Bagian 1: Kita Ini, Apa?

┏━•❃°•°❀°•°❃•━┓

Katanya, sih, ini atas dasar tolong-menolong.

Tapi, kalau sampai uring-uringan pas doi nggak bales chat,

 itu ... kenapa?

┗━•❃°•°❀°•°❃•━┛

Bagian 1: Kita Ini, Apa?

Deretan huruf berwarna ungu membentuk tiga kata yang terpampang apik di depan sebuah bangunan, Universitas Tugu Kujang. Satu sosok individu, termenung sendu di saat yang lainnya terlihat baik-baik saja, ceria---khas mahasiswa baru yang sedang menikmati euphoria. Rambutnya yang hanya sebatas tulang selangka, ia biarkan terurai, dibelai lembut angin sore Bogor.

Kalau bisa di deskripsikan. Rasanya seperti ditusuk ribuan jarum tak kasat mata. Sakit, tetapi tidak berdarah. Embusan angin bahkan tidak membuat Betari merasakan sejuk sedikit pun. Kesepuluh jemari tangannya masih bergetar hebat. Lantas ia menghela napas sambil memejam. Ingatannya terlempar ke beberapa jam lalu di mana ia memasuki kelas untuk pertama kalinya.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

Betari tahu kalau kursi perkuliahan akan beda dengan kursi yang ada di sekolah menengah. Maksudnya memang benar-benar berbeda secara harfiah. Tidak ada meja persegi panjang yang diisi dua kursi berpasangan. Yang ia lihat saat ini hanya satu kursi dengan meja lipat yang terhubung langsung dengan kursinya. Kursi chitose namanya.

Ada banyak orang yang tampak jengah. Beberapa terlihat antusias. Sementara itu, Betari berdiri kikuk di depan kelas. Jantungnya berdebar tidak karuan. Pulpen hitam pada genggaman menjadi objek rematan kuat hingga bunyi 'krek' kecil terdengar oleh telinganya sendiri.

"Alright, you can introduce yourself." ini Pak Abdul. Dosen mata kuliah Structure 1. Suaranya terdengar sedikit cempreng untuk ukuran seorang pria matang. Namun, hal itu tidak membuat pancaran aura tegas serta mengintimidasi darinya surut sedikit pun.

"Ya?" Betari menyahut kikuk. Kedua alisnya terangkat kala ia mengerjap cepat.

Dahi Pak Abdul mengernyit rikuh. Dosen itu berdecak kecil seraya menunjukkan raut tidak suka. "I said, introduce yourself."

"M-maaf, Pak. S-saya nggak ngerti. Itu ... itu artinya saya dinta perkenalkan diri, ya?" Suara Betari total bergetar.

Gelak tawa yang ditahan, bisik-bisik ribut, serta dengkusan mencemooh, Betari bisa menangkap semua itu dengan telinganya. Pun, saat ia menatap sekitar, itu hanya memperburuk keadaan hatinya. Meski tahu kemampuannya ada di bawah garis nol, Betari tetap menuruti apa yang Pak Abdul minta.

Betari menundukkan pandangan. Menghela napas pelan, dan mulai berbicara, "Hi ... my name is Maharani Betari. I ... am Bogorian I ... I live in Bogor. Umm---"

"Oke, enough, cukup. Kamu boleh duduk." Pak Abdul kembali menghela napas. Meski wajahnya masih tampak jengah, setidaknya Betari bisa lega karena dosennya itu bisa menangkap signal SOS darinya.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

Kalau dipikir-pikir lagi, beberapa jam yang lalu, memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris adalah satu menit terpanjang yang pernah Beta rasakan. Ia hanya mampu mengucap tiga kalimat, itu pun tidak yakin bahwa yang ia ucapkan benar. Lantas, tanpa sadar, Betari membiarkan air mata mengalir dari ujung matanya yang tertutup. Ia melipat bibirnya guna menahan isakan.

Sementara itu, Sanuar yang berada di samping Betari hanya diam. Tidak ada sedikit pun niat ingin menyuarakan kalimat yang sejak tadi tertahan di batas kerongkongan. Kalau boleh jujur, inginnya langsung merengkuh. Namun, sejak awal bukan hubungan seperti itu yang mereka bentuk. Bukan komitmen di mana genggaman tangan bisa dengan leluasa terealisasi. Bukan juga komitmen di mana dekapan akan menjadi satu-satunya hal yang dicari, sebab keduanya hanya dua hati yang masih terombang-ambing.

"Udah belum nangisnya?" Sanuar bertanya hati-hati.

"Bel---ck! Apaan, sih?! Siapa yang nangis emang?!" Beta menyahut parau sambil buru-buru mengusap ujung matanya.

"Duh, Del. Masih mau ngelak? Itu ingusnya disusut dulu!" Sanuar berujar jenaka.

"Berisik, Kak Alpha! Pulang aja sana duluan, nggak usah nungguin aku!"

Katanya, sih, pulang duluan saja, tetapi jemari Beta menggenggam erat ujung jaket Sanuar. Terlampau hafal dengan kebiasaan Betari yang kalau sedang memegang ujung baju atau jaket seperti itu artinya setiap kata yang diucapkan bermakna sebaliknya. Berakhir dengan Sanuar yang pasrah harus menemani Beta sampai perasaan sosok itu membaik. Bukan apa, Beta ini kalau tidak dituruti, bisa menyebar fitnah yang macam-macam.

"Sanuar!"

Dari kejauahan, Sanuar bisa melihat si teman dekat yang melambaikan tangan sebelum akhirnya berjalan cepat ke arahnya.

"Udahan dulu nangisnya. Elap dulu itu ingus. Ada Abiyyu, tuh," kata Sanuar yang langsung bisa membuat Beta mengubah raut wajahnya.

"Belum balik?" tanya Abiyyu.

"Belum ... ini lagi nungguin majikan nang—adaw! Sakit, Del!" Sanuar melotot, meringis seraya mengusap lengan kanan atas yang sebelumnya dicubit Beta. Meski Betari mencubit lengan atasnya yang dilapisi jaket denim, perihnya sangat terasa.

"Eh ... ada Beta! Halo!" Abiyyu tidak tahu saja bahwa sapaan sederhananya itu mampu membuat Beta merona. "Eh, tapi, kok, matanya sembab? Abis nangis? Lo nih pasti gara-garanya! Lo, sih, manggil dia dal-del-dal-del mulu!"

"Lah, kan, emang bener. Del ... cadel. Dia aja nggak bisa manggil Sanuar, mangkannya manggil gue Alpha. Iya, kan, Del?" Setelahnya, Sanuar malah dibuat kelimpungan sendiri sebab Beta kembali murung. Mata gadis itu mendadak berkaca-kaca. Namun, Beta tidak menangis kali ini. Ia memilih untuk menjadikan bahu Sanuar sasaran empuk untuk dipukul.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

"Beta? Kenapa? Diisengin Sanuar lagi, ya?" Dian, kakak perempuan Sanuar, memerhatikan Beta dari kaca spion dalam mobil.

Ketiganya sedang berada dalam satu mobil, dengan Sanuar yang menyetir, Dian yang berada di kursi samping kemudi dan Beta yang duduk di kursi belakang dengan mode merajuk sebab Sanuar sudah membuatnya malu di hadapan sang gebetan---Abiyyu.

"Sanuar ... jangan digangguin mulu Beta-nya, nanti kalo dia minta putus, gimana? Susah, kan, nyari yang tahan sama modelan kaya lo gini." Dian memang tidak pernah kira-kira kalau itu sudah menyangkut hal tentang merendahkan si adik bungsu.

"Apaan, sih, Mbak?! Siapa juga yang pacaran sama si Cadel?! Dia ngomong 'pacar' aja susah, duh."

Padahal sudah sejak awal sekolah menengah pertama Sanuar mengenal Beta. Waktu itu Beta adalah anak baru dan Sanuar si senior di tingkat akhir. Kalau dihitung-hitung, ini sudah menjadi tahun ke tujuh keduanya bersama. Namun, Sanuar masih saja belum hafal beberapa hal sensitif yang bisa sangat menyinggung perasaaan Betari.

"Ya, siapa juga yang mau pacaran sama Kak Alpha?!" sinis Beta.

"Yi, siyipi jigi ying miyi picirin simi kik ilphi."

"Sanuar ...." Dian memperingati dengan nada suara yang sedikit ditekan.

Betari memilih abai. Masih dalam mode merajuk dan total mengabaikan racauan Sanuar sebab ia paham bahwa bukan dengan ucapan yang menjadi pembalasan sempurna untuk Sanuar Alphandi.

"Bye, Beta. Ketemu lagi besok ya!" Dian melambaikan tangan begitu melihat Betari yang berbalik untuk sekedar mengucap terima kasih atas tumpangan langganannya.

"Bye, Cadel!" Sanuar setengah berteriak. Mencoba menggerakkan kepalanya agar bisa terlihat Beta karena Dian total menghalangi.

Namun, usahanya hanya dihadiahi punggung Beta yang sudah berlalu, mengabaikan ucapan perpisahannya. Dalam hati, Sanuar menyumpah serapah dirinya sendiri karena lupa akan tabiat Betari yang diam-diam bisa membalas dendam dengan sadis.

"Nggak ditanggepin, kan? Rasain!" Dian mencemooh.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

"Ck, kebiasaan si Cadel kalo ngambek malah diem. Dasar si paling silent trearment!" Sanuar melempar asal ponselnya ke atas sofa yang sedang ia duduki.

Di sana ada Wisnu, kakak ke dua Sanuar, sedang bermain play station. Meski suara game-nya cukup keras, ia masih bisa mendengar suara Sanuar yang terus menerus menggerutu. Wisnu sendiri sudah terlampau hafal dengan kelakuan adiknya yang begini.

"Diambekin pacar lagi?" tanya Wisnu tanpa mengalihkan pandangan dari layar TV.

"Bukan. Gue mana ada pacar. Ini, nih, si Beta ngambek lagi." Suara Sanuar terdengar tidak bersemangat. Total menampilkan raut murung saat memndangi layar ponsel yang tidak juga menghadirkan notifikasi.

"Nah, itu maksud gue. Beta kan pacar lo."

Sanuar yang tadinya sedang berbaring di sofa, langsung bangkit dalam sekejap. Duduk dengan kedua sikut yang bertumpu pada lutut. Wajahnya terlihat serius.

"Nu ... mau ngomong dulu bentar," kata Sanuar dengan nada serius.

"Ya tinggal ngomong." Wisnu membalas tak acuh.

"Pause dulu itu. Nanti ngomel lagi lo kalo kalah."

Wisnu menuruti ucapan adiknya meski dengan decakan sebal yang mengiringi. Ia mengubah posisi hingga kini berhadapan langsung dengan Sanuar.

"Kenapa Mas Rama, Mbak Dian, sama lo juga, selalu nyangka kalo Beta itu pacar gue?"

Kalau boleh jujur, saat ini rasanya timbul imajiner perempatan siku-siku di dahi Wisnu. Ia merasa kesal sebab Sanuar memanggil kakak pertama dan kakak iparnya dengan sebutan Mbak dan Mas, sedang bocah itu begitu kurang ajar memanggilnya langsung dengan nama bahkan sering sekali menggunakan panggilan informal seperti Lo dan Gue.

"Ahelah ... kirain nanya apaan! Udah sampe gue pause, nih, anjir! Kirain nanya hal serius." Wisnu memutar bola matanya jengah.

"Ini serius!"

Wisnu mengangkat bahunya tak acuh. Atensinya total kembali ke layar TV. "Ya, Lo mikir aja, Sanuar. Dari jaman lo berdua belom puber, Beta sakit, lo udah kayak kebakaran jenggot. Beta ngambek, lo uring-uringan macem gini. Beta minta jemput, nggak pake mikir, lo langsung tancep gas. Beta minta ini-itu, lo nggak pernah nolak. Kalo bukan pacar, namanya apa?"

Ini bukan kali pertama Sanuar mendapat pertanyaan seperti ini---kalo bukan pacar, namanya apa?---Namun, ia masih juga tidak mengerti di mana letak perlakuannya pada Betari yang bisa mengindikasikan status 'pacaran'. Sepemahamannya, yang ia lakukan adalah mengikuti norma dengan landasan menjunjung tinggi perilaku 'tolong-menolong'.

Sanuar memilih diam. Ia kembali ke kamarnya. Memejam sejenak sambil membaringkan diri di atas kasurnya. Matanya kebali terbuka saat ia merasa banyak suara saling bersahutan dalam kepala hingga membuatnya termenung---kita ini, apa?

Pertanyaan ini malah jadi terus berputar di kepalanya. Yang ia pahami, Betari adalah sosok yang sangat dekat dengannya. Si tukang ngambek yang terkadang kelewat keras kepala itu selalu ada di sisinya.

"Tunggu! Kalo dipikir-pikir, bener juga kata Wisnu. Harga diri gue anjlok bener nurutuin kata-kata si Cadel. Kayaknya gue terlalu ngalem si Cadel. Itu anak jadi gede kepala. Ngambek gara-gara diledekin depan Abiyyu doangan. Mana di-chat juga nggak dibaca-baca!"

Tring!

From: Si Cadel

Nggak ngambek, Lek.

Tapi kesel.

Iya, jemput kayak biasa. Telepon dulu kalo udah mau berangkat.

Aku mau tidur, jangan telepon dulu malem ini soalnya masih kesel.

Mendapat pesan dari Betari yang menyematkan panggilan khusus untuknya—Lek, dari kata 'Jelek'—agaknya membuat Sanuar sedikit tenang. Hal ini bisa dilihat dari binar wajahnya yang kembali cerah seketika saat tahu bahwa yang membuat ponselnya ribut dengan bunyi notifikasi adalah Betari. Lupa diri kalau tadi sempat menjadi sosok yang seolah tidak rela harga dirinya diinjak-injak.

To: Si Cadel

Ya, oke. Kesel aja dulu, besok dibeliin macchiato harus udahan keselnya sama harus cerita nangis kenapa tadi?

Deal?

Deal!

Selamat tidur, Cadel~

Sanuar menghela napas lega. Semua omongan yang ia lontarkan dalam hati barusan seolah menguap entah ke mana. Terlupakan begitu saja. Karena yang terpenting, cadelnya sudah membalas pesan.

Jadi, mari kita analisis. Keduanya bukan kekasih tapi;

1. Perhatian

2. Gelisah saat salah satunya marah

3. Isi chat yang terlihat tidak biasa

Kalau bukan pacar, mereka ini, apa?

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

cr photo: google 

Ada salam dari pasangan yang terjebak friendzone selama 7 tahun nih gaes wkwkwkwk

A/N

Haloo~ ini Natha. selamat datang kembali buat Natha yang udah lama banget gak main ke wattpad huhu rindu kalian Harmonyyyy 

anyway, dukung cerita Beta dan Kak Alpha ya 💜

ayok ramaikan vote dan kolom komentar. 

cerita in rencananya akan up setiap Senin. Bisa lebih dari itu kalau respons-nya baik hihi. Sooo~ make some noise ya Harmony.

*DeepBow

Natha 💕🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top