5. Please, Jangan Dibuat Tambah Sulit!

Aufan berdiri gusar di dekat jendela besar dalam kantornya. Ia merasa bodoh karena horny hanya dengan berdekatan dengan wanita mungil itu. Bagaimana mungkin efeknya bisa seperti ini.

Sebelumnya tak pernah seperti ini!


"Pak?"

Suara itu membuat Aufan kembali menarik nafas pelan dan menoleh pada Tata yang tampak kebingungan di atas sofa.

Tentu saja Tata sekarang memasang wajah bingung. Pasalnya, setelah ia meneriaki nama pria itu dan menepuk bahu tegapnya, Aufan malah terbengong cukup lama hingga membuat Tata harus lebih keras memukul lengan berototnya.

Tanpa menjawab panggilan Tata, Aufan kini menghubungi salah satu pekerjanya untuk mengantar Tata ke tempat yang mungkin akan menjadi lingkungan baru bagi wanita itu.

"Giel, kamu ke ruangan saya sekarang!" perintah Aufan dan tak perlu menunggu jawaban dalam sambungan teleponnya, kini pria tinggi itu kembali memasukkan ponsel ke saku jasnya dan duduk kembali bersama wanita yang ternyata sedang menelisik ruang kerjanya.

Mata Tata terlihat memancarkan kekaguman. Ruangan Aufan memang tak begitu besar, tapi cukup nyaman dan ... mewah. Sangat mewah hanya untuk lingkup kerja. Terlihat dari furniture Erofa serta desain rumit di langit-langit ruangan itu, lalu jangan lupakan jendela besar transparan yang menghadap langit biru serta taman di belakang perusahaan saat kita menjatuhkan pandangan.

Meja marmer berukuran sekitar 2x1 setengah meter serta dua sofa panjang dan single menjadikan ruangan formal itu begitu terlihat elegan dengan lukisan-lukisan estetik yang menempel di tembok bercat abu-abu. Lalu mata Tata memicing saat ada dua pintu lain dalam ruangan itu, pertama pintu berbahan kayu ukiran dan kedua pintu berwarna silver dengan tulisan

_Don't go in, if you want to be safe._

"Itu kamar istirahat saya, kamu mau masuk?"

Tata refleks menoleh pada pria yang kembali duduk di sampingnya meski masih menyisahkan sedikit jarak.

"Nggak, Pak. Makasih," jawab Tata sambil menggeleng cepat.

Aufan terkekeh dan kembali menatap wajah di sampingnya. Tak ada yang berlebihan bahkan ia yakin kalau Tata hanya memakai lipbalm yang menunjukan warna bibir alaminya. Juga sedari tadi Aufan gatal ingin bertanya hal aneh.

Aneh?

Ya, itu menurutnya. Bagaimana bisa wanita dewasa seumuran Tata masih berbau minyak telon dan bedak bayi. Setiap kali Aufan menoleh ke arah Tata bahkan sejak menit pertemuan mereka, wewangian khas itu menyapa indra penciumannya lantas sialnya! Hal itu mampu membuatnya terpikat dan langsung berpikir bagaimana rasanya menelusupkan wajah pada leher putih beraroma bayi itu. Atau, bagaimana rasanya menciumi setiap inci wajah bersih alami yang benar-benar memancing untuk dicumbu.

Oh, ayolah. Bahkan Tata hanya diam dengan keadaan gugup. Duduknya pun begitu tegak dengan lutut yang menempel rapat karena merasa tak nyaman. Jika ada yang terpancing itu bukan karena tingkah Tata.

Salahkan otak selangkangan Aufan yang begitu murahan jika berdekatan dengan Tata.

"Windi?"

Tata berdeham sebentar. "I-iya, Pak?"

"Jangan panggil Bapak, saya lebih suka dipanggil Mas sama kamu."

Tentu saja Tata kembali menggeleng tanpa ragu. Sebutam 'Mas' saja membuat otaknya ambigu saat ini, bagaimana jika orang-orang kantor mendengarnya. Mereka pasti langsung berasumsi kalau ia dan atasannya memiliki hubungan dekat.

Bahkan sekertarisnya saja tak memanggilnya seperti itu. Bagaimana bisa dia yang hanya karyawan magang ... ah, sudahlah!

"Kenapa?" desak Aufan dengan tatapan yang tak lepas dari wajah yang terlihat enggan menatapnya balik.

"Pak." Kali ini Tata ikut menatap pria yang masih memandanginya.

Meski ketahuan dan tertangkap basah, Aufan benar-benar tak bisa melepas objek netra gelapnya dan menunggu Tata yang sepertinya ingin kembali berucap.

"Bapak sebenarnya mau apa dari saya?" lirih Tata sambil menundukkan pandangan ketika iris gelap di sana begitu dalam menatapnya hingga membuat tubuhnya sedikit merinding.

"Menurut kamu?" gumam Aufan pelan.

Tata kembali mendongak saat suara itu terdengar rendah. "Saya nggak tahu, yang jelas dan perlu saya tegasin saya bukan wanita malam yang Bapak pikir selama ini."

Suara Tata tampak tegas dan terbalut rasa sesal. Penyesalan karena malam singkat itu, meskipun akhirnya ia bisa membawa putrinya ke ruang operasi dengan cara yang menjijikan. Namun, tetap saja saat ini ia sadar kalau ternyata malam itu yang membuatnya berada di situasi rumit seperti saat ini.

Mungkin tak serumit itu jika saja Tata mengikuti alurnya. Bekerja bersama pria yang pernah menidurinya 'semalam'. Hanya itu bukan? Tapi kenapa Tata merasa seolah tempat ini akan menjadi awal dari perjalanan hidupnya yang sulit menjadi lebih sulit.

"Pak?" imbuh Tata dan kembali menatap wajah di sampingnya. "Saya sebenarnya nggak mau bicara kayak gini, cuma ...."

Helaan nafas pelan Tata membuat Aufan semakin penasaran dengan kalimat lanjutan dari bibir menggoda itu.

"Hidup saya udah sulit, Pak. Saya nggak mau nambah sulit karena masalah lain. Saya cuma mau fokus sama anak saya. Saya tahu, saya salah dan saya minta maaf karena nipu Bapak malam itu, saya terpaksa dan benar-benar nggak punya cara lain saat itu. Jadi, maaf sekali lagi Pak, kalo—"

Mata Tata membola saat Aufan menarik tengkuknya dan mengambil ciuman yang membuatnya semakin terkejut.

Ciuman itu memang tak disambut baik tapi Aufan yakin seterkejut apa wanita yang sedang ia cumbu ini. Tangan Tata refleks menahan dadanya. Tubuhnya yang terasa tegang saat ini begitu susah payah menahan tubuh kokoh Aufan.


Aufan semakin melumat lembut bibir bawah yang menjadi fokusnya saat Tata bicara hal yang membuatnya merasa kesal. Entah kesal karena alasan apa, yang jelas ia tak suka jika ibu satu anak ini terdengar putus asa.

Apa semenyedihkan itukah hidupnya?

Lalu, tautan itu terlepas saat Tata mendengar suara ketukan pintu dan mendorong tubuh besar Aufan yang bisa-bisanya masih sempat mencuri kecupan singkat di pipi kirinya.

"Rasa vanilla," bisik Aufan tepat di depan wajah Tata sambil mengusap bibir bawahnya.

"Masuk," seru Aufan dan bangun dari duduknya lalu berjalan ke arah kursi kebesarannya. Tak peduli pada wajah Tata yang memerah dengan tangan yang mengusap bibir dan pipinya secepat yang ia bisa.

"Bapak panggil saya?"

Seorang wanita muncul dari balik pintu dan melirik sebentar ke arah Tata yang sedikit tertunduk.

Abigele Rasimh, kepala divisi pemasaran yang bekerja bersama Aufan sejak Aura masih memimpin. Wanita dengan paras cantik dan raut wajah dingin itu adalah anak dari bibinya Aufan.

Setelah menormalkan detak jantung yang tak karuan karena aksi pria tinggi itu. Kini Tata mulai melihat wanita yang beberapa detik lalu memasuki ruangan. Ia harus berterima kasih karena wanita itu menyelamatkannya dan kini matanya menelisik penampilan formal yang begitu elegan membungkus tubuh ramping itu.

Kemeja navy dengan rok span hitam sebatas lutut serta rambut yang dibiarkan tergerai begitu saja membuat Giel—panggilan wanita itu—terlihat profesional dan tegas bahkan aura kepemimpinannya sudah dirasakan Tata saat tatapan mereka bertemu.

"Dia Windi," tunjuk Aufan ke arah Tata. "kasih dia kerjaan di divisi kamu. Atau jadi asisten content specialist juga boleh," tukas Aufan dengan seringai jahil pada sepupunya yang terdengar berdecih lirih sambil merotasikan matanya jengah.

"Udah, itu aja?" timpal Giel dan Aufan hanya mengangguk sebagai jawabannya.

Setelahnya Tata mengikuti langkah Giel ketika diberi isyarat oleh wanita cantik itu untuk berjalan menuju lift berbeda dengan yang ia naiki bersama Aufan.

"Kamu pernah kerja di mana?" tanya Giel dingin sambil memasuki pintu lift yang baru saja terbuka.

"Saya cuma pernah kerja di toko sama kafe, Mbak. Saya nggak punya pengalaman sama sekali dalam dunia perkantoran," terang Tata sedikit ragu saat Giel menoleh padanya dengan tatapan mengernyit dan raut wajah bingung.

Tentu saja bingung, masuk ke dalam perusahannya Zaccth Company bukan hal yang mudah apalagi masuk ke bagian divisi pemasaran.

"Kamu kenal sama Aufan?"

Tata sebanarnya bingung harus menjawab apa meski pada akhirnya ia mengangguk ragu karena mengelak pun rasanya tak berguna saat melihat Giel yang sejak di dalam ruangan menatapnya penuh curiga.

Giel hanya mengangguk dengan tatapan kembali ke depan dan memasang wajah datarnya lagi hingga Tata tak tahu apa yang sedang dipikirkan wanita itu, atau lebih tepatnya apa yang sedang dipikirkan tentang dirinya.

Mereka sampai pada lantai 11 dan keluar berjalan menuju ujung lorong di mana kantor divisi pemasaran berada.

"Ini kantor divisi pemasaran, kamu besok kalau dateng langsung ke sini aja," ucap Giel sambil membuka pintu kaca itu.

Saat masuk, semua mata yang ada dalam ruangan menoleh. Mungkin jika hanya Giel yang datang mereka tak akan menatap lama. Masalahnya, kali ini fokus para karyawan yang dominan laki-laki itu sedang menatap dengan tanda tanya wanita yang di bawa atasannya itu.

"Siapa, Gi?" celetuk pria berkulit tan yang duduk di pojok kiri.

Namun, sepertinya pria tinggi dan terlihat seksi itu harus menelan rasa acuh yang selalu ia dapat dari wanita yang sudah empat tahun ini bekerja sama dengannya.

"Ini tim pemasaran, itu di pojok kanan ada Devano, panggil aja Mas Dev. Dia di sini sebagai marketting anayst, dan tiga orang yang duduk di belakangnya itu timnya. Dan pojok kiri itu namanya Kaino, panggil aja aligator. Dia content specialist dan dua orang di deketnya itu, mereka timnya," jelas Giel.

"Gi, gue kok, dipanggil aligator sih!" dengkus Ino, pria yang bagai kucing dan anjing jika berhadapan dengan Giel.

"Biasanya dipanggil predator ya, No," sahut pria dengan kacamata minusnya. Namanya Devano.

"Win kenalan dulu, biar enak manggilnya," titah Giel membuat Tata sedikit gugup meski gadis di sampingnya ternyata tak semenyeramkan dugaannya.

"Hai, saya Renata Windari. Kalian bisa panggil Tata atau Windi," ujar Tata sedikit malu saat para pria di sana begitu terang-terangan menatapnya dengan lekat.

"Gue Kaino, panggil aja Mas Ino," timbrung Ino sambil tersenyum manis ke arah Tata yang hanya mengangguk ragu.

"Dah, kerja kerja! Matanya dijaga, jangan sampe gue kasih kacamata kuda!" balas Giel ketus sambil membawa Tata untuk duduk di tim Devano.

"Suseh yeh, betina. Dideketin ngamuk, lirik yang lain ngamuk juga," sindir Ino yang dihadiahi lemparan pulpen dari gadis yang baru saja ia sindir. Untung saja Ino sudah terbiasa menghadapi serangan dadakan itu hingga tak ada rasa kejut selain kekehan geli.

"Mas Dev, gue taro di tim lo aja, ya?" Devano hanya mengangguk pelan dan kembali pada kegiatannya, membaca beberapa artikel dalam layar komputernya.

"Duduk di sini aja, Win. Tanya sama Mas Dev kalau nggak ngerti," terang Giel sambil menunjuk kursi di dekat salah satu rekan tim Devano dan saat langkahnya hendak beranjak dari sana, suara Tata lebih dulu memanggilnya.

"Mbak, saya mau izin telepon, boleh?"

"Hm, boleh. Asal jangan berjam-jam," balas Giel membuat Tata mengangguk sambil tersenyum ke arah wanita yang berjalan meninggalkannya.

"Di sana aja kalau mau telepon, ada pantri di pojok ruangan," seru pria di samping Devano.

Pria putih dan tampan yang memiliki senyum manis juga mata indah saat bicara, menatap Tata sekilas sebelum kembali pada layar laptopnya.

"Oh, iya. Makasih Pak—"

"Jamal, panggil Jamal aja, Win," seru Jamal pria yang menjabat sebagai asisten manager anayst.

"Oh, iya. Baik Mas Jamal."

Entah kenapa sebutan 'Mas' malah begitu mudah di keluarkan Tata saat bertemu orang-orang di divisi pemasaran. Mungkin karena semua anggota menyebutkan kata 'Mas' untuk panggilan.

Tata mulai bergegas ke tempat yang diberitahukan dan benar saja ada pantri mini di sana. Kompor elektrik dengan jajaran mie dalam cup serta satu rak kecil yang berada di atas meja yang dipenuhi varian bermacam-macam kopi.

"Wah, keren banget kantornya," decak Tata kagum dan setelah itu mengambil ponselnya untuk menghubungi putri semata wayangnya yang hari ini dititipkan pada Mela.

***

Sementara itu, Aufan sedikit mengernyit saat menerima telepon dari Joni. Awalnya Joni yang memang tak tahu kalau hari ini Tata mulai bekerja di perusahaannya ingin melaporkan ketidakhadiran wanita itu dalam kafe tempat yang biasa bekerja.

Aufan sebenarnya tak yakin kalau Tata mau datang keperusahaannya. Itulah sebabnya ia tak memberitahu dan membiarkan Joni tetap memantau seperti biasa.

Namun, sepertinya pembicaraan Joni terakhir membuat Aufan berpikir, apa ini alasan Tata terlihat enggan menerima karir menarik tanpa susah payah itu.

"Iya Bos, tadi sebelum ke kafe gue sempet lewatin rumahnya. Tapi masih sepi jadi gue langsung otewe ke kafe dan ternyata nggak ada orangnya," jelas Joni sambil menenggak minumannya. "Jadi sekarang dia kerja di perusahaan. Terus anaknya sama siapa? Soalnya kalau di kafe setiap jam makan siang dia pulang buat makan bareng sama anaknya," lanjutnya.

Aufan semakin mengernyit saat Joni kembali berucap. "Anaknya kemarin balik ke rumah sakit buat buka perban kayaknya. Tapi gue nggak selidikin keadaannya."

"Oke, Jon, gue tutup dulu teleponnya," balas Aufan dan mematikan ponselnya lalu langsung menghubungi Giel.

***

Setelah selesai memberitahu Mela kalau ia mulai bekerja hari ini dan tak bisa makan siang bersama Azira, Tata keluar dari pantri dan menghampiri Giel yang mengisyaratkannya untuk datang.

"Win, kamu pulang aja. Besok mulai kerjanya, hari ini cuma perkenalan," terang Giel dan menepuk bahu Tata yang sekarang terlihat begitu sumringah.

"Oh, baik Mbak, makasih. Kalau begitu saya pamit ya," ujar Tata sambil menyambar totebagnya dan berpamitan singkat pada para karyawan di dalam ruangan.

Sungguh, langkahnya begitu ringan saat keluar menuju pintu elevator. Tata tak peduli mungkin saja ada maksud lain saat atasannya memulangkannya.

Ah, masa bodoh. Pikirnya.

Inlah alasan Tata yang tak ada minat bekerja di tempat lain meski gaji yang ditawarkan tak main-main, karena jarak antara rumah dan perusahaan Zaccth Company berkisar hingga satu jam jika menggunakan ojek online.

Selain terkendala dengan ijazah yang memang hanya ada di tingkatan sekolah menengah atas, ia juga tak bisa meninggalkan putrinya sendiri meski orang tua angkat Mela sering mengajukan diri untuk menjadi pengasuh anaknya.

Dan di sisi lain, Aufan sedang berdiri di dekat pembatas rooftop dengan sebatang rokok yang terselip di bibir tebalnya. Ia menatap gerbang masuk perusahaan, lalu saat netranya menangkap sosok gadis mungil yang berjalan keluar gedung, tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum tipis dan hampir terkekeh saat melihat Tata yang berjalan buru-buru tiba-tiba saja berbalik arah saat benda yang sepertinya mirip gantungan tas, terjatuh tanpa sengaja.

Wanita itu langsung mengambilnya dan kembali berjalan cepat sambil menatap benda yang sempat terjatuh. Aufan tak habis pikir kenapa Tata membawa efek yang bahkan membuatnya ingin terus tersenyum saat mengingat ciuman singkat dalam ruangan.

Apa mungkin itu karena kehaluannya yang menjadi nyata meski ia tak sampai mendorong tubuh Tata ke atas sofa dan melucuti pakaiannya atau karena alasan lain? Entahlah, yang jelas Aufan merasa ini bukan dirinya selama 32 tahun ia hidup.

***

"Mbak Windi, kan?"

Tata yang sedang melewati pos jaga tempat yang tak jauh saat ia bertemu Aufan, menoleh pada pria yang tadi pagi bertemu dengannya. Rian, sekuriti perusahaan itu.

"Oh, iya Pak—"

"Panggil Mang Iyan aja, Neng," jelas Rian saat melihat wanita itu terlihat bingung memanggil namanya. "Mau pulang, ya?"

"Iya, Mang. Besok baru mulai kerja."

Lalu Tata sedikit terkejut saat seksi keamanan itu kembali berucap, "itu Neng, ojek online-nya udah nungguin."

"Eh," kata Tata heran.

"Iya, tadi dipesanin sama Pak Aufan langsung. Udah nunggu sepuluh menit lalu, Neng."

"Eh, gitu ya, Pak?" Wajah Tata masih terlihat bingung meski pada akhirnya ia mengangguk dan pamit sambil berucap terima kasih pada sekuriti itu.

Benar saja, saat keluar sudah ada pria yang sedang menunggu. Tetapi, bukan pria di atas motor melainkan di samping mobil yang langsung menyambutnya.

"Dengan Renata Windari, kan, Mbak?"

"Eh, i-iya, Pak. Itu saya," jawab Tata bingung, lantas saat menoleh ke belakang ada Rian yang hanya mengangguk dan kembali menutup pintu gerbang kecil yang hanya dikhususkan untuk dilewati karyawan.

"Mari Mbak, sesuai alamat yang di kirim, kan?"

Dengan kebingungan yang masih menyelimuti, Tata mengangguk dan masuk ke mobil yang perlahan mulai menjauh dari area perusahaan.

Tanpa sepengetahuannya, pria tinggi yang baru saja membuang putung rokok sedikit bergumam, "Kok, lucu sih," monolog Aufan dengan tatapan yang mengantarkan kepergian roda empat itu.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top