3. Wanita Bermata Merah Itu Akan Mengejarmu

SETELAH CAHAYA remang kuning dan jingga menyeruak, Yuch tersentak. Ia lupa mengerjap beberapa kali. Ada semerbak bau karamel dan jagung mengelus hidung. Hingga ia sadar, Kiliv berdiri di hadapan.

"Kiliv!" erangnya, napas memburu—

Bukan Kiliv yang berada di hadapan, melainkan sesosok gadis pucat yang duduk meringkuk di atas sofa. Rambut panjang kusut tergerai menutupi wajah. Dia memainkan kuku kaki. Di antara gadis pucat itu dan Yuch, ada sebuah meja kopi. Cahaya kuning dan jingga tadi berasal dari lentera yang sedari tadi dipandang.

Ini di mana— Hingga Yuch sadar mengenai lentera jingga di depan. Seperti lampu lava, tetapi cahaya bergerak-gerak seperti api. Namun, bukan aroma keletik yang menguar, melainkan karamel dan jagung.

Ini di dalam rumah tua itu! Yuch tersentak. Tidak, bau ini persis seperti permen jagung yang suka diberikan Kiliv setelah berkeliling ke rumah-rumah!

Yuch tercekat. Ia ingin sekali berteriak, kabur, atau pingsan. Namun, suara mengganjal di kerongkongan. Sekujur kaki lemas seketika. Dia hendak pingsan, tetapi kedua tangan kokoh menyangga. Pemuda pirang itu pun berteriak dalam hati, Baba, Baba, Baba, apa yang harus aku lakukan—

Sang gadis pucat tiba-tiba mendongak, dan sontak lentera padam. Sepasang mata merah menjadi sosok terakhir yang ditangkap netra hazel Yuch.

Di mana dia pergi!? Apa yang sedang terjadi!?

Gelap. Tidak ada apa-apa yang mampu diraba, termasuk suara yang mengetuk gendang telinga. Hanya deru napas Yuch yang memburu berkali-kali. Bahkan, tanpa terasa bau karamel dan jagung kian memudar. Lantai kayu reot yang ditutupi debu, perlahan melunak seperti gambut, lalu ada gemeresak ilalang yang tumbuh cepat dari dalam.

Rumput!? A-ada apa sebenarnya—

Bunyi tiga ketukan pintu tiba-tiba menggaung, lalu teranglah sekeliling. Lentera kuning dan jingga tadi menyala, namun tidak hanya di depan Yuch. Dengan radius seratus meter, satu per satu seberkas cahaya bagai lilin menyala.

Satu, dua, tiga. Yuch menghitung seraya mengikuti arah nyala lentera, hingga dapat menjumlah pasti. Ada dua belas.

Dan di saat yang bersamaan, bau karamel dan jagung tiba-tiba menguar kembali.

Ini di mana? Yuch melongo, tak percaya.

Ketika mata mengedar, dia mendapati alam terbuka. Ini tempat yang dilihat dalam film dokumenter yang paling ditakuti. Seperti lapangan pacuan kuda, hanya ada rumput hijau yang bertebaran. Namun, semua hitam. Langit menunjukkan bulan sabit dan gemerlap bintang musim dingin. Satu-satunya cahaya adalah lentera-lentera jingga yang mencuat di atas pagar lingkaran. Ada tiga belas: dua belas di sekeliling dan satu di hadapan Yuch.

A-apa ini!? bentak Yuch dalam hati—

"Kak Yuch!" Itu suara familier di telinga sang pemuda sempoyongan.

Yuch spontan berbalik, lalu bangkit. "Kiliv!"

Sosok gadis berambut pirang bergelombang berdiri di atas sebuah truk bak terbuka. Dia berada di luar pagar yang melingkari Yuch. Kiliv memanggil sang kakak amat riang. Senyum merekah dan tangan memanggil-manggil.

"Kak Yuch, Kiliv pergi dulu, ya!" teriak Kiliv dari jauh.

Yuch cepat-cepat menggeleng seraya melangkah. "Tidak, tidak! Kiliv, jangan ke sana!" Yuch semakin cepat.

Kiliv malah tertawa. Dia melambai semakin kencang amat bahagia. Kontras dengan raut panik Yuch yang berkeringat, gadis tujuh belas tahun itu girang, seperti ada yang lebih berharga daripada sang kakak.

Derum mobil bak terbuka menyala. Kiliv semakin girang sedangkan Yuch gemetaran.

Kiliv akan pergi untuk selamanya! Cepatlah Yuch! Dia menepuk kaki; amat berat bergerak di lapangan kuda, seperti tertaut besi. "Kiliv! Turun dari sana!"

Namun Kiliv tak mendengar, seperti ada sumbat di kedua telinga. Gadis berwajah kusam itu malah melonjak girang setelah kendaraan yang dinaiki bergemuruh—

Satu lentera mati.

Suara kunci menutup menyeruak, tepat di bawah sinar jingga yang lenyap. Yuch menoleh ke arah lentera mati di ujung kanan, seraya berlari. Mata seketika membelalak, dan ia buru-buru menyadari, Di bawah lampu-lampu itu ada lubang kunci, lalu akan menutup setiap lentera mati.

"Kiliv, dengarkan kakak! Turun dari sana, dan kembali ke sini!" bentak Yuch. Dia baru berlari lima langkah, tetapi keringat sudah bercucuran. Ini seperti mimpi yang aku tak bisa berlari di dalamnya.

"Tidak apa, Kakak! Kak Yuch baik-baik bersama Baba, ya—"

Dua lentera mati.

Pagar di sebelah lentera pertama ikut mengunci. Searah jarum jam, dan tadi adalah pukul satu dan dua. Yuch setidaknya harus berlari seperti maraton agar bisa menjangkau sang adik seratus meter di depan.

"Kiliv! Kiliv!" panggilnya, hampir putus asa.

Tiga lentera mati.

Mobil bak terbuka mulai berjalan, dan Yuch terus mengumpat, "Sialan! Berhentilah!"

Empat lentera mati.

Kiliv melambaikan salam.

Lima lentera mati.

Enam lentera mati.

Tujuh lentera mati.

Yuch berlari membelok untuk mengejar sang adik. Truk berjalan ke selatan, sedangkan pemuda sebatang kara itu ke timur.

Delapan lentera mati.

"Jangan bawa Kiliv dariku, Gadis Penyakitan!" teriak Yuch, mengutuk sosok bermata merah yang membawa kemari.

Sembilan lentera mati.

Yuch buru-buru melompat. Tubuh jangkung mulai ringan.

Sepuluh lentera mati.

Yuch meraih pagar yang berjarak dua lentera mati. Lubang kunci di bawah telah menghilang. Pemuda panik itu harus menerobos pagar untuk meraih sang adik.

"Apa-apaan ini!?" Yuch menggoyang pagar, tidak mau terbuka.

Sebelas lentera mati.

Tinggal satu lampu yang belum padam, dan itu di hadapan Yuch. Buru-buru, pemuda jangkung tersebut melompat melewati pagar setinggi pusar. Berhasillah diraih bak terbuka dari truk yang sedang berlari. Yuch hampir saja berhasil menyusul sang adik, tetapi ada yang menahan.

Kaki kanan Yuch ditarik oleh gadis bermata merah.

"Lepaskan kakiku, Gadis Penyakitan!" bentaknya, menendang-nendang.

Sang gadis tak menggubris, bahkan mencengkeram semakin dalam, termasuk dengan kuku pucat yang merobek celana kargo Yuch.

"Kak Yuch, kenapa ikut kemari?" tanya Kiliv, "Kak Yuch mau ikut?"

Yuch menggeleng. "Kau yang harus ikut kakak, Kiliv!"

"Tidak bisa!" balas sang adik, ikut menggeleng.

"Kiliv, menurutlah kepada kakak—"

"Karena Kiliv sudah mati."

Dua belas lentera mati.

Lalu semua berubah gelap.


***


Tinggal satu lentera yang masih menyala. Cahaya jingga itu berdiri tepat di tengah. Lapangan pacuan kuda yang sedari tadi menjadi saksi kepergian Yuch, kini berubah menjadi ruang tengah rumah tua. Tanah gambut berumput berganti kayu reot berdebu, lalu sofa merah tiba-tiba menyembul di samping lentera. Ada meja kopi yang menahan cahaya jingga itu. Dan di dekatnya ....

Ada gadis bermata merah duduk meringkuk.

Dia memainkan kuku kaki. Namun, ada air mata menggenang di samping. Gadis pucat itu menangis setelah Yuch pergi.

"Ketakutan pertama adalah Baba." Gadis pucat tersebut akhirnya berbicara. "Mereka takut tidak bisa makan maupun kesepian."

Suara gadis itu serak, seperti angin yang meniup celah-celah bebatuan di padang pasir, lalu ada air yang merembes dari sela-sela; melumuri dinding jurang berlumut.

"Ketakutan kedua adalah Rusia." Gadis itu lagi-lagi berkata seraya memainkan kuku kaki. Bunyi gemeletak api yang membakar perapian sesekali mengiringi. "Yuch takut dibunuh oleh orang-orang kuat itu. Dia teringat dengan perang dunia kedua, yang pada saat itu Nazi akan menghabisi para Yahudi.

"Yuch selalu ingat film dokumenter itu. Ketika para orang tua dikumpulkan di tengah lapangan pacuan kuda. Mereka menyaksikan anak-anak dibawa pergi menggunakan mobil bak terbuka. Para ibu tersebut menangis. Namun, anak-anak yang dicinta malah tertawa seraya melambaikan tangan.

"Mereka tidak tahu maut sedang menanti.

"Yuch takut kepada hal itu. Ketika ketakutan tersebut menjadi nyata, dia bergegas menahan. Dia berlari bersamaan lentera yang mati perlahan, termasuk lubang kunci yang menghilang satu per satu. Dia menggapai Kiliv yang tertawa gembira, persis di film yang Yuch ingat. Sang adik tak tahu maut sedang menanti."

Gadis bermata merah itu berhenti berbicara. Mereka memandangi dua sosok yang terbaring di depan. Mata terpejam, tetapi napas masih naik turun.

Itu Yuch dan Kiliv.

Sang gadis pucat memandangi keduanya lekat-lekat. Ia menggeleng sendiri seraya mengecap bibir. Andai, aku bisa berbicara kepada kalian, sesungguhnya jawaban kalian aka sama denganku.

Lalu gadis bermata merah itu meletakkan kedua punggung kanan di atas dahi Yuch dan Kiliv. Sang kakak di kiri, sedangkan adik di kanan. Dia menghela napas berat.

Bangun dan pilihlah jawaban kalian.

Sang gadis bermata merah mengetuk dahi kakak beradik di depan, tiga kali berturut-turut.

Satu, dua, tiga

Yuch langsung membelalak, lalu menarik napas kuat-kuat. "Kiliiiv!"

Bagai orang kesetanan, dia terbangun dibubuhi keringat bercucuran dan dada yang memburu. Mimpi itu. Benar-benar terjadi? Aku ... berhasil menarik Kiliv ke dalam pagar?

Yuch menoleh ke kanan perlahan. Ada sensasi kulit manusia ketika tangan meraba. Perlahan, dia harap doa terkabul. Kiliv, aku mohon, kaulah itu—

Lalu Yuch disambut oleh sekujur gadis berambut pirang bergelombang sebahu. Wajah putih, tetapi kusam terlelap teduh. Sekali lagi, Yuch meraba pergelangan sang adik untuk mendeteksi panas, atau tidak, napas masih berjalan ke paru-paru.

"Syukurlah!"

Yuch menemukan apa yang diinginkan. Sang adik masih hidup. Beruntunglah lentera jingga di atas meja kopi menerangi. Pemuda kesepian itu dapat melihat kembali sang adik.

"Kiliv, bangunlah!" Yuch mengguncang pundak sang adik.

Dalam tiga panggilan, mata Kiliv mengerjap, lalu menampakkan mata hitam yang lama tak terbuka.

"Kak Yuch ..., apakah kita berada di akhirat?" tanya Kiliv, terbata-bata, "jika ya, mengapa akhirat segelap ini? Apakah kita di neraka—"

"Tidak, Kiliv!" Yuch memeluk sang adik. Dia menangis. "Tidak penting kita di mana. Yang pasti, aku hanya mau kita bersama!"

Tapi muka Kiliv malah muram. Ia tak bahagia berada dalam dekapan sang kakak. Bahkan, mata hazel Yuch menderaikan air mata sampai membanjiri ubun-ubun.

"Tidak," sahut Kiliv, mendorong sang kakak. "Seharusnya aku tidak di sini."

"Kenapa!?"

"Aku ... sudah mati."

Hanya bunyi api yang bergemeletak yang mengisi kesunyian. Yuch hanya mampu memandang nanar sang adik.

"Tapi aku mau kau di sini, Kiliv!" Dan menghilanglah gadis bermata merah! "Aku ingin kau ikut kakak!"

Kiliv tiba-tiba menangis. Dia tidak suka mendengar tawaran sang kakak.

"Ada apa, Kiliv?" tanya Yuch.

Tapi Kiliv enggan segera menjawab. Hingga ....

"Bagaimana kakak ikut denganku?"




Dan hanya permintaan satu orang yang dikabulkan malam itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top