3. Pria Brengsek!


Saat ini Aufan sedang berjalan santai setelah memarkirkan mobilnya di halaman rumah mewah di bilangan Jakarta. Baru saja memasuki rumah yang jadi tujuannya, suara bocah laki-laki begitu nyaring menyambutnya dengan antusias.

"Halo jagoan!" sapa Aufan sambil mengangkat tubuh bocah yang memakai baju bergambar spiderman.

"Daddy, Ray beli mainan baru," bisik bocah tersebut.

Pemilik nama lengkap Rayyan Zaccth Mallorca, melingkar sempurna pada leher Aufan dengan tangan kecilnya. Mulutnya yang sedikit berlumuran coklat mendekat ke telinga Aufan untuk membisikkan sesuau.

"Keren banget, Dad."

"Wah, Daddy boleh liat?"

Rayyan mengangguk cepat saat Aufan menanggapinya sembari tertawa kecil dengan langkah yang terus terayun mantap ke arah ruang tamu.

"Mas, kapan sampai?"

Wanita dengan tubuh bak model keluar dari arah pantri, menyambut Aufan dengan apron yang baru saja dilepaskan.

Aufan duduk di salah satu sofa dalam ruang tamu bersama Rayyan yang ikut duduk di atas pangkuannnya.

"Baru aja, Zidan belum pulang?"

Zanaira Aura Zaccth, adik anak sulung keluarga Zaccth tersebut hanya menggeleng pendek. Lalu ikut mendaratkan bokong di atas sofa setelah memerintah salah satu pekerja untuk membawakan secangkir kopi kesukaan sang kakak.

"Katanya hotel di Batam lagi masalah, Mas. Jadi Mas Zidan nggak bisa pulang."

Aufan mengangguk menanggapi ucapan adiknya. Lantas mengernyit saat bocah dalam pangkuannya turun dan membuka stoples camilan yang baru saja disediakan asisten rumah tangga bersama secangkr kopi.

"Tumben, Mas Aufan ke sini? Ada masalah?" Aura bertanya sembari mencabut beberapa lembar tisu untuk membersihkan tangan Rayyan dari cokelat.

"Mas mau numpang istirahat, capek banget layanin investor asing yang cerewet," ujar Aufan setengah kesal.

Bukan hanya itu yang membuatnya kesal, tetapi kunjungan ke rumah Tata harus terganggu karena suara telepon dari asistennya yang mengatakan kalau investor Cina datang mendadak ke kantornya. Membuat ia mau tak mau meninggalkan wanita yang saat ini mengganggu pikirannya.

Ah, sial!

"Oh, ya udah. Istirahat di kamar yang biasa Mas pakai aja." Aura mendapat anggukan kepala dari pria yang saat ini mulai beranjak dari sofa sembari membuka jas dan mengendurkan dasinya.

"Daddy istirahat dulu, ya. Jangan banyak-banyak makan cokelatnya nanti sakit gigi lagi." Aufan mengacak gemas rambut bocah yang asyik memakan kukis sebelum membawa cangkir kopi menuju kamar tamu.

Jika ada seseorang yang baru melihat hal itu, mungkin sudah dipastikan tebakan orang-orang di luar sana akan menyangka Rayyan adalah anak Aufan. Sebab bocah gendut tersebut begitu dekat dengan pamannya dan Aufan yang juga loyal menunujukan sifat bijakannya jika bersama keponakannya.

***

Tata sudah lama bekerja di salah satu kafe yang terletak tak jauh dari kediamannya. Seperti hari-hari biasa, ia selalu menitipkan Azira pada Mela—sepupunya yang tinggal bersama orang tua angkat. Ia sebenarnya malu hanya saja tak ada pilihan karena selepas operasi mata, Azira benar-benar harus diperhatikan.

"Ta, biasa, ya." Danto, pria pemilik kafe berusia 30-an berucap pada karyawannya.

"Iya, Bos. Tapi nggak sampe malem kan, gue nggak bisa kalau ...."

"Nggak, paling jam 10 selesai. Sebelum lu tampil ada Band baru yang mau nyumbang, lumayan promo sambil hiburan."

Tata mengangguk dan kembali fokus pada mesin kasir.

Selang beberapa menit setelah percakapan singkat bos dan karyawan itu usai, seorang pria dengan kemeja biru dan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, masuk ke kafe dengan gaya angkuh. Lantas sedetik kemudian, senyum miring perlahan tercetak jelas saat melihat siapa yang ada dibalik meja kasir.

Aufan yang hari ini datang membawa kejutan. Ia memang sengaja menyambangi kafe yang Joni konfirmasi, kalau wanita yang ia cari bekerja di sana.

Dengan langkah sombong, Aufan menuju meja kasir untuk memesan sekaligus menggoda ibu satu anak itu.

"Hai, Win?"

Tata yang sedang asyik mencoret beberapa kesalahan di atas buku pesanan, refleks mendongak. Kemudian, matanya langsung membola saat pria yang seminggu lalu mendatangi rumahnya kembali menyapa. Berdiri nyata di depannya.

"K-kamu ... maksud saya ... hem ... mau pesen apa, Pak?"

Melihat wajah gugup Tata, Aufan semakin tersenyum jenaka.

"Kopi, tapi kamu yang antar ke meja saya."

Belum sempat Tata menyahut, pria itu sudah melenggang pergi dan duduk di meja paling pojok dalam ruangan. Bahkan Tata bingung membuat pesanan yang diminta Aufan karena ada 15 varian kopi yang ada di kafe. Sekarang kopi apa yang harus ia buatkan.


"Silakan dinikmati, Pak. Habis itu pergi, please!" Tata letakan cangkir berisi minuman berkafiein itu di hadapan Aufan setelah membatin sebentar.

"Windi, saya mau ngomong sebentar sama kamu."

Tata bahkan enggan menatap wajah itu sampai akhirnya ia berani menggelengkan kepala untuk menolak permintaan Aufan.

"Maaf, Pak. Saya masih kerja."

Setelah itu Tata pergi menuju meja kasir tanpa memedulikan Aufan yang terus menampilkan smirk khas.

Aufan terus memperhatikan Tata yang berjalan ke arah pelanggan lain. Menyapa ramah dengan senyum seadanya, lalu mengobrol singkat dengan beberapa karyawan di sekitaran.

Sial!

Otaknya benar-benar sialan. Melihat wanita itu memakai baju lengkap saja Aufan merasa horny. Bagaimana jika ... astaga! Aufan bahkan pernah tidur dengan seorang model ternama yang memiliki tubuh profesional dan melon yang besar. Jika dibandingan Tata, maka angka yang tepat untuk menilai adalah 2 dan 10. Tentu saja Tata yang mendapat angka dua. Aufan masih ingat bahkan melon Tata hanya pas dalam genggamannya tapi terasa sekal dan wow ... lalu bokong wanita itu yang begitu kenyal begitu menggoda hingga Aufan yang merasa gemas, malam itu menggigitnya sampai Tata menjerit kesakitan.

Ah, ayolah! Ia jadi mengingat malam panas itu lagi, malam yang jika terus ia bayangkan adiknya selalu bereaksi berlebihan.

Sekarang lihatlah! Wanita itu bahkan hanya setinggi dadanya. Aufan tak munafik kalau Tata memang memiliki wajah yang akan membuat pria sejenak terpana setiap kali menatapnya. Kulit putih bersih, bibir merah alami, hidung bangir dengan lensa cokelat karamel yang dihiasi bulu mata lentik membuat Tata seperti Aprhodite. Dewi Yunani yang disebut-sebut menjadi lambang kecantikan.

Terserahlah, Aufan bahkan tak pernah melihat bentukan dewi Yunani itu, ia hanya tak habis pikir dengan wanita mungil yang bisa-bisanya mengurung pikirannya dalam kejadian malam itu.

Aufan bukan pria maniak sex. Ia memang suka menyewa pelacur dengan berbagai macam bentuk dan rasa, tapi tak pernah ia pikirkan setelah malam panasnya berakhir. Lalu, kenapa Tata tampak berbeda. Apa yang membuatnya berbeda? Bahkan Aufan kembali sadar kalau wanita itu sudah memiliki anak dan pasti pernah hamil bukan, tentu saja.

Dasar bodoh memangnya Tata bertelur. Aufan jadi membayangkan wanita mungil itu memiliki perut buncit.

Tunggu dulu, perut buncit. Ck, pasti seksi kalo lagi telanjang. Sial, berhenti nelanjangin dia dalam pikiran lo. Brengsek! rutuk Aufan pada otak selangkangannya.

Ah baiklah, tinggalkan Aufan dengan fantasi liarnya.

Sekarang mari beralih pada Tata yang benar-benar tak nyaman karena mendapat tatapan tajam dari pria dipojok ruangan. Ia melirik sebentar dan mendapati bosnya sedang mengobrol bahkan dari jauh Danto terlihat begitu sungkan saat bicara. Lantas tak lama, pemilik kafe itu berjalan ke arahnya dan mengucapkan kalimat yang membuat Tata bingung.

"Ta, lo temenin Mr. Zaccth dulu, hari ini lo free. buruan sana!"

Tata bahkan belum sempat menjawab namun pria dengan kemeja abu itu sudah pergi meninggalkannya. Tata memberi atensi pada pria yang terus menatapnya dengan senyuman yang menyeramkan, menurutnya.

Tata tentu saja tak bodoh, mungkin pria itu tahu kalau ia bukan pelacur yang harusnya datang malam itu. Lalu bagaimana jika Tata suruh ganti rugi atau bahkan dilaporkan ke polisi karena tindakan penipuan.

Saat sampai di hadapan Aufan, Tata tak buru-buru duduk dan sesekali memilin tangannya yang terlihat basah karena keringat gugup.

"A-ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Tata terbata.

Aufan tertawa kecil. Sekarang ia merasa seperti Serigala yang dipersembahkan kelinci kecil setelah dua minggu tak makan apa-apa. Sungguh, bahkan dengan menelannya sekaligus pun, Aufan yakin kalau ia tak akan puas dan kenyang.

"Duduk, Win!"

Tata berdeham sembari menoleh ke kiri dan kanan.

"Pak, saya lagi banyak pelanggan, maaf ...."

"Saya udah bilang sama bos kamu, kalau kamu saya pakai hari ini."

Mata Tata melebar saat mendengar kata 'pakai' dari mulut Aufan. Memangnya apa dirinya?

"Pak ...."

"Duduk!" perintah Aufan tegas membuat Tata bagaikan seorang murid yang sedang dimarahi gurunya, lalu duduk dengan rasa takut luar biasa.

Aufan tersenyum senang dan seringai mesumnya kembali tercetak, bahkan otaknya sudah menyusun tahapan-tahapan kurang ajar seperti; apa dulu yang akan ia kecupi nanti? Wajah, leher, atau langsung dua gunung sekal di balik kemeja Tata? Dan saat otaknya memikirkan hal tak senonoh maka adik dalam celananya sedang bersorak kegirangan.

"Windi? Bener itu nama kamu?"

Tata yang terus saja tertunduk dengan kuku jari yang ia tekan-tekan, mengangguk pelan.

"Pak, maaf," cicitnya hampir ingin menangis karena merasa seperti burung yang tertangkap pemburu, dan sialannya pemburu yang menangkapnya adalah orang yang sepertinya tak pengertian dan tak bisa membebaskan burung itu dengan mudah meski ia tau harga jual burung itu tak mahal karena burung itu tak begitu cantik.

Ah, baiklah tinggalkan pembahasan tentang burung-burung itu.

Tata menelan salivanya dan mencoba berani untuk menatap pria yang masih saja menyeringai. Nih, orang bukan pasien RSJ kan, kenapa mesem mulu dari tadi, batinnya curiga.

"Sekarang bilang sama saya, kenapa kamu bisa sampe ke kamar saya malam itu?"

"Pak, s-saya sebenernya bukan ...."

"Bukan pelacur yang saya pesen, kan?"

Tata kembali mendongak setelah menunduk takut saat bicara dengan pria yang sepertinya siap menerkam.

"Bapak udah tau?"

Aufan mengangguk, lalu mengangkat cangkir kopinya dengan elegan sebelum meminumnya sedikit.

"Saya nggak pernah bayar pelacur sampe lima puluh juta cuma buat semalem. Lagian malem itu kamu nggak muasin saya. Jadi saya itung kamu masih punya hutang."

Detak jantung Tata semakin bertalu cepat saat mendengar kata hutang. Ayolah, dia hanya janda. Relate, tapi single mom yang sudah memiliki banyak hutang bekas perawatan berobat anaknya dan sekarang pria berwajah tampan dengan seringai mesum itu dengan enteng melempar kata hutang.

"Kan, Bapak yang kasih segitu." Tata berucap sedikit berani meski nyalinya sudah menciut sekecil biji kuaci.

"Tapi kamu nggak puasin saya. Jadi kamu pilih, puasin saya sekarang atau ...."

"Pak, saya bukan pelacur!" seru Tata membuat para pelanggan menoleh padanya dan sedetik kemudian ia meringis dengan kebodohannya sendiri.

"Saya tau itu, tapi kalo kamu nggak mau puasin saya. Kamu harus kerja sama saya."

"Maaf, Pak. Saya menolak karena saya sudah punya pekerjaan."

Aufan berdecak kasar. "Kerja sama saya atau ke kantor polisi?"

Brengsek nih, laki rutuk Tata dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top