Bagian 5: Disemangatin Kak Alpha 🦁
Haii Haiii~ Udah Senin lagi nih. Gimana? Apa Senin udah nggak jadi MONster Day buat kalian karena ada Kak Alpha dan Beta? hihihi
Well, Enjoy reading. jangan lupa ramaikan vomment yaaww
┏━•❃°•°❀°•°❃•━┓
Katanya, ini negara terbuka yang menerima segala 'suara'
Namun, kalau 'suara' kita hanya sekedar menyapa telinga tanpa pernah masuk,
untuk apa 'bersuara'?
┗━•❃°•°❀°•°❃•━┛
Bagian 5: Disemangatin Kak Alpha 🦁
Kalau diibaratkan usia manusia, Betari ini ibarat anak usia sembilan tahun yang akhirnya bisa memiliki hak untuk memilih mainannya sendiri. Namun, pilihannya malah berakhir dikembalikan ke dalam etalase hanya karena kalimat, "Yang ini aja ya, warnanya lebih bagus. Mama suka yang ini."
Sama halnya dengan jurusan kuliah yang sejak beberapa bulan belakangan sudah ia tetapkan menjadi jurusan yang akan ditempuh sedikitnya empat tahun. Sejak awal, kedua orang tuanya sudah mengijinkan Betari untuk memilih jurusan apa pun selama gadis itu bersedia masuk ke Universitas Tugu Kujang tanpa harus mengikuti tes untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Kalau masalah ini, Betari maklum. Teramat malah. Karena kondisi keuangan keluarganya tidak se-sultan itu untuk membiayai kuliah dua anak sekaligus bahkan dengan jarak satu tahun seperti dirinya dan Binar. Namun sekali lagi, pilihannya berakhir kembali ke dalam etalase begitu Yudi---ayah Betari---mendatangi kantor Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK) universitas dan meminta Beta mengubah jurusan kuliahnya.
"Education is ...." Betari kembali melihat catatan di atas kertas HVS yang dilipat kecil. "Education is one of the important things in a country. Because---ck! Susah banget!"
Dian yang tengah mengawasi Betari dari sofa hanya menggeleng sambil terkekeh saat melihat teman dekat adik bungsunya itu menjatuhkan dahi ke atas meja tamu. "Udah coba dicari artinya belum, Beta? Kalau dihapal kayak gitu aja bakal susah masuknya. Coba dipahami isinya dulu."
Betari langsung mengangkat kepala. Menatap Dian dengan mata berkaca-kaca. "Udah kok, Mbak. Ini aku udah paham maksudnya, cuma ini tuh---ini tuh susah."
"Jangan dipaksa. Udah bau angus ini, kepala si Cadel udah ngebul, Mbak." Sanuar datang dengan segelas teh tarik hangat yang diletakkan di hadapan Betari. Lelaki itu mengipasi atas kepala Betari dengan kedua telapak tangannya.
Hal itu kontan mebuat Betari menoleh cepat sambil melayangkan tatapan sinis. Gadis itu berdecak sebal. Bibirnya bahkan tanpa ragu mengeluarkan umpatan untuk Sanuar.
"Kak Alpha juga kalo disuru ngapalin kayak ginian pasti nggak bisa, kan?!" sinis Betari, tetapi kedua telapak tangannya malah asyik menangkup gelas berisi teh tarik yang dibawakan Sanuar.
"Ya kamu juga kalo diminta ngapalin rumus fisika pasti nggak bisa. Masing-masing jago di bidangnya," Sanuar menyahut tak acuh sambil mengecek ponsel.
Betari memicing. Menelisik sosok yang tengah asik duduk melantai di sampingnya dan mengistirahatkan punggung pada sofa. "Ini pasti bukan Kak Alpha-nya aku! Ngaku! Kak Alpha nggak mungkin punya kata-kata bagus kayak gitu. Kembaliin Kak Alpha-nya aku! Cepet!"
Sanuar hanya melirik. Menatap jengah Betari dari ujung matanya. Selalu begitu. Setiap kali Sanuar mengeluarkan kata-kata bagus, respons Betari selalu menyebalkan seperti itu. "Berisik, Del. Cepet abisin itu teh tariknya, ntar anyep malah nggak mau diminum."
Dian terkekeh kala menyaksikan interaksi dua manusia di hadapannya. Menggeleng ringkas sambil menghampiri. "Hari ini sampe sini dulu aja hafalinnya. Masih ada waktu dua hari lagi sebelum mata kuliah speaking 1, kan? Nanti Mbak bantu lagi," ujar Dian.
Mata Betari bebinar bahagia, mengerjap cepat di balik gelas teh tarik yang sedang diminumnya. Mengacungkan satu ibu jari sambil terkekeh. "Tapi kalau besok, aku lewat video call aja boleh, Mbak? Soalnya besok ayah berangkat ke Jakarta, nggak ada yang bisa anter ke sini nanti."
"Kakak jemput aja," Sanuar menyahut cepat.
"Nggak bisa, ish. Kata ayah, nggak boleh kemana-mana kalo ayah lagi nggak di rumah."
"Boleh, kok, boleh ... nanti kasih tau mbak aja mau jam berapanya," ujar Dian.
Sanuar berdecak kecil hingga hanya bisa didengar oleh telinganya. Wajahnya jelas sekali menunjukkan ketidaksukaan pada fakta bahwa besok Cadel-nya tidak akan berkunjung. Dari ujung mata, Sanuar mendapati Betari yang tengah merapikan barang bawaannya. Memasukkan semua, termasuk sampah plastik bekas permen jahe milik gadis itu ke dalam tas bahu hitam dengan motif kepala anak singa.
Tiba-tiba, Betari menoleh. Menatap Sanuar sambil mengerjap cepat. "Ayo, Kak. Aku mau pulang."
Sanuar mengangguk. Mengambil kunci motor yang diletakkan dekat TV sambil memakai jaket. "Ayo, Del. Udah---" Ucapan Sanuar terpotong kala mendengar suara guyuran hujan deras dari luar rumah.
"Naik mobil aja, Sanu," kata Dian.
"Mobil dibawa Wisnu, Mbak," Sanuar menyahut lesu. Merasa tidak enak saat melihat raut gelisah Betari.
⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆
Sanuar masih saja mengusak kasar rambutnya. Sesekali menatap ke luar jendela, lalu melirik Betari yang tengah duduk di atas sofa sambil bersidekap. Lelaki itu menghela napas kasar. Duduk melantai sambil menyandarkan pelipis pada lutut Dian yang duduk di sebelah Beta.
"Udah kek, Del. Masa kakak yang dicemberutin? Kan hujan juga bukan kakak yang nurunin," gerutu Sanuar.
"Nginep aja nggak apa-apa. Kan tadi mbak udah telepon mamanya Beta. Besok juga pulangnya mbak ikut nganter biar nggak dimarahin. Sekarang, mending Beta bersih-bersih dulu, ganti baju pakai punya mbak. Nanti tidur di kamar mbak ya."
Betari selalu suka kalau Dian sudah mengusap sayang puncak kepalanya. Berbicara dengan nada lembut. Rasanya seperti dipeluk sampai hati. Seperti menemukan sosok seorang kakak yang sesungguhnya. "Iya, Mbak."
Ini adalah kali pertama Betari menginap di kediaman Sanuar. Kalau hanya sekadar mampir, sih, sering---selama itu ada Dian, Betari tidak menolak. Entah kenapa, fakta bahwa Betari akan bermalam di rumahnya membuat Sanuar senang hingga tidak bisa menyembunyikan senyuman.
"Kok, senyum-senyum gitu?" Betari memicing curiga. Gadis itu baru saja kembali setelah mencuci muka dan berganti pakaian dengan piyama milik Dian. Jejak basah pada kedua alis dan anak rambutnya bahkan masih terlihat.
"Eh? Kok nggak langsung tidur? Biasanya jam segini chat WA udah nggak di-read gara-gara udah tidur," Sanuar terkekeh.
Beta hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Mbak Dian lagi telfonan sama suaminya. Aku nggak enak kalo dengerin obrolannya."
"Nggak enak?" Wajah Sanuar berubah aneh. Matanya memicing, kedua alisnya naik-turun. "Ngobrolin apa emang?"
Betari melempar bantal sofa dan mendarat tepat di wajah Sanuar. "Mukanya Kak Alpha kenapa makin di bikin jelek begitu?"
Sanuar malah terbahak. Tidak ada sedikit pun raut sakit hati ketika parasnya yang dipuja perempuan seangkatannya itu justru dikatai jelek oleh satu-satunya perempuan yang teramat dekat dengannya.
"Kak, mau nonton Simba ...." Betari mengetuk-ngetuk bahu Sanuar dengan remot TV.
Sanuar hanya mengangguk. Mengambil remot dari tangan Betari dan mulai mencari tayangan yang si Cadel-nya inginkan. Lelaki itu bersandar pada badan sofa. Menatap malas layar TV yang mulai menampilkan deretan hewan dengan latar musik khas. Bukan apa, series Lion King ini sudah berkali-kali diputar---tidak terhitung bahkan.
Diam-diam melirik sofa panjang di sebelahnya, Sanuar semakin dibuat jengah karena betari malah tampak antusias. Binar matanya memang tidak pernah redup setiap kali menonton Lion King. Tadinya ia ingin mengajak Betari mengobrol, tetapi melihat gadis itu yang seolah sedang berada di dunia lain, Sanuar jadi urung. Maka mau-tidak mau, ia juga ikut menonton.
"Del, itu Simba yang masih kecil, kan, ya?" Sanuar memulai. Sengaja sekali ingin mengalihkan atensi Cadel-nya.
"Iya."
Sanuar terkekeh seraya mengangguk sebelum kembali bersuara, "Nah, liat deh. Simba aja nggak berenti nyoba buat mengaum padahal dia tau suara yang dia keluarin itu selalu cempreng. Kamu juga harus kayak gitu."
Betari akhirnya menoleh. Menatap telak Sanuar sambil mengangkat satu alis. "Maksud Kak Alpha suara aku cempreng gitu?"
Wajah Sanuar berubah datar. Kalau saja bisa, mungkin perempatan siku-siku seperti yang di anime akan muncul di dahinya. "Bukan gitu, Del. Maksud kakak, jangan pernah nyerah walau kamu tau kamu nggak bisa. Walau kamu tau itu susah. Liat aja, pada akhirnya, Simba bisa mengaum dengan suara bagus. Karena apa? Karena dia nggak berhenti mencoba dan berjuang. Karena pada dasarnya, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Jadi ... jangan nyerah ya."
Betari mengerjap pelan. Lalu, tidak lama, senyumnya terbit. Mengangguk pelan seraya berkata, "Iya, Kak."
Tunggu, ini kenapa gue deg-degan cuma gara-gara liat dia natap gue sambil senyum?
⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆
TBC
A/N
Hai, Natha cuma mau ucapin maksih buat Harmony yang udah sempetin baca dan vote. Ummm ... tapi, boleh Natha minta sedikit disemangatin lagi dengan meninggalkan pendapat kalian di kolom komentar? anything, Natha sangat menantikan kritik dan saran Harmony untuk cerita ini 💕💕
*DeepBow
Natha 🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top