Bagian 39: Sang Ketuk(er) 3
Holaaa~~
Selamat Sunday Pagiiiii xixixi
Coba yg libur hari ini, angkat tangannya!!!
.
Nggak, Natha nggak libur kok wkwkwk
.
Tersisa 2 draft lgi, dan cerita ini akan selesai~ jadi ayok ramaikan yaa
.
Okee, kita mulai chapter ini dari 0.
Yuk jgn lupa tekan tombol bintang dan ngerusuh d kolom komentar 😁
.
Enjoy reading 💜🥰
.
Bagian 39: Sang Ketuke(er) 3
Kalau biasanya Sanuar bisa menjadi si paling bete dan mager saat diajak ke mall, hari ini ia menjadi si paling antusias. Kedua bola matanya berbinar cerah, persis seperti kerlap-kerlip bintang di malam hari.
"Ini aja kali, ya, Bi?" Sanuar menunjukkan boneka beruang seukuran manusia.
"Hm? Menurut lo, Betari bakal suka yang model begini?" Nadanya dibuat tertarik. Kedua alisnya berkerut rikuh seolah memberikan penilaian dengan serus. Padahal dalam hati sudah menyumpah seraphi temannya. 'Ya begini orang yang pengalaman putusnya cuma sama tali puser. Buset deh, ini tahun berapa emang? Masih jaman emang ya ngasih boneka macem begini? Norak bener!"
"Dia sukanya singa, sih. Cuma boneka singanya nggak ada yang segede gini. Pitik-pitik begitu mana bisa dipeluk?"
"Ya udah, terserah lo kalo---eh?! Bentar! Ini boneka segede gaban mau lo bawa pulang begimana?" Abiyyu tampak nyolot.
"Kan kita bawa motor. Kenapa, sih? Kok ribet?!" Sanuar juga tidak mau kalah.
"Ya lo pikir kita mau jadi kayak cabe-cabean yang bonceng tiga di motor?!"
"Oh?" Wajah Sanuar mendadak seperti anak hilang. Blank as if he's zoning out. "Ya udah, kalo nggak mau bonceng tiga. Lo naik ojol aja? biar gue sama bonekanya berdua di motor.
"Nggak tau diri emang si kampret!"
Setelah itu Sanuar dan Abiyyu total menjadi pusat perhatian orang-orang yang tengah berbelanja di toko tersebut. Ya, bagaimana lagi, sudah mah bukan remaja lagi, tetapi tingkahnya malah kelewat kecil dari kata remaja, lari-larian tidak jelas sambil berteriak heboh. Oh, jangan lupakan boneka beruang yang dipikul seperti karung. Tenang, Sanuar sudah sempat membayar kok tadi. Jadi tidak akan diteriaki maling.
***
"Sampeeee!!" Jamal berseru riang.
Berbanding terbalik dengan Betari yang justru tampak lesu dan tidak menyimpan minat. "Bener, ya, sore nanti dianter pulang?!"
"Ya ampun cantik, iya, iya ... jangan cemberut gitu dong! Masuk dulu yuk sebentar. Kamu tunggu di dalem aja sambil kakak panggilin anak-anak futsal buat kumpul."
Betari sejak tadi sudah menolak saat Jamal memintanya untuk menemani---lebih tepatnya menonton---dirinya bertanding futsal. Namun, entah mengapa, bujukan lembut Jamal membuat Betari mau tidak mau untuk lagi-lagi melewati batasan yang sudah dibuatnya.
Saat berada sendiri di kamar Jamal, Betari mengambil kesempatan untuk meneliti setiap sudut kamar kos 3x4 itu. Tidak, Betari tidak bertindak kurang ajar untuk benar-benar menilik sampai ke sudut terkecil. Perempuan itu hanya duduk di kasur lantai dengan bantal yang ia topang di atas paha. Matanya hanya mengamati keadaan kamar Jamal yang tampak rapi, bersi dan wangi.
'Kamar Kak Alpha kayak gimana, ya?' Ia tersenyum. Kedua pipinya merona. Tersipu sendiri karena pikiran tentang Kak Alpha-nya melintas tanpa tahu waktu. 'Ah, jadi nggak sabar mau cepe-cepet telepon Kak Alpha!"
Betari cepat-cepat mengambil ponsel. Raut wajahnya mendadak berubah lesu karena melihat presentase baterai yang hanya tinggal 20 persen. Namun karena sudah tidak sabar, ia tetap menelepon Kak Alpha.
"Halo, Kak. Assalamualaikum!" ujarnya ceria.
[Halo, Del? Loh, katanya mau telepon malem?]
Betari tidak bisa mendengar suara Kak Alpha-nya dengan jelas karena suara bising kendaraan. "Kakak lagi dimana? Kok, berisik?"
[Hah? Plastik?]
"Ish! Kok plastik? Berisik! Be ri sik!"
[Oh? Hehe. Iya, nih. Kakak lagi di jalan. Udah deket rumah kok ini. Lanjut nanti aja teleponnya nggak apa-apa?]
"Hm, nanti malem aja deh. HP aku lowbatt. Nggak bawa charger."
[Nggak bawa charger? Kamu lagi dimana emang?]
Beteri memejam. Meringis pelan karena sadar betul ia salah berucap. Namun karena tidak ingin lagi membuat suasana semakin runyam, ia memilih untuk menjawab jujur.
[Ya udah, share loc sekarang. Nanti nggak usah dianter pulang sama dia. Kakak yang jemput.]
Tidak ingin ajang baru baikan-nya tidak berjalan lancar, Betari akhirnya menurut. Tidak lama setelah selesai berbicara dengan Sanuar, rintikan hujan yang tadinya ha pir tidak terdengar, kini menjadi guyuran lebat. Bersamaan dengan itu, Jamal datang dengan keadaan basah kuyup.
"Hujan hehe futsal-nya nggak jadi. Sebentar, ya. Kakak mandi dulu."
Betari hanya diam. Perasaan tidak enak tiba-tiba melingkupi hatinya. Perempuan itu menjadi gelisah tidak karuan. Suasana ini mengingatkan Betari pada hal menakutkan yang membuatnya trauma sampai sekarang.
Dalam kesenderiannya yang ditemani suara riuh hujan, Betari mencoba menenangkan diri. Meyakinkan diri sendiri bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi lagi, terlebih saat ini ia bersama Jamal. Sosok yang tidak pernah melewati batas aman yang Betari buat. Sosok yang selalu berujar lembut. Sosok yang seperti Kak Alpha-nya.
"Anginnya kenceng banget. Kakak tutup pintunya, ya? Hujannya masuk ke dalem nih jadinya."
Suara Jamal membuyarkan lamunan Betari. Entah mengapa, meski sudah cukup meyakinkan diri, rasa gelisah itu tidak juga hilang. Tubuhnya bahkan bergetar tipis, dan Betari yakin kalau itu bukan disebabkan oleh rasa dingin yang membelai kulitnya.
"Mau minum teh, nggak? Atau mau bikin mie rebus? Biar anget, kamu kayaknya kedinginan. Oh, pake jaket kakak nih biar nggak terlalu dingin." Jamal sedikit heran saat medapati Betari yang hanya diam saja. "Beta?"
"Ma-mau pulang ...," lirih Betari dengan bibir yang bergetar tipis.
"Hei, kenapa---" Jamal mengerjap ketika Betari menghindari tangannya. Perempuan itu tampak ketakutan.
"Pu-pulang ...."
"Iya, nanti kakak anterin ya. Tunggu hujannya reda du---"
"Se-sekarang ... pulang ...." Betari akhirnya tidak bisa menahan isak tangis. "K-kak Alpha ... mau dijemput Kak Alpha aja ...."
Jamal mendengkus. Raut wajahnya menjadi tidak bersahabat. "Apa, sih? Orang lagi sama kakak, kok sebut-sebut orang lain?"
Betari menoleh. Tubuhnya semakin bergetar ketika sadar bahwa atmosfer ini sama persis saat ia mengalami kejadian itu saat sekolah menengah pertama. Hal itu membuat Betari semakin menangis karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan dirinya.
"Kakak nggak akan nyakitin kamu, Beta," Jamal berujar lembut. Berbanding terbalik dengan tangannya yang menggenggam kedua tangan Betari dengan kuat.
"Sa-sakit!"
"Hm? Sakit?" Jamal mengecup paksa kedua punggung tang Betari. Lelaki itu semakin mendekat hingga kini wajahnya sudah berada di dekat leher Betari.
Tubuh Betari bergetar hebat kala ia merasakan embusan napas Jamal di lehernya. Ia memejam dan dengan sekuat tenaga mendorong Jamal. Berhasil, Betari bangkit dan dengan cepat meraih knop pintu. Namun sayang, ia lupa bahwa Jamal ada lelaki dan ia perempuan. Jelas saja tenaganya akan kalah meski sudah mencoba menjadi sekuat mungkin.
Tubuh Betari dibawa kembali ke atas tempat tidur. Dibaringkan paksa dengan Jamal yang berada di atasnya. Betari semakin menangis, meronta sekuat mungkin sambil memohon pada Jamal untuk membiarkannya pergi. Namun lelaki itu seolah menjadi sosok lain. Seperti bukan sosok Kak Jamal yang selalu menjaga batasan, seperti yang Betari kenal. Jamal abai pada tangisan Betari. Ia bahkan semakin menyusupkan kepalanya pada leher adik tingkatnya.
Katanya suka sama aku, kenapa begini? Apa suka itu harus kayak gini? Tapi, Kak Alpha nggak pernah begini ....
Betari kini menyesali dirinya yang tidak mendengarkan kata-kata Kak Alpha-nya. Karena kini ia kembali disadarkan bahwa tidak semua lelaki sebaik ayah dan Kak Alpha-nya.
***
Notes:
Dor! Gimana setelah baca chapter ini?
Sini laporan sama Natha 😆
See you next chapter yaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top