Lima Belas

"Ada yang ingin Jason bicarakan sama mama. Apa mama ada waktu?"

Mama menurunkan majalah femina-nya lalu meletakkan kacamatanya ke meja. Ia menatap Jason yang duduk serius di depannya. Ayahnya yang tengah sibuk membaca setumpuk koran bisnis menatapnya sekilas. Teras rumah belakang semakin terasa suram ditambah pekatnya malam yang terhampar sejak beberapa jam lalu.

"Jason akan melamar Anna dalam waktu dekat."

"Apa kau bilang?!" pekik mamanya kaget.

"Jason akan melamar Anna dalam waktu dekat, mam." ulang Jason dengan penekanan.

"Tidak bisa, J! Hanum dalam sedang dalam sidang cerai."

"Aku tidak mau tahu tentang Hanum, Ma. Aku hanya memberi tahu mama kalau aku akan melamar Anna dalam waktu dekat."

"Mama tidak akan merestuinya, J."

"Atas dasar apa mama tidak merestuinya?"

"Karena mama menginginkan Hanum menjadi menantu mama. Hanya Hanum."

"Tentu saja karena Hanum anak relasi papa." sahut Jason sinis." Aku tak peduli mama mau merestuinya atau tidak. Yang jelas aku akan tetap melamarnya dan menikahinya dalam waktu dekat." Lanjut Jason sebelum meninggalkan mamanya dalam argumen yang belum sempat mama ucapkan padanya.

Ayahnya hanya melirik sekilas, menghela nafasnya lalu melipat koran bisnisnya dan beranjak pergi tanpa kata.

"Pa, tidak bisakah kau menegur anakmu? Aku hanya ingin yang terbaik untuknya."

"Bukan urusanku!" Suaranya dingin menggelegar membuat mama Jason hanya bisa mendesah pasrah.

Ayahnya segera menuju ke ruang kerjanya. Pria tua itu selalu menenggelamkan diri di ruang pribadinya jika di rumah. Bahkan terkadang sampai larut malam. Tak ada yang berani mengusiknya atau mereka akan menghadapi kemarahan jika mengusik pria tua itu. Pria tua itu mengusap wajahnya pelan dengan kedua telapak tangannya. Matanya menyapu ke seluruh ruangan pribadinya yang tak pernah dijamah oleh siapapun selain dirinya. Tidak ada yang istimewa melainkan sebuah foto dirinya dengan seorang wanita, Aisya Ahmed.

"Aku bahkan sudah gila selalu memikirkanmu. Membayangkan kita dalam satu atap. Aku bahkan masih mengingat jelas saat kau melukis sekeping hati yang bertaut. William Russel dan Aisya Ahmed. Oh, aku tak bisa menganggap kita tak pernah terjadi apa-apa.."

Pria tua itu tertawa getir kemudian membuka lebar-lebar pintu kaca dan berdiri bersedekap di tepi balkon.

"Anakmu sangat mirip denganmu. Aku berharap jika kita tak bisa bersama setidaknya anak kita yang bersatu."

***

Sementara itu, Jason menatap langit-langit kamarnya. Kepalanya bertumpu pada kedua tangan yang terlipat. Sesaat kemudian ia bangun meraih ponselnya.

"Ya, J?" Suara lembut itu membuat Jason tersenyum tak jelas.

"Ann,"

"Ya?"

"Hanya ingin memberi tahu saja. Aku bisa sewaktu-waktu melamarmu. Jadi kau harus siap kapanpun itu."

Anna mendengus. Terkadang pria ini hobi memerintah. Mungkin turunan dari ayahnya.

"Kau hobi sekali memerintah, huh?"

Jason terkekeh.

"Tapi kau suka kan?"

"Kurasa kau tidak perlu mendengar jawaban dariku untuk yang kesekian kalinya, J."

"Ann, tunggu aku."

Anna hanya tertawa pelan membiarkan Jason bercerita tentang mimpi dan harapannya. Anna bahkan tidak sampai hati memotongnya karena ia tahu pria itu pasti akan kecewa. Dan Anna sudah berjanji akan membuat pria itu bahagia, mengakhiri mimpi buruk ayah dari Junior.

"Ann,"

"Ya. Aku masih di sini, J."

"Hmm, kau istirahatlah. Aku tidak sabar menunggu hari esok."

"Untuk apa?"

"Bertemu denganmu dan anak kita."

"Baiklah. Sampai ketemu besok, J."

"Love you too, Ann."

Love you too? Kening Anna berkerut. Sejak kapan Jason fasih mengucapkan kalimat itu?

***

"Mama tidak akan keberatan jika Anna mengasuh anakmu. Tapi tidak dengan kau menikahinya, J. Kau harus memikirkan reputasi ayahmu." ujar Mama di sela sarapan yang hanya terdengar suara denting sendok.

"Reputasi papa atau status sosial mama?" tanya Jason sarkastik seraya melirik ayahnya yang diam tak peduli dengan keributan yang ada. Namun ia sempat menangkap tatapan penuh harap dari ayahnya.

"J,!" suara mama terdengar melengking.

"Dan aku baru sadar ternyata Hanum tidak jauh beda dengan mama. Well, aku tidak akan peduli dengan semua argumen mama yang berusaha menjatuhkan niatku karena itu akan sia-sia, Ma."

"Kau sudah yakin dengan Anna?" suara Keyla memecahkan perseteruan ibu-anak.

"Bagaimana kalau iya?"

"Aku tahu kau tahu mana yang terbaik untukmu."

Jason menyunggingkan senyum miringnya. Ia menyudahi sarapannya lalu bergegas pergi. Tak lama ayahnya menyusul.

"Antar papa ke kantor. Dan nanti sore kau harus menjemputku bersama Anna dan cucuku."

"Siap, pap." Jawab Jason menyeringai.

Ia segera melajukan mobilnya menuju ke kantor pusat milik ayahnya.

"Jangan lupa nanti sore.."

"Aku masih ingat jelas, Papa." geram Jason pada ayahnya yang mulai cerewet.

Ayahnya terkekeh lalu meraih tas kerjanya sebelum keluar dari mobil.

"Aku pulang..."

" Jam lima kan, Pap?! Aku akan sampai di sini tepat jam lima!" potong Jason frustasi.

***

Jason mengatupkan rahang kerasnya saat mendengar teriakan Junior yang terdengar ketakutan. Ia segera berlari masuk. Benar saja wanita itu yang menyebabkan anaknya menjerit histeris. Jason menarik kasar wanita itu memghempaskan ke dinding. Wanita itu terperangah, matanya sedikit menciut karena ketakutan atas amarah Jason. Tangan Jason mengepal keras lalu meninju dinding yang berjarak tipis dengan wajah wanita itu. Menoleh sedikit saja sudah pasti bogem mentah itu mendarat di wajah mulus Hanum. Darimana Hanum tahu kalau Anna tinggal di sini?!! Oh! Ia lupa. Pasti mama. Jason menertawakan dirinya dalam hati. Ia masih sempat melirik Anna yang memeluk erat juniornya. Jason kembali mendengus kasar.

"Apa mulutku tidak cukup memberimu pengertian, hah?!! Seharusnya kau tahu diri! Seharusnya kau mengerti!!" suara Jason menggelegar tepat di wajah wanita itu yang kini tinggal menunggu keajaiban atas kemurkaan Jason.

"Anakku tidak membutuhkanmu. Dengar HANUM WIRATAMA. Anakku tidak membutuhkanmu. Seharusnya kau menyadari penolakannya tanpa harus aku yang menjelaskannya padamu, brengsek!!! Apa kau menginginkan tanganku yang menjelaskannya padamu, Hah?!! Jawab! Jangan hanya diam meminta belas kasihan. Bahkan dalam mimpimu pun aku tak sudi mengasihanimu!!"

Anna memejamkan matanya. Tangannya mengusap punggung kecil yang masih mengeratkan tubuhnya pada dadanya. Ia tak pernah melihat Jason marah sehebat ini pada wanita itu. Tapi wanita itu memang tak bisa menggunakan akal sehat dan naluri ibunya. Ia hanya menggunakan egonya untuk mengambil hati anaknya.

"Jangan pernah muncul di hadapan anakku lagi atau kau menginginkan tanganku yang akan membuatmu bungkam!!"

Anna menghampiri Jason yang masih mengeluarkan sumpah serapahnya untuk wanita yang sudah gemetar ketakutan sejak tadi. Tangannya mengusap lembut lengan kekar itu.

"Sudah. Kau akan membuatnya pingsan, J."

"Ada harga yang harus dibayar setiap wanita itu membuat anakku menjerit histeris. Pingsan saja belum cukup, Ann!! Aku ingin melihatnya mengalami serangan jantung sekalian!"

Anna tau pria ini benar-benar marah. Ia kembali mengusap lengan kekar itu.

"Esen ingin kau menggendongnya. Aku akan membuatkannya roti bakar."

Mata itu sedikit luruh lalu berpaling pada pria kecil di pelukan Anna. Ia segera mengambil alih anaknya lalu meninggalkan Hanum yang masih berdiri kaku.

"Enyah kau dari sini sekarang juga, brengsek!!" seru Jason seraya menaiki tangga menuju ke sebuah kamar dan membanting keras pintu itu.

Anna menghela nafasnya. Ia memghampiri wanita yang hampir pingsan menghadapi kemarahan Jason Russel.

"Seharusnya kau tidak membuatnya marah. Niatmu baik menemui anakmu tapi sama saja kau membangunkan singa tidur."

"Maafkan aku."

"Lekas pulang. Dan maaf aku tidak bisa membantumu."

Wanita itu tersenyum tipis kemudian melangkah gontai meninggalkan rumah sederhana milik Anna.

Anna memutar kenop pintu. Ia bernafas lega ketika pria kecilnya sudah kembali tertawa di atas ranjang bersama ayahnya.

"Hay, mom.." sapa Jason ramah seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Mommy.." sapa Esen lebih keras dari ayahnya.

Anna tersenyum lebar. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat ayah-anak ini tersenyum bahagia. Anna menghampiri dua prianya. Esen langsung bangun saat Anna duduk di tepi ranjang. Tangannya menggapai tubuh pria kecil itu yang ingin duduk di pangkuannya. Sementara Jason memutar tubuhnya hingga kepalanya di dekat Anna.

"Ann.."

Anna menjatuhkan tatapannya pada manik mata coklat keemasan itu. Nalurinya menyuruh tangannya untuk bergerak mengusap pipi Jason yang sama lembutnya dengan anaknya. Jason hanya memejamkan matanya menikmati sentuhan yang membuat dadanya membuncah, bahagia tak terkira.

"Ada apa, J?"

Jason hanya menggeleng tanpa berniat membuka matanya. Anna hanya terdiam mengamati wajah polos yang teramat lelah.

Jika aku adalah alasan yang bisa membuatmu menghilangkan lelahmu, aku rela, J.

"J, aku akan ke bawah sebentar. Esen belum sarapan dari tadi."

Jason membuka matanya. Ia menggeram, pasti karena wanita itu.

"Jam berapa Hanum ke sini?" tanya Jason dingin.

"Satu jam yang lalu. Hmmm sekitar jam tujuh."

"Sialan!"

"Berhenti mengumpat di depan anakmu, J. Kau mau ikut? Atau.."

"Aku akan sarapan lagi. Aku bahkan tadi hanya makan beberapa suap. Mamaku menghilangkan selera makanku karena terus membicarakan Hanum dan menjatuhkanmu."

"Memang seharusnya.."

"Atau kau ingin aku mematikan rasa itu? Jangan salahkan aku jika.." potong Jason.

"Maafkan aku, J. Bukankah aku sudah berjanji?" potong Anna.

Jason melengkungkan senyumnya lalu merengkuh bahu Anna seraya menuruni tangga menuju ke ruang makan.

Yeyy!! Loti! Loti! Esen mau, Mommy. Hmmm...enaakkk." seru bocah kecil itu sambil menghirup dalam-dalam aroma roti bakar selai coklat kesukaannya.

Anna mendudukkan tubuh kecil itu ke kursi dan memberinya satu tangkup roti bakar yang langsung di lahap oleh mulut mungil itu.

"Aku ingin kita pindah ke rumah baruku, Ann. Aku tak ingin kejadian tadi pagi terjadi lagi."

"Tenang saja, J. Mungkin Hanum sudah takut mendengar kemurkaanmu tadi."

"Turuti aku, Ann. Untuk kali ini saja."

"Hm, aku akan memikirkannya."

"Oya, papa nanti sore ingin kita menjemputnya."

"Papa?"

Anna senyum-senyum mengingat pria tua yang weekend lalu berkunjung ke rumahnya. Pria tua itu tampak sangat bahagia bertemu Esen.

"Owh! Okay. Kita akan menjemputnya."

"Terimakasih, Ann."

"Tidak masalah, J. Papamu sangat menyenangkan."

===============>>>>><<<<<<================

Hay.. Hayy...
Ada yang nunggu kelanjutan cerita ini ga?! hihihihihi..
Maaf baru update..
Maaf masih banyak typo..

Selamat menikmati..

Oya, mampir terus yaa vote dan comen nya

Regards :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top