Tiga Belas

'Rahasia' ayahnya yang terkuak sore itu menyisakan sesak di satu lubang kecil di hati Jason. Ia sering mencuri pandang ayahnya yang terdiam menahan getir. Kenangan dan cinta yang tak pernah lekang di hidup pria tua itu. Bahkan mungkin akan terbawa mati. Jason menghela nafasnya. Ia tau ayahnya menaruh harap banyak padanya. Ia satu-satunya harapan pria tua itu untuk membawanya dalam kebahagiaan.

Aku akan mengejarnya. Aku akan mendapatkannya. Demi papa. Terutama demi anakku. Aku tak ingin ia bernasib sama seperti kita, Pap.

Jason kembali menyesap kopi nya. Ini adalah cangkir ketiga. Sementara jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Sesaat ia mengedarkan tatapannya ke segenap penjuru cafe. Sepi. Bahkan cafe ini turut meramaikan suasana hatinya yang tengah galau.

"J, you okay?" tanya Anna dengan nafas satu duanya.

Ia tampak lelah karena buru-buru ke cafe. Sementara Jason kecil ia tinggal dengan sahabatnya, Dila.

Jason menatap nanar wanita itu. Seulas senyum tipis tercipta di bibir penuhnya. Anna tahu pria itu sedang tidak baik-baik saja. Kalau saja Dila tak memberi tau bahwa ia melihat Jason termenung sejak siang di cafe mungkin Anna akan mengabaikan perasaan gelisahnya terhadap pria itu yang tiba-tiba absen menemui anaknya hari ini.

"Esen bagaimana?" tanya Jason parau.

"Dia murung hari ini. Tapi tidak sampai mengamuk. Kau kenapa? Ada masalah?"

"Kalau aku mencintaimu apa kau yang akan kau perbuat, Ann?"

Anna terdiam, menatap Jason lekat-lekat. Mata itu semakin terlihat menyedihkan dibanding hari kemarin. Sangat perih.

"Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkanmu masuk dalam hidupku jika kau mau."

"Kau mau menikah denganku?"

"Atas dasar apa kau ingin menikahiku?"

Jason menghela nafas beratnya untuk yang kesekian kalinya.

Anna tersenyum tipis," J, kalau kau hanya menginginkan aku menjadi ibu dari Jason Junior, kau tidak perlu memaksakan diri untuk menikahiku. Aku dengan rela akan menjadi ibunya. Meski aku tahu aku tidak ada ikatan apa-apa dengan anakmu. Aku tidak punya apa-apa. Tapi sesuai harapanmu, aku akan berusaha memberikan kasih sayang padanya."

"Aku ingin memiliki keluarga yang bahagia. Bersamamu. Aku ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku. Bukan hanya Junior."

"Kau mencintaiku?"

"Dari pertama aku bertemu denganmu. Meneriakkan namaku padamu."

Anna terperangah. Benarkah? Empat tahun yang lalu?! Anna menatap Jason yang kini menatapnya luruh. Menyerahkan semua harapannya pada Anna.

"J,,"

"Apa aku salah berharap padamu? Apa aku tidak pantas menjadi bagian perjalanan hidupmu? Apa aku.."

"Ssh, J. Aku tak pernah memandang buruk siapapun. Aku berusaha untuk itu. Aku juga pasti ada buruknya. Tapi.."

"Kenapa?"

"Kau terlalu baik untukku."

Bukan aku, Ann. Kau yang terlalu baik untukku. Tapi aku dengan tak tau malunya mengharapkanmu. Aku hanya menuruti harapanku. Impianku membangun keluarga bahagia bersama wanita lembut sepertimu.

"Kau salah, Ann."

Anna terkekeh," Lalu apa yang akan kau lakukan dengan keluargamu yang menentang keinginanmu, J? Aku hanya tidak ingin kau berjauhan dengan keluargamu gara-gara masalah seperti ini. Keluargamu tempatmu kembali, J."

"Kau benar, Ann. Keluarga tempat untuk kembali. Tapi aku tidak perlu kembali dalam penjara itu jika kau adalah keluargaku. Jadi kau adalah tempatku kembali."

"J.."

"Aku tidak ingin bernasib sama seperti papa. Terlebih anakku. Aku tidak ingin ia menangis sepertiku. Bahkan aku sangat berharap bisa memenuhi keinginan Papa di usia senjanya melihat dan turut merasakan bahagianya keluarga kecilku, Ann."

"Papa mu?"

Jason mengangguk. Sekelabat senyum tipis wajah tua ayahnya kembali hadir.

"Dia ingin melihatku menemukan bahagia itu. Ann, apa kau bersedia menampung sedihku?"

Anna tak bisa berkata apa-apa. Tatapannya nanar. Apalagi saat pria itu memintanya untuk yang kesekian kalinya.

"Aku tidak tau apa-apa tentang kesedihanmu, J. Tapi ku harap kau akan bahagia. Jika bersamaku kau yakin akan bahagia, aku bisa berbuat apa?"

"Jadi kau bersedia?"

"Apapun itu asal kau dan anakmu bisa melupakan sejenak kesedihan kalian."

"Kita harus menemui papaku. Aku ingin ia menjadi orang pertama yang mendengar ini."

"Kau yakin?"

"Besok siang. Ya. Besok siang kita menemuinya di kantornya."

"J, apa ini tidak terlalu cepat?" Anna menggigit bibirnya. Jujur, Anna merasa gugup dan belum siap berhadapan dengan pria dingin itu.

"Aku ingin menyudahi mimpi buruknya, Ann."

"Maksudmu?"

"Nanti saja aku ceritakan kalau kau sudah resmi menjadi milikku. Aku tidak ingin kau mendengarnya sekarang."

"Kenapa?"

"Aku tidak ingin kau kasihan pada kami, Ann."

"Oh, baiklah. Kurasa itu urusan kamu dengan papamu. Jadi aku tidak berhak mencampuri."

"Terimakasih, Ann."

Jason bersiap menyesap kembali kopinya. Namun dengan cepat Anna menyingkirkan cangkir kopi yang masih setengah.

"Ann,,"

"Kau terlalu banyak minum kopi malam ini. Lebih baik pulang sekarang."

"Aku ingin bertemu anakku, Ann."

"Tidak untuk menginap."

"Aku ingin tidur bersamanya. Malam ini saja, Ann."

"J, apa kata orang?"

"Hm, baiklah. Tapi besok pagi-pagi sekali aku akan datang ke rumahmu."

"Datang saja. Karena aku tau kau tak akan bisa bangun pagi apalagi setelah kau menghabiskan tiga cangkir kopi. Akan kupastikan pagi-pagi kau baru bisa memejamkan matamu."

"Oh, Shit!!"

"Apa Bibi Mar mengajarimu mengumpat?"

"Tentu saja tidak."

"Kalau begitu berhentilah mengumpat."

Jason menyeringai, mengusap tengkuknya.

"Aku akan mengantarmu pulang."

"Tidak perlu, J. Aku harus ke supermarket dulu membeli susu untuk anakmu."

"Anak kita."

Anna memutar bola matanya, jengah. Ia mencebikkan bibir merahnya membuat Jason tergelak tawanya.

"Aku senang kau tertawa, J. Pertahankan itu."

"Well. Aku akan tetap mengantar calon istriku. Aku harus memastikan kau baik-baik saja."

"Seharusnya aku yang harus memastikan kau tidak mengacaukan dirimu sendiri, J." cibir Anna.

Jason tersenyum kecut.

"Just kidding, J. Aku tidak benar-benar mencibirmu." ucap Anna lembut mengusap pipi pria itu membuat darah pria itu berdesir.

Apa ini mimpi? Tubuhnya terasa hangat seketika. Ia tidak ingin Anna mengakhiri usapan lembut di pipinya. Ada rasa senang, tenang dan bahagia yang melegakan kesesakkan di dadanya.

Sejenak Jason seperti melayang saat Anna menautkan sikunya pada lengan Jason. Anna meleburkan batasan dirinya. Gadis itu seakan mengirim signal bahwa ia membuka hatinya untuk Jason, membuat Jason semakin yakin untuk meraih Anna dalam jangkauannya dan takkan pernah ia lepaskan.

"Apa kau tidak malu dengan statusku yang seorang ayah?" tanya Jason menaikkan alisnya seraya melajukan mobilnya.

Anna hanya mengendikkan bahunya, acuh. Jason menggeram.

"Ann,,"

"Kau bilang aku ibunya. Jadi apa masalahmu?"

"Aku tidak ingin membuatmu malu, Ann. Apalagi dengan teman-temanmu bahkan karyawanmu. Terlebih keluargamu."

"Aku tidak memiliki keluarga, J. Semuanya sudah berkumpul di atas sana."

Jason tersentak. Ia menatap Anna yang terlihat tegar tanpa sedih meski masih sangat jelas terlihat kerinduan pada keluarganya.

"Kau tidak kehilangan?"

"Tentu saja."

"Kau tidak terpuruk?"

"Untuk apa? Tuhan menyayangi mereka, J. Lagipula mereka meninggalkan aku dengan cinta. Meski terkadang aku merindukan mereka teramat sangat. Tapi mengingat kenangan manisnya saja itu cukup membuatku merasakan kehadiran mereka. Aku sangat mencintai mereka. Aku tidak ingin mereka sedih dengan ratapanku, J."

"Kau wanita yang luar biasa."

"Kau lebih hebat, J. Kau bisa bertahan dalam kehampaanmu. Tanpa kasih sayang dan.. Sudahlah, aku tidak ingin kau mengingatnya."

Jason tersenyum tipis. Tangan Anna mengusap lengannya.

"Kau membuatku terlihat sangat rapuh, Ann."

"Setidaknya kau akan belajar lebih tegar lagi, J. Apalagi sekarang ada anakmu."

Jason terkekeh. Ia lalu membanting stirnya ke kiri memasuki pelataran parkir sebuah supermarket.

"Apa kau berniat belanja banyak untuk beberapa hari ke depan?" tanya Jason.

"Kurasa tidak."

"Kurasa kau perlu. Karena aku akan menghabiskan seluruh waktuku di rumahmu bersama junior. Bahkan nanti papaku akan ku ajak jika papa ada waktu."

"J.."

"Papaku sama sepertiku. Ia sangat suka nasi goreng dan mie goreng. Juga susu coklat."

"Susu coklat?"

Jason menganggukkan kepalanya seraya mendorong trolly belanjaan.

"Owh! Juniormu suka sekali susu coklat. Kakek, ayah, anak. Punya selera yang sama." gumam Anna.

"Kau suka?"

"Tidak terlalu. Aku lebih suka yogurt."

"Kami juga suka."

"Oya?"

"Hm. Roti bakar selai coklat. Pasta oilio. Bahkan bento."

Anna terkekeh. Tangannya mulai memasukkan beberapa kotak susu coklat dalam trolly. Sesekali terdengar tawa Jason.

Kau terlihat sedikit lebih baik hari ini, J. Gumam Anna dalam hati.

"Jason?!"

Jason menegakkan wajahnya. Ia mendengus sebal pada wanita yang menatapnya tak percaya. Anna mengernyit. Ia urung mengambil satu kaleng margarin.

"What the HELL?" desis Jason.

"Esen mana?" tanya wanita itu sambil celingak celinguk.

"Kau! Argh! Di mana otakmu, huh?!" geram Jason.

"Jason, aku hanya sedang berjuang menarik perhatian anakku. Aku tidak akan menakutinya."

"Tapi melihatmu saja ia sudah ketakutan setengah mati, Hanum!! Jangan kau memaksaku untuk berbuat kasar padamu jika kau tidak juga mengerti."

"J, sudah." ucap Anna lembut menenangkan Jason.

"Tapi, Ann.."

"Esen sedang istirahat. Jadi dia tidak kami bawa, Hanum." ucap Anna lembut.

Hanum mengerucutkan bibirnya. Ia kemudian berbalik tanpa sepatah kata.

"Sudah, lanjutkan belanja kita, J. Buang kesalmu."

Jason hanya mendesah kemudian mendorong trolly mengikuti langkah Anna. Langkahnya tenang mencerminkan dirinya yang cukup dewasa. Kelembutannya kentara dari wajah ayunya. Jason menyukai, sangat sangat menyukai itu.

========>>>><<<<=======

Owh! Part ini Junior tidak muncul. Hanya orang tuanya aja.. :(
Kuharap masih oke yaaa meski gakk bangett..

Terus vote dan commen yaahh..

Regards

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top