31
“Oh iya, untuk acara tadi hunting kuliner nanti aja weekend depan, sekalian aku pengen nyobain main di time zone, terus ke waterboom gitu lah, sama satu lagi ada rumah salju juga kan yang baru buka, kebetulan jadwal dosen di hari minggu agak sepi karena beberapa baru habis ujian, biasanya hanya ngasih materi dan tugas saja yang di share di grup,” ucap Khadija segera mengambil keputusan, mengingat hatinya sudah mulai tidak baik-baik saja.
“Okeyyy,” Arina begitu bersemangat.
Setelah makan, Arina dan Khadija membungkus satu paket makanan untuk dikontrakannya, kemudian mereka berpisah pulangnya, kebetulan Arina mau mengambil pakaian di rumah temannya yang dekat situ, sementara Azmi ada keperluan lain katanya. Setelah selesai membayar mereka berpisah. Khadija menyusuri mall itu sendirian, gadis itu kini sudah tidak canggung lagi, dia sudah berani jalan sendirian. Penampilannya semakin hari semakin menarik, dia semakin pandai memadu padankan setelan setelan pakaian dengan kerudungnya. Kakinya melangkah cepat karena tidak ada yang diajak berbincang, matanya melirik ke kanan-kiri mencari-cari toko mainan.
Terlihat sebuah Kids Store yang bersebelahan dengan toko aksesoris wanita. Dia segera memasukinya. Khadija berjalan mencari-cari rak yang menyediakan boneka. Khadija teringat jika Nayya sangat menyukai boneka Frozen. Dia memilih sepasang boneka Anna dan Elsa. Boneka yang terlihat cantik dibalut dengan gaun berwarna tosca itu cukup menarik. Khadija bergegas menuju kasir dan membayarnya. Setelah selesai, dia melangkah keluar dari Kids Store untuk mencari eskalator karena dia akan langsung pulang, waktu sudah cukup malam.
Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba dia teringat Melati. Usia Nayya hampir sama dengan Melati, tapi Khadija sendiri tidak tahu apakah Melati menyukai boneka frozzen juga, karena selama ini mainan yang Melati miliki hanya mainan yang harganya dibawah tiga puluh ribuan. Dia diam mematung beberapa saat, tidak sadar jika ada sepasang mata yang memperhatikannya dari toko aksesoris wanita.
Setelah hatinya memutuskan, Khadija kembali masuk dan mengambil satu set boneka frozen lagi untuk Melati. Dia akan mengirimkannya menggunakan kurir, gadis itu mungkin akan senang ketika mendapat mainan baru. Dan mungkin ini akan menjadi mainan termahal yang Melati miliki. Khadija tersenyum setelah membayar dua mainan itu untuk gadis-gadis kecil yang disayanginya.
Khadija terus berjalan menuju pintu keluar, dia sudah mengotak-atik ponselnya untuk mencari ojek online ketika dilihatnya seorang lelaki tua tengah duduk ditrotoar. Badannya terlihat ringkih, wajahnya kuyu, matanya terlihat lelah, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam tapi dagangannya terlihat masih banyak. Hati Khadija terenyuh, begitulah dia, gadis itu akan selalu berempati dan berandai-andai jika dia terlahir di kota itu, mungkin pekerjaan lelaki itu dikerjakan oleh ayahnya.
Khadija menghentikan jemarinya yang hendak menekan tombol pesan pada aplikasi ojek onlinenya. Dia menghampiri lelaki itu. Bapak tua itu ternyata menjual kacang tanah yang direbus, jualannya terlihat masih penuh namun satu jam lagi mall akan tutup. Khadija menarik nafas menenangkan hatinya, menepis rasa sedih dan kasihan yang tiba-tiba menyeruak.
“Permisi Pak, masih banyak jualannya ya? berapa satu porsinya? ” ucap Khadija sopan.
“Iya Neng, sepi dari tadi, baru dua orang yang beli, Neng mau beli?” tatap matanya penuh harap.
“Iya Pak, saya mau beli sepuluh porsi ya,” ucap Khadija. Bapak tua itu menakar kacang dengan tangan gemetar, sepertinya tenaga lelaki itu sudah tidak memiliki banyak tenaga, atau mungkin belum makan. Tak berapa lama, lelaki itu sudah selesai membungkus sepuluh porsi kacang tanah kukus. Namun terlihat masih ada lagi sisa mungkin sekitar sepuluh bungkus lagi. Khadija berpikir sejenak, dia saja membeli sepuluh porsi sudah bingung mau dibagikan kepada siapa, mengingat tetangga kontrakannya seperti makhluk ghaib, terlihat namun tidak bisa disapa. Mereka seperti memiliki dunia sendiri, hanya sesekali bertemu dan saling menganggukan kepala sambil tersenyum.
“Emh Pak, ini saya beli lagi sisanya, tapi minta bantu Bapak boleh?” ucap Khadija.
“Bantu apa Neng?” mata yang sayu itu menatapnya.
“Saya mau minta dibungkus semua itu pak kacang tanahnya, tapi nanti minta tolong kasihkan sama orang saja Pak, atau dikasihkan ke tetangga Bapak juga gak apa-apa. Lelaki itu berpikir sejenak, lalu dia mengangguk dan mulai membungkus kacang-kacang itu. Khadija melihat jam tangan yang melingkar, sudah hampir setengah sepuluh malam. Sudut matanya kembali melirik tangan lelaki itu gemetar ketika memegang takaran.
“Bapak belum makan?” tanya Khadija. Lelaki itu mengangguk.
“Dari sore sepi pembeli Neng, baru dapet sepuluh ribu, kalau saya beli makan ga ada bakal anak sama istri di rumah,” ucapnya sambil tersenyum, terlihat keriput pipinya ikut tertarik.
“Ini Pak, tadi saya beli makan tapi mungkin ga akan ke makan, takut mubazir, buat Bapak saja ya, mohon diterima,” Khadija menyodorkan bungkusan makanan dari restoran cepat saji yang tadi dia beli, sudah lengkap dengan minumannya.
“Sama ini Pak uangnya, “ Khadija menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan.
“Neng ga ada kembaliannya, ada uang pas aja? paling seratus dua puluh ribu semuanya.” Lelaki itu terlihat bingung.
“Kembaliannya buat Bapak aja, saya kebetulan sedang dapat rejeki lebih Pak,” ucap Khadija. Sudut mata lelaki tua itu menggenang, sepertinya hatinya begitu terenyuh. Di kota besar seperti itu masih ada manusia berhati baik seperti gadis yang baru ditemuinya itu.
“Makasih Neng,” ada tetesan bening jatuh tak tertahan disudut matanya bersamaan dengan ucapan terimakasih. Khadija mengangguk sambil tersenyum, kemudian berpamitan. Dia berbalik jalan menjauh sambil menenteng sepuluh porsi kacang rebus yang dia belum terpikir bagaimana cara menghabiskannya. Ada cairan bening yang tiba-tiba juga jatuh disudut matanya. Dia menengadah ke langit, melihat bulan yang sembunyi setengahnya.
“Ayah,”ucapnya lirih, sambil menyeka air mata di sudut matanya.
Tin Tin
Suara klakson motor mengagetkannya. Khadija menoleh kearah datangnya suara. Motor honda wing itu berhenti di sampingnya, Khadija mengenali dengan baik siapa wajah dibalik helm full face itu.
“Ayo naik, udah malem, ga baik jalan sendirian,” ucapnya sambil menyodorkan satu helm lagu.
‘Aku naik ojek online aja Kak, gak apa,” Khadija berusaha menolak mengingat insiden beberapa waktu lalu di kontrakannya. Lelaki itu terlalu banyak skandal dan terlalu banyak penggemarnya.
“Besok kerja kan, udah mau jam sepuluh, udah ga usah ngeyel,” lelaki itu turun dan memakaikan paksa helm di kepala Khadija. Kemudian dia melepas jaketnya dan disampirkan di bahu gadis itu. Dia hanya mengenakan kaos lengan pendek yang pas badan, memperlihatkan otot-otot atletisnya. Bagi Khadija berdebat dengan Rasyid akan menjadi hal yang sia-sia dan pada akhirnya dia akan tetap kalah. Akhirnya tanpa banyak tanya lagi, dia memakai jaket itu dan segera naik keatas honda wing yang siap meluncur.
Mereka tak sadar, ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan mereka tidak jauh dari parkiran mall yang sekarang sudah hampir tutup.
“Al, kamu sekarang beneran berubah ya, tega-teganya membiarkan aku pulang naik kendaraan online, sementara kamu terburu-buru hanya untuk mengejar wanita itu,” Merlina mengeratkan kepalan tangannya, dan menarik nafas berkali-kali untuk meredakan emosinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top