16
***Jangan lupa tinggalkan jejak komen dan ❤ ya... Happy readings***
Sementara Arjuna tersenyum sinis. Sesekali matanya menatap spion, memperhatikan sebuah mobil alphard putih yang mengikutinya. Jiwanya bersorak, untuk kali ini dia sudah memenangkan garis start.
Setelah beberapa ratus meter jarak yang ditempuhnya. Alphard putih itu berbelok arah. Arjuna hanya tersenyum menikmati kemenangan sementaranya.
Tak berapa lama, terdengar percakapan telepon gadis yang ada disampingnya. Rupanya Bisma menghubungi sekretarisnya.
“Ck, masih saja berulah.”
Namun hanya sebatas umpatan dalam dada. Bagaimanapun egonya masih bertengger lebih tinggi daripada perasaannya.
Dia melirik Srikandi yang baru saja menutup telepon. Gadis itu kembali fokus pada ponselnya. Perubahan jadwal mendadak, membuatnya harus mengatur ulang semua agenda hari itu.
“Dasar, Bos menyebalkan!” batin Srikandi.
“Dia dari tadi diam saja, apa dia tidak senang aku menjemputnya?” Arjuna berbicara dalam dada.
“Mentang-mentang bos, sesukanya mengganti jadwal, besok-besok aku sumpahin tau rasa, huh,” keluhnya lagi dalam diam. Sesekali matanya melirik kepada lelaki yang terlihat sedang asyik mengemudi padahal lelaki itu tengah sibuk juga mencuri-curi pandang terhadapnya.
“Atau mungkin dia lapar, tadi kudengar dia belum sempat sarapan.” Arjuna dalam batin mencoba menaksir hal terjadi pada gadis yang ada di sampingnya.
“Duh, mana lapar, ga mungkin juga minta dia berhenti beli sarapan, menyebalkan!” keluh Srikandi dalam diam. Arjuna masih mencuri-curi pandang sesekali.
“Gimana, ya caranya mau mengajaknya nyari sarapan biar terkesan?” Arjuna masih terlihat fokus mengemudi. Sementara Srikandi sibuk memperhatikan deretan ruko-ruko yang berjejer sepanjang jalan. Semua rentetan pertanyaan dalam dada, hanya didengar dan dijawab oleh masing-masing.
Suasana hening. Namun, tiba-tiba Srikandi melihat tukang kue putu lewat, sudah lama dia tidak pernah menemukan makanan kesukaannya itu.
“Pak, stop!” Srikandi mendadak meminta bosnya memberhentikan mobil. Arjuna spontan menginjak rem karena kaget membuat decitan keras dan sedikit guncangan.
Tanpa menunggu komentar Arjuna, gadis itu melepas seat belt dan langsung keluar dari mobil. Arjuna hanya melongo melihat Srikandi pergi tanpa basa-basi.
“Kenapa dengan dia, bahkan dia tidak mau mengajakku pergi dengannya.” Arjuna kesal, dia memukul kemudi yang membuat klaksonnya berdering nyaring.
Tiba-tiba kaca mobilnya diketuk. Arjuna menurunkan kaca setengah dengan dahi berkerut. Tampak seorang wanita membawa baskom berisi dagangan yang entah apa isinya. Wanita itu menggendong anak kecil berusia sekitar tiga tahun.
“Pak, manggil saya? Mau beli, Pak?” Tangan ringkihnya menawarkan dagangan. Mata Arjuna menatap wajah itu beberapa detik. Tatapannya berganti pada anak kecil yang digendongnya.
“Berapa semua?” Wajah dinginnya tetap terpasang, meski hatinya terenyuh.
“Ss-seratus ribu, Pak,” ucap wanita itu terbata. Dia sudah bahagia duluan walaupun baru ditanya harga. Padahal belum tentu Arjuna akan membeli dagangannya.
Arjuna mengeluarkan uang dua lembar berwarna merah. Wanita itu menerimanya dengan tangan gemetar.
“Ini Bu, saya beli semua.”
“Uangnya lebih Pak.”
“Ambil aja.”
“M-makasih banyak Pak.”
Wanita itu kemudian memasukan dagangannya dengan cekatan kedalam sebuah keresek hitam. Uang dua ratus ribu dari Arjuna dimasukkannya kedalam dompet kumal yang dia genggam. Dia menyerahkan plastik itu setelah penuh terisi. Kemudian undur diri dengan mata mengembun dan senyum yang dikulum. Arjuna menatapnya dengan tatapan tulus, hatinya terenyuh.
Tanpa dia sadar, Srikandi sejak tadi memperhatikannya. Gadis itu sudah membuka pintu mobil setengah. Namun terhenti melihat pemandangan langka. Arjuna merasa ada seseorang yang sedang menatapnya. Dia menoleh, hatinya berdebar melihat senyum manis gadis yang tengah berdiri menenteng dua bungkus kue putu, menatap kearahnya. Dimasukkan kedalam keresek berwarna putih.
“Beli apa Pak?” Srikandi menyapa setelah mengalihkan pandangannya.
“Hmmm, kamu lihat sendiri, sepertinya baso, tapi aneh bumbunya cokelat.” Dia menyodorkan plastik hitam itu pada Srikandi. Gadis itu menerimanya.
“Ini namanya cilok Pak, bukan baso.” Srikandi menahan tawa, terlihat geli melihat pemandangan langka pagi itu.
“Sama-sama bulat, kenapa harus beda-beda nama, sama aja, itu baso atau cilok, sama-sama bulat.” Lagi-lagi tak mau kalah.
“Ya, bedalah. Mana ada bisa disamakan, baso ya baso, cilok ya cilok, aneh.” Srikandi terpancing. Arjuna menarik nafas kasar. Apalagi perdebatan tidak penting sepagi ini sudah terjadi. Baso atau cilok, semua sama-sama bulat, pikirnya. Namun dia tidak lagi mengomentari ucapan sekretarisnya.
“Ayo, kamu mau beli apa lagi?” Arjuna menoleh sebelum menyalakan mobilnya. Srikandi menggeleng, dia sudah sibuk memakan kue putunya. Chevrolet itu kembali berjalan.
“Ceh, beli dua bungkus, semuanya buat diri sendiri, dasar wanita tidak peka, dia pikir aku tidak lapar apa?” Umpatan dalam hatinya kembali terjadi.
Sementara itu, Srikandi tetap asyik memakan kue putu yang sudah lama dia rindukan. Dulu sewaktu kecil, dia sangat suka membeli jajanan pasar seperti itu.
“Aku padahal membelikan satu untuknya, walau tidak yakin suka, tapi dia sudah membeli cilok sebanyak itu, mana bisa kemakan,” gumam Srikandi dalam hati.
Akhirnya dia menyimpan rapi kotak kue putu dalam mika itu di dashboard mobil bosnya. Dia tidak tahu, orang yang disampingnya berharap ditawari. Mobil menepi di sebuah rumah makan. Arjuna menoleh kearah Srikandi.
“Saya mau sarapan,” ucapnya. Angannya berharap Srikandi akan mengikutinya. Namun wanita itu hanya memasang senyum dan mengangguk.
“Lha, ini makanan sebanyak ini, buat? ....” Srikandi menatap heran pada bosnya dan menatap iba pada cilok yang ditentengnya.
“Saya tidak pernah makan makanan seperti itu, kamu kasih orang saja, tadi cuma kasian sama anak kecil itu.” Arjuna bergegas turun. Srikandi tertegun, hatinya tersentuh dengan jawaban Arjuna yang masih memiliki jiwa kemanusiaan. Namun kini dia bingung harus memberikan itu pada siapa.
“AC nya jangan dimatikan ya, Pak. Saya tunggu disini,” ucap Srikandi sambil menyandarkan tubuhnya pada jok mobil.
“Hmmm ....” Hanya itu yang keluar dari mulut Arjuna, kemudian dia berlalu meninggalkan Srikandi sendirian dalam mobilnya.
***
Akhirnya perjalanan panjang yang penuh drama pagi itu selesai. Dua puluh bungkus cilok yang dibeli Arjuna sudah berpindah tangan pada penjaga parkir rumah makan. Srikandi menghibahkannya ketika menunggu bosnya sarapan. Termasuk satu bungkus kue putu yang tadinya dia belikan untuk lelaki itu.
Kini mereka sudah berada di sebuah lobi hotel. Masih sepi, karena masih terlalu pagi. Janji dadakan dengan salah satu investor yang tidak lain masih paman dari Arjuna, baru dimulai pukul sepuluh pagi. Mereka berdua duduk diam sambil fokus pada gadget masing-masing. Suara Arjuna akhirnya memecah keheningan.
“Sri, minta tolong saya carikan satu supir,” ujarnya. Arjuna sedang memasuki strategi berikutnya.
“Buat apa Pak? Bukannya driver operasional sudah cukup, ya?” Srikandi mengerutkan dahi. Tatapannya menuju pada lelaki berhidung mancung yang sedang duduk menyilang kaki.
“Akhir-akhir ini akan banyak jadwal dadakan, saya mau satu driver standby buat antar jemput kamu,” jelasnya.
“Saya gak apa Pak, masih bisa naik ojol.” Srikandi menolak, dia merasa aneh tiba-tiba lelaki itu menawarinya supir pribadi, padahal lelaki itu sendiri setiap hari menyetir sendiri.
Belum Arjuna menanggapi ucapan Srikandi, sebuah tepukan pada pundaknya membuat dia menoleh.
“Hai Kak Juna!”
Emily tengah berdiri dan tersenyum manis kearahnya. Wajah Arjuna terkesiap, hari macam apa ini. Sudah bahagia dia memenangkan start dari Bisma, namun semua akan hancur begitu saja dengan kedatangan wanita ini. Arjuna tersenyum kaku, menatap gadis cantik yang masih berdiri didekat kursinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top