Seorang Pendaki

***

Dahulu kala saat orang takut untuk mendaki gunung hidup seorang laki-laki aneh bibirnya melebar karena sering tersenyum. Hari demi hari kakinya semakin membengkok, kakinya yang lemah selalu dipaksakannya untuk mengangkut kayu bakar untuk memenuhi rumah-rumah penduduk. Dia tahu suatu hari kakinya tidak akan bisa digunakan lagi dan hal itu membuatnya takut. Dia takut belum bisa melakukan sesuatu untuk dirinnya sendiri sebelum kakinya benar-benar tak bisa digunakan. Di suatu pagi yang cerah dia duduk di depan rumahnya dan menatap gunung yang melintang di depan desanya. Dia sudah memenuhi tempat kayu bakar semua rumah, dan sekarang ia harus melakukan sesuatu untuk dirinya. Dia berpikir untuk mendaki gunung itu.

Tidak pernah ada yang mendaki gunung itu, lebih tepatnya tidak ada yang berani. Pagi itu pun dia beranjak dari teras rumahnya berbekal sebotol air minum dan segenggam nasi. Air pada botol kecil itu bahkan bisa habis dalam satu kali tegukan untuk selanjutnya dia harus membuang berliter-liter air dari tubuhnya. Dia tahu bahwa dia akan mendaki tanpa persiapan apapun, namun kakinya sudah melangkah dan tak bisa kembali lagi.

Dia mendongak melihat puncak gunung berselimut awan. Dalam benaknya muncul pemandangan indah yang akan dilihatnya dari puncak gunung itu. Hamparan awan dan matahari yang mengintip dari bali cakrawala serta cahaya ke merahan. Indah sekali.

Laki-laki itu sama sekali tidak memprediksi apa yang akan ditemuinya di perjalanan. Dia melihat banyak hal juga hampir celaka. Memasuki hutan yang lebat dia bertemu dengan sekawanan monyet yang menyalak bersahut-sahutan dari atas pohon. Itu adalah bahaya pertama yang menghampirinya sehinggga ia harus melindungi segenggam nasi perbekalan terakhirnya setelah air ia habiskan di awal perjalanan. Sekawanan monyet itu semakin menggila ketika ia ketakutan, tangan mereka menggapai-gapai seolah mau menghabisinya dalam sekali cakaran. Apakah mereka akan mengambil segenggam nasi darinya? Dia amat sangat ketakutan. Akan tetapi dia terus berjalan membiarkan mereka menyalak terus-terusan, mengabaikaannya. Hutan lebat itu sudah dia lewati. Ia menoleh ke belakang dan tak menemukan satu ekor monyet pun yang mengikutinya. Ah, mereka ternyata hanya mengganggu karena laki-laki itu memasuki daerah kekuasaan kawanan itu.

Di hutan dengan pepohonan yang agak jarang dari sebelumnya, dia menemukan beberapa koala yang tengah terlelap di batang pohon. Begitu tenang padahal angin di sekelilingnya begitu kuat. Hujan juga turun tiba-tiba membuat laki-laki itu harus berteduh di salah satu pohon. Dia memperhatikan sekali lagi koala-koala di batang-batang itu. Hujan ditambah dengan angin kencang sama sekali tidak menggangggu mereka.

Hujan sudah reda dan dia kembali melanjutkan perjalanan. Setelah koala sekarang dia berpapasan dengan seekor rusa yang amat sangat menawan. Tanduk tinggi bercabang indah layaknya batang-batang pohon bonsai. Tubuh berotot, warna coklat yang bersinar kala matahari yang menyelinap dari balik dedaunan mengenai kulitnya. Untuk sesaat laki-laki dan rusa itu saling bersitatap, seolah dunia berhenti berputar sementara dan rusa itu mengizinkannya untuk mendekat. Akan tetapi, anggapannya salah, rusa itu lari begitu dia melangkah mendekat padanya entah karena ketakutan atau memang pertemuan mereka hanya sebatas saling bersitatap lalu tak terjadi apapun setelahnya. Ya... berlalu begitu saja.

Dia juga bertemu dengan sekelompok gajah yang berjalan seolah hendak meratakan apapun. Tanah bergetar dan laki-laki itu hampir terjatuh karenanya. Ada juga raja hutan yang berdiri di atas batu rata, berdiri angkuh seolah bisa memerintah semuanya termasuk manusia. Bunga-bunga yang mekar dengan anggun di tengah bunga lain yang mulai layu. Sepasang tanaman yang berpadu indah meskipun mereka berbeda, anggrek dan pohon jati. Hubungan simbiosis yang saling menguntungkan, laki-laki itu melihat pohon jati itu tersenyum tidak keberatan dengan adanya anggrek yang menempel padannya. Berlainan dengan nasib pohon jati yang ditempeli anggrek, pohon jati di sebelahnya harus meringis karena ditempeli benalu. Batangnya kurus kering beberapa ada yang mati, daunnya jarang seolah minta pertolongan dari ketidak berdayaannya. Laki-laki itu mencoba melepaskan ikatan yang menyakiti salah satu pihak itu dengan mengambil batu dan mencoba memutuskan batang benalu itu namun yang terjadi pohon itu juga terluka.

Dia merasa menyesal karena tidak bisa menolong pohon jati itu. Belum cukup dengan rasa bersalahnya sekarang ia harus berhadapan dengan ular yang berdiri dengan lidah menjulur-julur dan mendesis keras. Merasa bahwa ular itu adalah bagian dari ancaman lain di perjalannya. Dia mengambil ranting dan mengusirnya. Mereka terlibat perkelahian dan akhirnya ular itu pergi. Sesaat setelah ular itu pergi, dia baru menyadari sesuatu. Tak jauh darinya ada sebuah lubang kayu, dia mengintip dan mendapati puluhan telur di dalamnya. Inilah alasan ular itu mendesis padahal tidak diganggu.

Dia melanjutkan perjalanan lagi. Jalanan semakin tinggi semakin curam dan berbatu, pepohonan juga semakin jarang. Sekarang dia mendaki dengan tangan dan kakinya, berpegangan pada apapun yang diraihnya. Batu tajam, batang pohon berduri tak dipedulikan. Tangannya mati rasa oleh keinginan untuk mencapai puncak yang semakin dekat. Puncak semakin dekat, sekarang tidak ada lagi yang bisa diraihnya untuk berpegangan. Dia mengandalkan sdirirnya sendiri dan keberuntungan. Dia menatap ke bawah. Dia tidak bisa turun. dia merangkak sesenti demi sesenti di punggung gunung itu, udara semakin dingin, dan angin semakin kencang. Sesaat dia merasa lelah dan putus asa. Tapi kembali lagi, dia sudah terlalu jauh.

Sampai akhirnya dia pun mengulurkan tangannya dan menggapai rumput liar. Tanah tempat tanaman liar itu tumbuh terasa datar. Dan inilah, akhirnya dia sampai di puncak setelah berpegangan pada rumput liar yang selanjutnya dia injak. Dia menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara. Sesuai bayangannya, puncak gunung ini dihiasi oleh padang awan yang seolah tak berujung, mentari mengintip dari baliknya memancarkan cahaya kemereahan. Dia senang bisa melihat hal menakjubkan yang tidak bisa dilihatnya dari bawah sana.

Namun kemudian dia menoleh ke arah lain dan menyadari bahwa ada gunung yang lebih tinggi dari puncak gunung yang dipijakinya saat itu. Burung-burung berterbangan di sekitar gunung itu. Dia lalu penasaran dengan pemandangan seperti apa yang disajikan puncak gunung yang lebih tinggi itu. Dia pun turun untuk mendaki gunung  yang lebih tinggi. Terus seperti itu, setelah sampai di satu puncak gunung saat melihat puncak yang lebih tinggi dia turun lalu mendaki lagi ke tempat yang lebih tinggi. Satu, dua, tiga, sampai tidak ada lagi gunung yang bisa didakinya. Dia berhenti di gunung tertinggi dan merasa kesepian.

***

Iis Tazkiati N
270920

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top