketnya tidak dia pinjamkan.

“Panas Ima,” ucap Khadija melirik kearah Khalima.

“Biarin aja, bandel,” cebik Khalima, seolah sakitnya Rasyid bukan masalah untuknya.

“Hush, kamu tuh gitu, kalau sesama saudara itu harus saling menjaga, cepetan kamu minta ambilin handuk sama air ke Bibi Elsa, ini harus di kompres, aku pergi dulu beli paracetamol sama beli sarapan,” ucap Khadija sambil menarik lengan Khalima untuk mengikutinya.

“Iya ih, kamu kelamaan jadi bawel ya,” Khalima menepis tangannya, namun dia tetap menuruti perintah Khadija, gadis itu pergi ke dapur untuk mencari Bibi Elsa dan dibuatkan air untuk mengkompres kakaknya.

Sementara itu Khadija pergi mencari sarapan dan mencari paracetamol untuk meredakan panas Rasyid. Lelaki menyebalkan yang sudah banyak membantunya. Dia menuju penjual bubur ayam langganan Khalima dengan tergesa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top