23
“Semoga ga menemukan penumpang aneh lagi, tapi ah itu kartu nama,” Khadija masih ingat dengan tawaran pekerjaan lelaki yang tadi, tapi ternyata punggungnya sudah menghilang dibalik pintu minimarket.
Tidak mungkin dia masuk kehalamannya melihat yang parkir begitu penuh. Akhirnya dia melajukan kembali kendaraannya menjemput rizki mencari penumpang-penumpang lainnya.
Hari itu benar-benar dimaksimalkannya untuk meraup pundi-pundi rupiah. Menjelang pukul sepuluh malam mobil yang dikendarai Khadija memasuki pekarangan rumah utama. Ada Rasyid sedang duduk di teras sambil menyesap kopi cokelat hangat, dia terlihat sibuk dengan ponselnya tanpa mempedulikan siapa yang datang.
Tumben sekali malam minggu seperti ini lelaki itu ada di rumah. Khadija turun dari mobil dengan wajah kuyu, mata sayu dan tubuh sudah lelah tak bertenaga. Ternyata duduk di belakang kemudi seharian membuat kelelahan yang luar biasa.
“Assalamu’alaikum,” Khadija mengucap salam setelah berjarak sekitar dua langkah lagi dari Rasyid.
“Wa’alaikumsalam,” Lelaki itu beralih fokusnya dari ponsel kepada gadis yang ada didepannya. Dia menatapnya dengan sorot mata yang tidak terbaca.
“Kak ini kunci mobil dan STNK nya, tapi besok pagi-pagi aku ambil lagi ya.” Khadija menyodorkan dua benda itu, Rasyid masih tercengang menatapnya. Dia terlihat kaget ketika kedua benda itu ada ditangan Khadija.
“Kamu bisa nyetir? Kamu habis darimana Dija?” Matanya membulat tidak percaya. Rasyid memang sibuk setiap weekend dalam satu bulan terakhir ini sehingga dia tidak tahu kalau Khadija belajar mobil dengan adiknya.
“Habis nyari duit Kak, udah ah jangan banyak tanya, aku capek banget, ini kuncinya, minta tolong masukin garasi Kak, aku belum bisa parkir ditempat sempit.” Khadija dengan malas menjawab pertanyaan Rasyid.
“Dija kamu jawab dulu, habis darimana, dan itu nyari duit maksudnya?” Rasyid masih penasaran.
“Udahlah Kak aku capek banget, nanti tanya Khalima aja, assalamualaikum,” Khadija berlalu begitu saja meninggalkan lelaki itu yang dengan gamang menatapnya. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyentuh hati Rasyid.
“Khalima! Ma! Khalima!” suara Rasyid yang meneriaki Khalima perlahan semakin tak terdengar, llangkah Khadija begitu cepat menuju pintu bercat putih yang menunggunya.
Ceklek
Dibukanya pintu kontrakan dengan tenaga yang masih tersisa. Beruntung tadi ada tempat makan dengan parkiran yang luas sehingga setelah memutar-mutar akhirnya dia bisa makan dulu sebelum pulang. Khadija segera membilas diri dengan air, terasa dingin karena memang sudah pukul sepuluh malam lebih beberapa menit.
Setelah selesai mandi, gadis itu melanjutkan sholat isya dan mengaji beberapa surat makiyyah saja. Dia merebahkan tubuhnya dan mengambil ponselnya untuk mengecheck pendapatannya setelah seharian berkelana.
Hari ini tarikannya lumayan, mendapat sepuluh trip jarak pendek dan dua trip jarak panjang. Dilihatnya angka pada aplikasi dompet tunai, hatinya terenyuh, bibirnya meengembang melihat hasil kerja kerasnya. Ternyata nominal yang dia dapatkan lebih dari lumayan, ada sekitar empat ratus ribu rupiah termasuk bonus dan tips dari penumpang. Angka yang diluar dugaan bagi pemula sepertinya.
Khadija menarik nafas panjang, dipejamkan matanya perlahan, memorinya tiba-tiba terkenang pada sosok almarhum ayahnya. Lelaki paruh baya yang sudah mendahuluinya pulang.
Setegar apapun Khadija, dia hanyalah seorang gadis biasa yang merindukan disayangi dan dicintai keluarga. Tidak terasa air matanya merembes dalam diam, semakin lama berubah menjadi isakan. Dia bukan menangisi nasib dan takdir yang sejak dulu seolah tidak berpihak, namun ada satu celah kosong yang berisi timbunan kerinduan.
Khadija begitu merindukan sosok ayahnya, meskipun arah hidupnya salah namun darinyalah dia merasa mendapatkan kasih sayang yang berlimpah. Karena lelaki itu pula, dulu dia mencari pekerjaan di sisa waktu sekolahnya.
Khadija sangat ingin berbakti dan berbagi kebahagiaan dengan lelaki itu. Satu-satunya lelaki yang ingin dipeluknya ketika dia sedang rapuh dan terjatuh. Namun kini sosok itu telah tiada, hanya meninggalkan lubang kenang yang menganga.
“Ayah, andai kau masih ada, mungkin hari ini bisa tersenyum bangga, kau sudah tidak perlu lagi menggeluti perbuatan maksiat untuk memberiku makan, aku putrimu kini sudah besar, sudah bisa mencari uang sendiri, ayah ingin sekali aku menunjukkan padamu kalau kau masih bertahan, hidup kita pasti berubah dan kau tidak akan selalu direndahkan,” gumamnya dalam dada ditengah isakan yang menemani lelahnya.
Hatinya akan selalu menangis setiap kali merindukan sosok yang melimpahinya dengan kasih sayang itu. Khadija hampir tak mengenali kasih seorang ibu, itulah yang dia rasakan. Wanita yang dia selalu anggap sebagai ibu, tidak pernah memperlakukannya istimewa.
“Ibu, apakah aku ini bukan darah dagingmu, setiap kali aku mencoba untuk merasa dekat namun selalu terasa jauh, sikap tak acuhmu, tatapan itu, tak ada getaran kasih yang sampai dalam hatiku, apakah karena aku memang terlahir dari kesalahan, tapi kesalahan siapa? aku sering mendengar cerita tentang ibu kancil, ibu harimau dan ibu-ibu dari bangsa hewan yang lainnya waktu kecil dari ayah, tapi mereka selalu kasih terhadap anaknya, tapi apakah aku memang tidak layak mendapati kasih sayang darimu, seburuk apa kesalahan yang membelenggu rasa kasih sayang itu, ataukah aku ini memang bukan anakmu?” gumamnya dalam dada, terasa selalu menyesakkan jika mengingat semua itu.
Setiap orang selalu memiliki satu ruang dalam hatinya untuk sebuah kehangatan keluarga, dan ruangan itulah yang selalu kosong semenjak kepergian ayahnya. Ada satu lubang besar yang menganga hampa berisi gelembung kerinduan yang tak tahu akan bermuara dimana. Yang jelas dia selalu merindukan ayahnya, canda tawa dan kehangatan yang tak lagi dia dapatkan semenjak kepergiannya.
“Ayah, peluk aku, dalam lelah ini aku tidak tahu mengadu pada siapa, kehidupan luar ini terasa melelahkan, tak mengerti kepada siapa aku bisa bersandar, aku merasa terbuang dan hidup sebatang kara, tak pernah ada yang mengkhawatirkan aku, mungkin tak jua ada lagi yang peduli semua tentangku, ayah, aku sudah belajar tanggung jawab, aku sudah menemukan tujuan, aku tak mau kepahitan ini akan berulang terhadap anak cucuku, karena itulah dengan kaki-kaki lemah ini aku akan selalu berjuang, meraih rancangan masadepan, mendapatkan semua impianku,” sesaknya dalam isak.
“Ayah, aku berjanji akan membuktikan pada dunia, suatu hari nanti mereka akan tertunduk menatapaku, tak ada lagi yang memandang sebelah mata kepada keluarga dan anak-anakku, aku akan melimpahi keluargaku dengan cinta, dengan perhatian dan dengan keberlimpahan, doakan ayah aku mampu dan tidak menyerah ditengah jalan, aku kuat ayah, aku kuat, hiks hiks hiks,” semakin dia meyakinkan dirinya kuat, semakin menjadi isaknya.
Dipejamkan matanya erat-erat mencoba menghadirkan senyata-nyatanya sosok ayah yang selalu dia rindukan. Sosok ayah yang merupakan simbol kehangatan keluarga yang telah hilang.
Suara tangisnya kian memudar, ponselnya masih menyala terbuka menampilkan pendapatannya hari itu. Sementara kesadarannya sudah mulai terenggut mimpi. Hanya sisa-sisa airmata yang membasahi bantal dan mengering di pipinya. Bulu mata lentiknya saling mengatup.
Hembusan nafasnya kian lama kian teratur. Sesak pedihnya sudah tertumpah ruah dalam tangis. Kini gadis itu terlelap dalam mimpi, melupakan sejenak keluh kesah dan rasa lelah, membuatnya terpejam dalam kedamaian. Raganya tertidur membuat recovery energi untuknya berpetualang lagi di esok hari. Khadija yang dulu kecil dan rapuh kini tengah berproses, tempaan demi tempaan kejadian membuatnya perlahan menguat dan semakin dewasa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top