Sembilan
"Ann." panggil Jason pelan saat Anna akan turun dari mobil Jason yang berhenti tepat di depan rumah Anna.
Jason kecil sudah terlelap di pangkuan Anna. Terlihat begitu nyaman. Jason melihat seperti sebuah pemandangan yang sempurna.
"Ya?" Anna urung membuka pintu mobil.
"Selamat malam, mommy Jason."
Anna tersenyum kaku. Apalagi saat Jason menyeringai lebar seakan sengaja menggodanya.
"Terima kasih untuk hari ini." ucap Anna sedikit gugup.
"Aku yang seharusnya berterima kasih."
Ada kecanggungan di mata wanita itu. Tapi bagi Jason ini sangat menggemaskan.
"Hm. J, aku masuk dulu."
"Okay. Oya, Ann.."
"Ada apa lagi?" Anna kembali mengurungkan tangannya yang siap membuka pintu mobil.
"Besok saja. Aku ingin curhat."
Anna tertawa kemudian menggelengkan kepalanya. Dia tidak menyadari jika Jason memanggilnya hanya karena ingin melihatnya lebih lama.
"Oh. Baiklah. Sampai besok."
"Oh, aku lupa. Biar aku saja yang membawa Esen ke dalam."
"Tidak apa. Aku bisa. Kau pulanglah. Hati-hati di jalan, jangan ceroboh."
"Are you kidding me?!" Jason mengerlingkan matanya. Anna terkekeh kemudian buru-buru turun dari mobil Jason sebelum pria itu membalas ejekannya. Masih sempat terdengar gelak tawa Jason sebelum ia menghilang masuk ke rumahnya.
***
Jason bersiul ringan, memantul-mantulkan kunci mobil di genggamannya. Langkahnya seolah tanpa beban memasuki rumahnya yang sudah gelap. Ia tahu Key dan keluarga kecilnya sudah tidur. Padahal jam masih menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia meraba saklar lampu yang berada di dekat pintu masuk. Kemudian ia langsung menuju ke dapur. Tangannya meraih sekaleng soda dari dalam lemari pendingin.
"Kau baru pulang, Nak?" Terdengar suara Bibi Mar dengan tiba-tiba membuatnya tersedak, menyemburkan sedikit sodanya.
"Bibi?!" pekiknya tertahan.
Bibi Mar hanya terkekeh mendapati Tuan mudanya terkejut. Tangannya menuang air putih ke dalam gelas.
"Maaf, jika aku mengagetkanmu."
"Tidak apa, Bibi. Duduklah kalau berkenan." ujarnya seraya menarik sebuah kursi di sampingnya.
"Menemanimu? Baiklah. Aku sudah lama tak menemanimu bicara, Nak. Kau sibuk sekarang." wanita itu segera mengisi kursi tersebut.
Jason terkekeh, menatap wanita tua itu yang kini duduk di hadapannya. Garis-garis tuanya semakin kentara di wajahnya yang mulai senja.
"Bibi,.."
"Bawalah Anna kemari. Kau sering menceritakannya tapi kau belum mengenalkannya padaku, Nak," ucap Bibi Mar tiba-tiba membuat Jason tersenyum kecil.
"Nanti, Bibi. Aku masih ragu. Apa aku salah?"
"Kenapa? Mendengar ceritamu, aku berpikir wanita itu baik untukmu, Nak."
Jason menggelengkan kepalanya. Tangannya menggenggam erat kaleng soda.
"Ya. Tapi aku tidak baik untuknya," lirihnya
"Atas dasar apa kau bicara seperti itu, hm?" Bibi Mar memberengut. Tuan mudanya yang selalu merendahkan dirinya.
"Bibi, apalah aku ini? Dia terlalu baik untukku. Kau tahu aku nakalnya seperti apa? Aku cerobohnya seperti apa? Aku hanya akan membuatnya malu." jelasnya bersungut.
"Tapi anakmu mau menerimamu, bukan?"
"Karena aku ayahnya, Bibi." sungut Jason.
"Dan Anna adalah ibunya." sahut Bibi Mar seraya menepuk bahu Jason.
"Hanum ibu kandungnya, Bibi."
"Ya. Secara biologis. Tapi menurutku anak itu bisa mendekatkanmu dengan ibunya. Anna maksudku."
Jason tersenyum kecut. Wanita sesempurna Anna bagaimana mungkin mau menyerahkan hatinya untuk seorang Jason. Dia tidak ingin Anna menerimanya karena anaknya.
"Papa memintaku untuk mengenalkan pacarku. Padahal aku belum punya sama sekali."
"Bukan pacar. Calon istri, Jason. Tuan Besar sangat ingin kau segera menikah. Kau sudah dewasa, Nak. Lagi pula anakmu pasti menginginkan kalian satu rumah."
"Tapi, Bibi.."
"Istirahatlah. Ini hampir tengah malam. Apa besok kau tak ada rencana bepergian? Kau tak ingin melewatkan satu hari pun tanpa anakmu dan ibunya, bukan?"
Jason meringis lebar. Tangannya mengusap tengkuknya. Bibi Mar seperti ibunya sendiri. Selalu tau apa yang sedang dipikirannya.
"Selamat malam, Bibi."
"Selamat beristirahat, Nak." jawab Bibi Mar lembut seraya mengusap kepala Jason pelan.
Andai saja kau adalah ibuku, mungkin aku adalah pria yang paling bahagia di dunia ini, gumam Jason dalam hati sambil menatap Bibi Mar yang melangkah menuju ke kamarnya yang terletak di belakang.
***
Jason baru saja mengumpat lemari antik tak bersalah yang terpajang di dekat pintu ruang tengah. Ia terlalu fokus membalas pesan dari temannya sampai tanpa sadar ia menjedotkan kepalanya pada lemari itu. Sesaat kemudian ia terpelanting jatuh karena mainan Mikha, putri pertama Keyla yang berserakan di mana-mana.
"Aaahh!!! Siall!!!" geram Jason menahan sakit untuk yang kedua kalinya.
Terdengar suara tawa Mikha dan ibunya yang sedang menyusui Meisha di sofa ruang tengah.
"Kurasa Junior akan menyesal memiliki ayah sepertimu." ledek Keyla di sela tawanya.
"Gara-gara mainan anakmu, huh!" sungut Jason kesal sambil berusaha bangkit.
Tangannya mengusap bokongnya pelan. Ia meringis nyeri. Untung saja ponselnya masih aman di genggamannya.
"Mau kemana? Rapi sekali pagi-pagi?" tanya Keyla saat melihat Jason mengenakan kaos berkerah warna navy yang mencetak jelas tubuh perfect-nya.
"Kau selalu mau tau urusanku."
"Tentu saja. Oya, kau sudah bertemu hanum?"
Jason mengangguk acuh.
"Dan kau sudah mempertemukan dia dengan anaknya?"
"Anakku, Key." ralat Jason tidak terima.
"Ya. Dan dia ibunya." sahut Keyla tidak mau kalah.
"Whatever!"
"J,!"
"Ya. Sudah."
"Terus bagaimana? Anna.."
"Dia tak masalah. Yang bermasalah anakku." potong Jason.
Keyla membulatkan matanya. Ia menatap Jason menyelidik, meminta penjelasan selanjutnya.
"Dia ketakutan saat melihat Hanum." jelas Jason.
"Owh!! Bagaimana bisa? Apa kalian, maksudku kau dan Anna tak memberitahu anakmu bahwa Hanum ibunya?"
"Anak kecil tau apa, Key? Lagipula kau paham bukan, anak kecil itu sensitif dengan orang asing."
"Tapi, J.."
"Hey, Anna sudah membujuknya. Tapi.. mungkin memang wajah Hanum cukup menyeramkan baginya." Jason tahu jika Keyla akan memojokkan Anna dengan dasar tidak pernah mengenalkan anak itu bahwa anak itu bukan anak kandungnya.
"Hey! Sembarangan saja berbicara!"
Jason tertawa," aku serius, Key. Ia menangis keras saat melihat Hanum."
"Kasian sekali, Hanum." gumam Keyla.
"Kau selalu membela Hanum."
"Bukan begitu, J. Aku tau bagaimana rasanya jauh dan merindukan seorang anak."
Jason mengernyit, menatap Keyla yang mendadak melankolis. Dia melupakan jika hati Keyla mudah tersentuh.
"Key.." panggil Jason saat Keyla mulai terlarut dalam pikirannya.
Keyla tergagap kemudian bergidik. Dia mengambil sikap tidak mempermasalahkan hal itu.
"Sudahlah. Dia juga salah kenapa dulu meninggalkan anaknya. Oya, kapan kau akan mengajak Anna kemari?"
Jason mengendikkan bahunya. Ia menatap jam tangan hitam yang melingkar di tangan kanannya.
"Hm, aku harus pergi. Aku sudah janji akan menemani anakku bermain. Anna sedang banyak orderan di toko bunganya."
"Pergilah. Salam untuk mereka."
"Okay, bye." ucap Jason seraya beranjak dari duduknya.
Dia tidak ingin anaknya menunggu terlalu lama. Ah, tidak. Dia sendiri yang tidak sabar ingin bertemu dengan darah dagingnya.
"Om! kemana?!" tanya Mikha yang berusaha mengejarnya.
"Om mau ke rumah abang Esen, Mikha. Mikha di rumah sama mommy, ya? Jangan nakal. Jadilah anak manis." ucap Jason mengusap kepala kecil yang mendongak padanya.
Putri kecil itu tampak sedikit kecewa tapi kemudian ia berlari ke tempat semula ia bermain.
***
Sejak Jason kecil bertemu ayahnya, ia selalu ribut pagi-pagi. Mulut mungilnya tak pernah berhenti merengek-rengek pada Anna menanyakan dimana ayahnya. Malah terkadang bocah kecil itu mengamuk, menumpahkan susunya di meja makan. Anna hanya menahan senyumnya. Ia mengerti bagaimana takutnya anak itu jika nanti ayahnya kembali meninggalkannya.
"Mommy!!" pekik Jason kecil marah saat Anna menyuruhnya bersabar menunggu ayahnya.
"Apa, sayang? Sabarlah sebentar. Pasti daddy datang untuk Esen." ujar Anna seraya menghentikan kegiatannya membuat setangkup roti bakar.
"Esen mau daddy, mommy!!" rajuknya lagi tanpa mendengarkan ucapan Anna.
Anna menghela nafasnya. Ia meraih tubuh kecil itu dalam gendongannya.
"Esen mau daddy.." rengeknya yang kemudian berubah menjadi tangisnya.
Anna menghela napasnya. Dia menggerakkan tangannya untuk mengusap-usap punggung mungil itu berharap agar marah anak itu mereda. Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu di pintu utama.
"Nah, itu. Daddy datang, kan?"
Tubuh kecil itu merosot dari gendongan Anna, berlari sempoyongan mendahului Anna menuju ke pintu. Tubuh kecilnya melompat-lompat berusaha meraih kenop pintu, membuat Anna tak bisa menahan tawanya. Sesaat kemudian tangan Anna membukakan pintu.
"Daddy!!" pekik suara kecil itu yang langsung di sambut dengan sambaran tangan besar ayahnya.
Dalam sekejab Jason kecil tertawa riang di gendongan ayahnya. Apalagi saat wajah kecilnya dihujani ciuman oleh ayahnya. Ia terkikik geli.
"Selamat pagi, mommy Anna." sapa Jason dengan senyum lebarnya.
"Pagi, masuk, J. Anakmu sudah marah sejak membuka matanya," ucap Anna memberitahu.
"Mungkin memang seharusnya Esen tinggal denganku." ucap Jason seraya mengikuti langkah Anna.
"Aku tak akan mengijinkannya. Kau hanya akan membuatnya menderita di rumah itu." tegas Anna tak tergoyahkan. Dia mengingat bagaimana kondisi Jason kecil yang mengenaskan.
"Aku baru membeli rumah beberapa hari lalu. Jadi kurasa kita bisa tinggal bersama membesar Jason bersama-sama." ucap Jason.
Anna menghentikan langkahnya, memutar badannya hingga berhadapan dengan pria itu. Anna memiringkan sedikit kepalanya, menatap mata pria itu lekat-lekat. Sesaat kemudian Anna tertawa terbahak-bahak hingga keluar air matanya. Ini tawa lepas pertama yang Jason lihat dari wanita itu. Dalam tertawa lepas pun ia masih memperlihatkan kelembutannya.
"Kau lucu sekali, J." ucapnya di sela tawanya.
"Ini bukan lelucon, Anna Jason."
"Anna Halim." ralat Anna.
"Dan kau akan menyandangnya dalam waktu dekat. Anna Jason. Enak didengar. Cocok, bukan?" Pria itu memainkan alisnya, menggodanya.
"Apa maksudmu, huh?"
"Kurasa kau paham dengan apa yang kukatakan."
"Ya. Ku anggap kau sedang melucu di pagi hari." ucap Anna acuh kemudian melangkah ke dapur.
Jason menghela nafasnya. Kemudian menatap tepat pada manik mata anaknya, meminta persetujuannya. Sesaat kemudian kepala kecil itu mengangguk-angguk disela celotehannya.
"Kurasa kau menyetujuinya. Anna, ya. Anna Jason." gumam Jason pada anaknya.
Jason kembali membawa anaknya duduk di meja makan, menantikan Anna yang tengah menyelesaikan membuat roti bakar.
"Apa kau ada rencana sesuatu bersama anakmu setelah ini?" tanya Anna yang muncul dari dapur membawa tiga tangkup roti bakar.
"Aku ingin mengajaknya jalan-jalan."
"Baiklah. Jangan lupa kau harus ingat jam makannya. Dan ia hanya mau makan bento selain masakan yang kubuat."
"Akan aku ingat, Ann."
"Oya, aku akan pulang malam mengingat orderan bunga yang sangat menumpuk."
"Tak masalah. Kami bisa mandi bersama, tidur bersama dan melakukan semuanya bersama-sama."
"Okay, selamat bersenang-senang dengan anakmu." Anna tersenyum lebar.
Jason membalas senyum Anna dengan senyum termanisnya, termautnya. Membuat Anna sedikit kaku. Senyuman termanis dari orang setampan ayahnya Jason Junior. Anna tidak pernah mengharapkan itu sebelumnya.
"Kami akan mengantarmu, Ann."
"Tidak perlu, J. Aku bisa sendiri." tolak Anna halus.
"Jangan membantah, Anna Jason."
"Berhenti memanggilku dengan Anna Jason."
"Tidak karena kau harus membiasakan telingamu untuk selalu mendengarku menyebut nama itu." kukuh Jason.
"J.." Anna menatap Jason meminta pengertian.
"Noway!"
Anna menghela nafasnya lesu. Ia kemudian menatap Jason kecil yang seolah menikmati perdebatan kecil itu di antara kunyahannya pada roti bakar itu. Ia bahkan tertawa terbahak-bahak saat ayahnya mencoba menggodanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top