Bagian 12: Perubahan Kecil
Haii Haiii~ Udah ketemu lagi nih.
Ayo, jgn lupa ramaikan kolom komentar dan vote tiap chapter nya ya 😆
Enjoy reading ☺️
┏━•❃°•°❀°•°❃•━┓
Kukira, kamu bisa kujadikan rumah. Tempat dimana aku bisa bersandar nyaman pada bahumu. Nyatanya, tidak.
Kamu hanya tempat singgah yang posisinya selalu berubah hingga sulit membuatku bersandar
┗━•❃°•°❀°•°❃•━┛
Bagian 12: Perubahan Kecil
Hari ini Sanuar tidak memiliki jadwal kuliah sama sekali. Biasanya lelaki itu akan menghabiskan waktu di atas kasur sambil terus merecoki Cadel-nya dengan mengirim berbagai macam pesan tidak jelas. Namun, kali ini ada yang berbeda. Sejak pagi, lelaki dengan tubuh tegap yang sayangnya kurang berisi itu sudah sibuk di dapur. Bahkan membuat keributan kala Dian dan Wisnu mendapati kekacauan tidak wajar di dapur kesayangan mereka.
"Nggak abis pikir gue, sumpah!" Wisnu menggeleng dramatis.
Dian melemparkan tatapan lelah seraya menghela napas. "Lo kenapa musti masak, sih, Sanuar? Biasanya juga kan beli makanan jadi. Kalo emang mau masakan rumah, bilang. Biar gue bangun agak pagian buat masak. Itu penggorengan malah nggak bisa dipake lagi kan jadinya!"
Sementara itu, Sanuar Alphandi hanya bisa menunduk sambil memainkan kesepuluh jemari tangannya. Pagi ini, ia ingin memasak untuk Cadel-nya. Hitung-hitung permintaan maaf karena kemarin tidak bisa makan siang bersama. Berbekal tutorial salah satu kanal memasak di YouTube, Sanuar ingin membuatkan bekal makan siang dengan tema bento.
Bentuk nasinya sudah sempurna---menyerupai kepala singa---dengan irisan rumput laut memanjang dan saling bertumpuk hingga membentuk rambut untuk kepala si singa kecil. Sampai di situ masih aman. Masalahnya dimulai ketika Sanuar mencoba membuat telur dadar gulung yang berakhir gagal---hangus dan tidak layak makan---karena menggunakan api yang kebesaran.
"Sorry ...," lirih Sanuar. Masih enggan mengangkat kepala karena lelaki itu benar-benar merasa bersalah.
Dian memijat pangkal hidungnya. Di sebelah wanita itu ada Rama---suaminya---yang baru pulang dinas tiga hari lalu. Pria itu terkekeh kecil seraya mengusap punggung istrinya.
"Nggak apa-apa, Yang. Ini tandanya kita emang harus ganti perabotan. Kayaknya udah lama banget kita nggak belanja barang-barang rumah, iya, kan? Pulang nanti kujemput, ya? Kita mampir ke HouseWare sekalian."
Dian mendecih meski setelahnya mengangguk. Menjadikan Sanuar bisa sedikit bernapas lega karena perdebatan ini tidak berlangsung lama. Karena kalau sudah merusak perabotan rumah, Dian akan tanpa ragu membabat habis uang bulanan si pelaku sebagai ganti rugi. Itu artinya ia mungkin harus mengatakan 'R.I.P jajanin si Cadel'. Untung saja ada Rama, sehingga hal itu kemungkinan besar tidak akan terjadi.
⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆
Pagi ini Betari kembali berangkat menggunakan angkutan kota. Memang lebih lama dari perjalanannya menjadi penumpang setia mobil Kak Alpha, tetapi setidaknya ia masih bisa bertahan pada komitmen yang baru saja dimulainya.
"Pagi, Beta!"
Betari menoleh. Ia langsung mendapati wajah Abiyyu yang berbinar. Kalau Kak Alpha-nya ibarat cahaya senja yang selalu dinanti hingga sulit membuat berpaling, Abiyyu ini ibarat cahaya matahari pagi yang selalu menyemangati setiap kali memulai hari baru.
"Pagi, Kak Abi," Betari membalas riang.
"Aduh." Abiyyu menutup matanya dengan sebelah tangan. "Silau euy! Jangan cantik-cantik senyumnya, double kill kan jadinya. Udah mah muka adem, senyumnya cantik lagi. Nggak kuat aa."
Betari terkekeh. Ia menutupi mulutnya dengan punggung tangan. Ciri khas gesture perempuan anggun yang ketika tertawa tidak pernah terbahak. Pemandangan itu tidak luput dari penglihatan Meraki Abiyyu. Tersenyum dalam diam dan tidak berhenti mengagumi dan memuji dalam hati.
'Kalau aja nggak ada tembok besar yang ngehalangin, gue ... gue nggak bakal ragu buat berjuang demi bisa sama-sama dia terus.'
"Oh iya, Beta. Nanti habis jam makan siang masih ada kelas?"
"Umm ... harusnya ada, tapi dosennya nggak masuk. Jadi cuma dikasih tugas aja. Kenapa emang, Kak?"
Mata Abiyyu berbinar. Lelaki itu mengeluarkan pekikan 'yes' kecil dengan kedua telapak tangannya yang mengepal. "Nanti bisa mampir ke radio? Ada yang mau kakak omongin."
"Omongin ... apa?" Mata Betari mengerjap polos.
Hal itu lagi-lagi membuat Abiyyu terkekeh. Sebaik mungkin menahan rasa gemasnya dan kedua tangan yang gatal ingin mengusak puncak kepala Betari. "Ya dateng lah nanti biar tau mau omongin apa. Oh, sekalian dateng pas makan siang aja, nanti kaka teraktir, oke?"
Betari mengangguk. "Oke."
"Bener, ya? Nggak boleh ingkar, loh!" Abiyyu memekik girang. "Oke kalo gitu, ketemu pas makan siang ya, Beta. Dah, yang semangat belajarnya!"
Betari balas tersenyum. Menatap kepergian Abiyyu yang tampak kegirangan. Lelaki itu bahkan tanpa ragu melompat kecil sambil berputar dan berjalan mundur, seperti menirukan gerakan dance Michael Jackson. Lalu, ketika Abiyyu sudah hilang dari pandangan, Betari menghela napas lega. Mengusap-usap dadanya sambil menepuk pelan. Sepanjang berjalan di samping kakak crush-nya itu, Betari mati-matian menahan gugup. Bukan apa, ia hanya takut kalau Abiyyu kembali meledeknya hanya kerena suaranya yang bergetar.
⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆
Suasana di FKIP---Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan---selalu tampak berbeda dengan fakultas lain. Lingkungan FKIP itu tampak seperti sekolah menengah, dimana kebanyakan mahasiswa/i menggunakan seragam khusus di hari tertentu. Hari ini Beta akan pergi ke himpunan untuk mengambil seragam jurusannya. Hal itu yang mebuat ia nekat berangkat lebih pagi karena seharusnya ia menggunakan seragam hari ini.
"Assalamualaikum, pagi, Kak," Betari menyapa. Mengerjap kikuk kala mendapati ruangan 3x4 itu diisi delapan orang. Tampak sesak sebenarnya apa lagi sebagian dari mereka sedang dalam posisi tidur. Namun, yang mengisi di sana tampak baik-baik saja, tidak sedikit pun merasa terganggu walau posisinya mungkin tidak nyaman.
"Waalaikumsalam, eh? Pagi!" Salah satu senior di sana menepuk-nepuk keras punggung lelaki yang sedang tidur dalam posisi telungkup. "Bangun, Mal. Sumpah, nyesel sia kalo nggak bangun!"
Yang ditepuk punggungnya---Jamal---mengerang tidak suka. Menggeliat pelan seraya mengerjap. "Apaan, sih?!" katanya dengan suara serak khas bangun tidur.
Temannya Jamal itu tidak menjawab. Memberikan tanda dengan menunjuk Betari yang sedang berada di ambang pintu menggunakan dagunya. Awalnya Jamal menoleh malas, lalu buru-buru bangun ketika mendapati entitas Betari di sana. Lelaki yang menjabat sebagai ketua himpunan prodi Pendidikan Bahasa Inggris itu mengusap kasar wajahnya dan memastikan tidak ada jejak aneh di sana.
"Eh, Beta ... ada apa?" tanya Jamal dengan nada kikuk.
Melihat itu, entah mengapa membuat Betari ikut merasa canggung. "Um ... itu, Kak ... umm, aku mau ambil seragam."
"Seragam? Oh! Iya, iya, wait." Jamal langsung bergerak cepat. Mengambil kardus yang ada di pojok ruangan dan memeriksa isinya.
"Sini masuk, Beta. Lo semua pada awas dah, bangun, bangun! Masuk kelas sana! Itu ada adek kelas mau ambil seragam."
"E-eh? Nggak usah, nggak apa-apa, Kak. A-aku di sini aja." Betari tersenyum kikuk seraya meringis pelan sebab malu sendiri dengan suaranya yang selalu bergetar setiap kali berada dalam keadaan seperti ini.
Jamal terkekeh. Sedikit malu saat mendapati keadaan ruangan himpunan yang tampak seperti kandang. Banyak bekas bungkus makanan berserakan. Ditambah lagi banyak penghuninya.
Persis kendang!
Jamal menghampiri Betari dengan membawa seragam yang masih dalam plastik transparan dan juga buku tulis seukuran folio.
"Ukurannya L? Yakin? Nggak kebesaran ini sama kamu?" Jamal bisa mendengar temannya yang berujar 'ngalus aja terus', 'edan ... aku kamu, ceunah!'. Namun, lelaki itu abai.
"Nggak apa-apa, Kak. Emang sengaja ambil satu ukuran yang lebih besar, kok."
"Kenapa baru ambil sekarang? Harusnya hari ini dipake, kan?"
Betari terkekeh sambil membubuhkan tanda tangan pada buku yang Jamal bawa. "Baru sempet."
"Padahal tinggal bilang ke kakak, nanti kakak yang anterin."
'Modus banget si udin! Bilang aja lo mau tau rumahnya bangke!'
Jamal menoleh, melirik sinis seraya melafalkan 'diem lo!' tanpa suara.
Betari hanya terkekeh. Langsung mengambil seragamnya dengan cepat hingga membuat Jamal menoleh dan kembali memberikan atensi.
"Udah, kan, ya, Kak?" tanya Betari. Fokusnya sudah teralih, ingin buru-buru keluar dari situasi ini.
"Ya? Oh, iya, udah, kok."
"Oke, makasih, ya, Kak." Betari segera memakai sepatunya. Menoleh sejenak, sekadar memberikan senyum formalitas.
"Sering-sering main ke hima ya ...." Jamal memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana seraya memberikan senyum yang selalu menjadi bahan histeria mahasiswi. Iya senyum yang itu, yang katanya smile with illegal dimples.
"Siapa tadi, Mal? Inceran baru?"
Jamal memutar matanya jengah, melirik malas pada salah satu teman yang ada di dalam ruangan hima. "Kepo banget sih lo."
Temannya itu mendengkus. Terkekeh remeh sambil terus memainkan game di ponselnya. "Berhenti, Mal. Lo harus berhenti. Belom aja ditonjok orang lo. Yang kayak gitu jangan dijadiin kebiasaan. Nggak sesuai sama tampang dan otak lo."
⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆
TBC
A/N
Hellowww~
Gimana chapter ini, ada Yg bisa tebak mau dibawa kemana jalan cerita inii?? hihihi
See you next chapter 🤠
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top