Bagian 2: Bukan pacar

Heyoooo ...  kaget gak dapet notif hari kamis? Wkwk kangen Harmony nih. Gimana libur hari ini? Apa udh mulai aktifitas?

Ini mgkn blm banyak yg baca, but I'm really happy writing this karena berasa nostalgia wkwkwk
.
.
Soooo, enjoy reading 🌹
.
.

┏━•❃°•°❀°•°❃•━┓

Katanya, menurut akan membuatmu berhasil.
Namun, kalau itu menjadi sebuah tuntutan yang memberatkan, bagaimana?

┗━•❃°•°❀°•°❃•━┛

Bagian 2: Bukan Pacar

Sanuar sudah bersiap untuk pergi ke kampus dengan setelan santai yang tetap terlihat sopan. Tidak lupa menyampirkan jaket kuning bahan parasut dengan logo jurusan Geologi yang tersemat di bagian dada sebelah kiri. Tas punggung yang hanya disampirkan pada sebelah bahu membuat kesan keren pada dirinya semakin bertambah. Lelaki itu bersiul santai seraya membenarkan rambutnya sambil berkaca pada spion motor. Diam-diam mengabsen barang bawaan penting; hape, power bank, kunci motor, binder, dan pulpen.

Checked! Semua aman!

Semua siap dan ia akan segera berangkat. Bahkan sebelah kakinya sudah terangkat untuk menaiki si jagoan hitam miliknya---motor. Namun, pergerakannya berhenti seketika. Tanpa pikir panjang Sanuar kembali memasuki rumah.

"Wisnu! Nu! Wisnu! Hari ini gue bawa mobil lagi ya!" Sanuar berteriak sambil mengambil kunci mobil yang tergantung dekat meja TV.

"Dih?! Nggak! Enak aja lo! Kemaren kan lo udah bawa mobil! Hari ini giliran gue lah!"

"Hari ini gue mau balik bareng Beta soalnya," sangkal Sanuar.

Wisnu yang sedang merapikan perlengkapan play station-nya langsung menoleh dan memberikan pelototan sangar. "Naek motor kan bisa, Sanuar! Cuma berdua doangan ini!"

Sanuar membalas dengan gelengan kepala sambil mengacungkan satu jari telunjuk yang ia goyangkan ke kanan dan ke kiri. "Itu dia masalahnya. Si Cadel nggak mau kalo diajak pergi berduaan. Lo kan juga tau itu. Jadi, gue butuh mobil buat sekalian ajak Mbak Dian. Dah, gue cabut!"

Wisnu hanya bisa menghela napas pasrah. Padahal hari ini rencananya ia akan pulang malam untuk menggarap tugas akhir---skripsi. Mengendarai motor jelas bukan ide yang cemerlang baginya, sebab Bogor di siang hari saja kadang terasa dingin, apa lagi malam?

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

To: Si Cadel

Kiw

Udah di depan nih.

Setelah mengirimkan pesan, tidak lama kemudian Sanuar bisa mendengar suara ribut dari dalam rumah di mana ia memarkir mobilnya. Ia melihat Betari yang sedikit sibuk dengan barang bawaannya.

"Harusnya Kak Alpha bilang kalo udah berangkat biar aku bisa siap-siap dulu. Semalem kan udah dibilangin! Ini jadi ribet. Pegangin dulu, deh!" Beta menyerahkan beberapa buku dan satu tote bag yang tampak penuh dengan entah apa itu.

"Ma, Beta sama Ka Alpha berangkat, ya." Beta mengecup kedua pipi dan kening Nia---ibunya---sebelum beralih pada punggung tangan.

Sanuar juga ikut berpamitan sambil melambaikan tangan dengan heboh. Padahal yang menjabat sebagai anak kandung sama sekali tidak menunjukkan raut ceria. Maklum, keduanya ini sudah dekat dari jaman sekolah menengah pertama, tidak aneh jika kedekatan Sanuar dan keluarga Betari sudah melampaui batas kewajaran.

"Nggak mau duduk di depan aja sekali-kali? Ini berasa Kakak jadi supir kamu, loh, Del."

"Loh? Kak Alpha baru sadar? Tujuh tahun ini kemana aja?" Betari dan omongan sarkasnya memang bukan hal yang bisa dipisahkan kalau itu sudah menyangkut soal Sanuar. Gayanya sudah seperti nyonya besar. Menyilangkan tangan di depan dada seraya menampilkan raut angkuh.

"Sini, ke depan sekali-kali, Del. Nggak rapet-rapet ini duduknya. Ada jarak kan nih. Nggak nempel," kata Sanuar sambil menunjuk celah di antara kursi depan.

"Mau berangkat atau nggak? Atau aku berangkat sendiri aja, deh," ketus Betari sambil bersiap membuka pintu mobil.

Sanuar memilih diam tidak menyahut dan menjalankan mobilnya segera. Bukan apa, Betari ini tipikal manusia yang bisa dipegang kata-katanya. Membiarkan bocah itu berangkat ke kampus sendirian sambil membawa banyak tentengan bukanlah hal yang tepat. Lagi pula, dilihat dari raut wajah, Betari sepertinya sedang tidak dalam mood yang baik.

"Del, inget, pulang sama kakak. Kamu hutang cerita," ujar Sanuar begitu mobilnya terpakir apik di depan gerbang.

Betari hanya mengangguk tak acuh sambil sibuk mengeluarkan barang bawaannya dari dalam mobil Sanuar.

"Bentar, Del. Kakak bantu bawain." Sanuar melepas sabuk pengaman. Bersiap turun sebelum pergerakannya kembali terhenti saat mendengar sahutan Betari.

"Nggak usah. Aku bisa sendiri. Kak Alpha langsung aja sana. Dah, ketemu nanti, ya ...."

Sanuar lagi-lagi hanya bisa menghela napas. Betari dalam mood buruk bukanlah sosok yang tepat untuk diajak bercengkrama. Tipikal manusia yang kalau kesal pada satu hal, semua yang berada di sekitar akan kena imbas.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

"Sanuar!"

Yang dipanggil langsung menoleh. "Oit!" sahut Sanuar.

Itu Aileen, teman sekelas Sanuar yang diam-diam menyimpan rasa. Sebenarnya, bukan hanya Aileen, mungkin perempuan di angkatan Sanuar---yang hanya berjumlah delapan---dengan kompak juga ikut menaruh hati.

"Baru dateng?" tanya Aileen.

Sanuar hanya mengangguk tak acuh. Tangannya sibuk membenarkan kabel earphone yang melilit, total mengabaikan kehadiran Aileen.

"Aku liat kamu tadi nganter cewek. Turun di gedung depan. Itu ... pacar?"

Sanuar masih tidak mengalihkan atensi dari earphone kusutnya. Namun, dari sudut pandang Aileen, ia bisa melihat bagaimana sebelah alis Sanuar terangkat. Diam-diam Aileen berharap bahwa Sanuar akan berucap kata 'bukan' dengan tegas. Namun, yang ia dapat hanya diam. Sanuar sama sekali tidak berkata 'iya' atau 'bukan'.

"Seenggaknya jawab, Sanu. Aku nggak mau banyak berharap," ungkap Aileen saat jarak Sanuar sudah semakin jauh.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

Setibanya di kelas, Sanuar bisa melihat Abiyyu yang sedang duduk dengan kepala menelungkup di atas meja. Ini kebiasaan Abiyyu sebenarnya. Demi tidak mengantuk sepanjang kelas, ia butuh sepuluh menit tidur---quick nap.

"Bro!" Dengan tanpa rasa bersalah, Sanuar menepuk pundak Abiyyu hingga membuat yang ditepuk terperanjat. "Nih, biar nggak ngantuk!" katanya sambil meberikan kopi dingin dalam kemasan botol.

"Lo tumben nggak telat?"

Sanuar mengangguk tak acuh. "Tadi jemput si Cadel dulu soalnya."

Abiyyu hanya balas mengangguk afirmatif dan mulai meminum kopi botolan yang dibawakan Sanuar. Matanya diam-diam memindai ekspresi si teman dekat yang kini sedang tersenyum aneh sambil memandangi layar ponsel. Tidak lama, tingkahnya semakin aneh saat sosok itu menerima panggilan telepon.

"Udah nyampe kelas, Del? Iya, tenang. Mau nambah juga boleh nanti. Nggak, lah. Kamu mana mau hang out berdua doang. Nanti kakak ajak Mbak Dian juga mumpung Mas Rama masih dinas ke luar kota hehe. Abiyyu ...? Ada, nih. Mau ngomong? Dih, nggak usah salting, Del. Kan---yah ... ngambek lagi dia ... alamat kuras dompet, nih, nanti."

Dilihat dari sisi mana pun, dari sudut pandang Abiyyu, Sanuar jelas terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta. Bicara sebegitu manis dengan raut wajah sumringah. "San ... lo sama Beta ... udah jadiian?"

Sanuar langsung memberikan atensi penuh pada Abiyyu. Kedua alisnya terangkat sebagai tanda bahwa ia sendiri tidak mengerti. Raut wajahnya terlihat berpikir untuk beberapa saat sebelum akhirnya dengan yakin memberikan jawaban, "Nggak."

Pasalnya, ini terjadi sejak mereka berada di sekolah menengah atas. Abiyyu juga tidak hanya sekali menanyakan hal ini, dan jawabannya akan selalu sama---nggak.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

"Duduk sini aja. Biar kakak yang pesen. Mbak Dian pesen yang kaya biasa, kan?" tanya Sanuar.

Ketiganya jadi pergi ke tempat mereka biasa menghabiskan waktu dengan minum kopi, Skybucks. Letaknya tidak jauh dari kampus, sekitar  lima sampai sepuluh menit dengan menggunakan mobil. Sanuar langsung pergi setelah mendapat anggukan dari Dian dan Betari.

"Beta, mbak duduk di pojok sana aja, ya? Mau ada telepon dari murid yang mau konsul buat beasiswa. Kalian di sini aja, nanti mbak balik ke sini kalau udah selesai. Oh ... bilangin Sanuar buat anterin pesenan mbak ke sana, ya?"

"Iya, Mbak." Betari mengangguk seraya tersenyum.

Sepuluh menit menunggu sampai akhirnya Sanuar datang dengan nampan yang penuh dengan minuman dan juga camilan. "Nih, satu dulu aja macchiato-nya. Nanti kalo kurang baru tambah. Bentar, anter ini dulu ke Mbak Dian."

Betari bahkan tidak perlu menjelaskan bahwa kakak perempuan Sanuar berada di meja lain. Ini sudah menjadi sebuah kebiasaan sebenarnya. Semua berawal dari Betari yang tidak pernah ingin pergi berdua saja dengan Sanuar. Oleh karena itu, sejak sekolah menengah atas, Sanuar selalu mengajak kakak perempuannya---yang saat itu sudah kuliah---untuk ikut main dengan mereka.

Pernah sekali Sanuar mengajak Wisnu, tetapi berakhir dengan Betari yang benar-benar turun dari mobil dan pulang tanpa pamit. Usut punya usut, Betari ini anak yang patuh pada orang tua. Orang tuanya pernah bilang, kalau main tidak boleh hanya dengan Sanuar seorang, harus ada perempuan lain juga. Pokoknya selisihnya harus dua banding satu---lebih banyak perempuan. Kalau sedang berdua dengan Sanuar juga tidak boleh terlalu dekat.

Kalau boleh dijabarkan, tujuh tahun bersama, keduanya tidak pernah sekali pun terlibat skin-ship secara sengaja. Sanuar pernah kelepasan menggenggam tangan Betari saat hendak menyebrang. Kemudian, yang terjadi setelahnya, Sanuar didiamkan selama tiga hari karena dianggap melanggar peraturan.

"Udah diminum, kan? Yuk, sekarang cerita kenapa nangis kemaren?"

Betari menghela napas. Raut wajahnya berubah sendu. Kalau bisa, rasanya ingin menjelaskan tanpa berbicara.

"Nggak apa-apa, kok. Kemaren aku lagi cengeng aja kayaknya," Betari menyahut tak acuh. Menyeruput macchiato dinginnya dengan girang.

Sanuar berdecak sebal. Menatap datar si lawan bicara. "Sejak kapan kamu jadi cewek yang kayak gini?"

"Kayak gini? Maksudnya?" Kedua alis Betari terangkat. Gadis agaknya sedikit tidak terima.

"Ya itu ... main rahasia-rahasiaan! Apa-apa bilangnya nggak apa-apa, padahal ada apa-apa. Kita berapa tahun sih kenal, Del? Maih harus ya main rahasia-rahasian sama kakak?"

Betari mengalihkan pandangan kemana pun asal tidak bertemu dengan tatapan Kak Alpha-nya. Bukan apa, Betari hanya tidak ingin kembali menangis karena mengingat rasa kecewa yang ia alami.

"Del ...." Nada suara Sanuar mendadak jadi penuh dominasi.

"Mama sama Ayah ... minta aku buat pindah jurusan." Jeda, Betari kembali menghela napas. Sedikit menengadah agar air matanya tidak jatuh. "K-katanya aku boleh bebas pilih jurusan apa aja. T-tapi---"

"Jangan nangis dulu, Del. Ceritanya jadi nggak jelas." Sanuar menyeruput minumannya, lalu berucap sambil menunjukkan wajah menyebalkan.

"Ish! Jangan motong dulu." Beta mengambil tisu yang diberikan Sanuar. "A-aku kan udah masuk jurusan Kimia murni. Terus Ayah tanya, pas tau aku di Kimia, langsung disuru pindah."

"Jadi, tadi pagi kamu nggak kuliah?"

"Kuliah, ish!" Beta berusaha sebaik mungkin untuk menahan tangisnya. Namun, gagal. Walaupun isakannya tidak begitu hebat, air matanya tidak berhenti mengalir.

"Guru. Aku masuk ke fakultas keguruan," lirih Betari. "Tadinya disuru masuk jurusan yang sama kaya Kak Binar. Tapi, nggak jadi soalnya nggak bisa, kuotanya penuh. Jadi ke Bahasa Inggris karena cuma sisa itu. Kak ... Kak Alpha tau sendiri, nilai bahasa Inggris aku paling tinggi cuma delapan lima. Itu juga cuma sekali-kalinya. Aku bahkan nggak bisa nyebutin identitas diri pake bahasa Inggris di depan kelas kemaren. Gemeteran ... padahal cuma diminta ngomong tiga kalimat. Ish."

Sanuar menyadari bahwa semua mata pengunjung kafe sedang memerhatikan dirinya dan Betari. Maka dari itu ia bangkit, berdiri di samping Beta dan segera melepas jaket. Membentangkannya agar wajah Beta tidak terlihat.

Lelaki itu mengerti kesedihan Beta sebab dari dulu Sanuar tahu bahwa gadis itu selalu menjadi bayangan kakak pertamanya, Binar. Maka saat tahu bahwa Beta kembali berada di dekat ruang lingkup kakak pertamanya, Sanuar paham seberapa sakit perasaan Beta.

"Del ... jangan sedih. Gedung Teknik sama Pendidikan nggak gitu jauh, kok. Anak Teknik bahkan sering makan di kantin depan! Kakak sama Abiyyu juga sering makan di kantin depan, kok. Nanti kakak sering samperin kamu deh. Jadi, bisa sering-sering liat Abiyyu, kan?! Nggak usah sedih, oke?!"

Beta berdecak. Terkekeh samar hingga membuat senyumnya kembali timbul. Namun, siapa pun bisa melihat ada raut sendu di sana. Sanuar bahkan tidak menyadari bahwa ia merasa 'sedikit' tidak rela saat mengucap kalimat tadi.

Bisa sering-sering liat Abiyyu.

Sudut bibir Sanuar rasanya berkedut sebal cenderung geram saat mengingat dengan lancar ia mengucap kalimat itu. Sialnya, kalimat itu yang justru mengembalikan senyuman seorang Betari Maharani.

Jadi, mari lakukan analisis ke dua;

Menjadi sebegini kacau saat melihat dia menangis hingga terlihat begitu rapuh. Kalau bukan pacar, apa?

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

TBC

A/N

Ini mungkin akan jadi mengangkat tema konflik sehari2. Keluarga, teman, pacar, hts or what you named it ...

Baru bagian ke dua siiiihh... Udah keliatan blm cerita ini bakal gimana?
Hehe

Ayok ramaikan vomment 💐

Jangan lupa follow IG dan akun Wattpad Natha yaa.

TMI: Natha lagi otw kampus nih. Doain yes biar cepet2 beres urusan tesisnya hihi

*DeepBow

Natha 🌹💐💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top