Satu: Mas Laksa
"Nanti pulang bareng!"
Namita menatap datar sosok yang ada di depannya. Laksamana Tirtoadji, sosok ketua Majelis Perwakilan Mahasiswa atau yang lebih dikenal dengan senat kampus. Laki-laki itu bersedekap di depan pintu mobilnya yang terparkir rapi di halaman kampus—tepat di depan Gedung H-1 yang menjadi markas anak-anak senat.
Sebagai ketua senat, Laksa benar-benar menjadikan Gedung Ormawa menjadi rumah keduanya. Laki-laki itu bahkan hanya pulang untuk mengistirahatkan badan. Meski sebenarnya, Laksa bukan anak Fakultas Ilmu Pendidikan seperti Namita. Ia mengambil Jurusan Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi—fakultas yang tepat berada di samping fakultasnya. Namun, karena Gedung Ormawa berada tepat di lingkungan fakultas Namita, Laksa memang lebih sering terlihat di fakultas Namita.
"Aku bisa pulang sendiri. Lagian aku mau ke perpus."
"Lagi?"
Alis Laksa bertaut. Ia heran dengan kebiasaan Namita yang satu ini, perempuan berambut sebahu itu lebih sering mengunjungi perpustakaan fakultas daripada jalan dengannya. Walaupun selama ini, Laksa sendiri juga jarang mengajaknya jalan. Oh, sekadar informasi, Laksamana adalah seseorang yang dekat dengan Namita belakangan ini, kedua orang tua mereka saling mengenal dan, ya, memaksakan mereka untuk lebih dekat, mereka bahkan sudah saling bertukar cincin—bahasa lainnya sih, mereka sudah bertunangan.
"Duluan," ucap Namita, lalu pergi meninggalkan Laksa.
Tidak ada yang tahu tentang kedekatan mereka, bisa dibilang mereka memiliki sebuah hubungan yang cukup rumit. Namita sendiri adalah junior Laksa di kampus. Awal perjumpaan mereka bukan sesuatu yang cukup berkesan. Saat itu, Namita adalah mahasiswa baru yang mengikuti serangkaian Ospek universitas, di mana Laksa menjadi salah satu panitia pengawas yang mendampingi BEM menjalankan program kerjanya—Pengenalan Lingkungan Kampus—yang biasa disebut Ospek.
Ketika itu Namita yang sudah lelah luar biasa dan hampir pingsan di tengah lapangan, kebetulan Laksa di sana dan bisa ditebak jika laki-laki itu yang memapahnya karena kebetulan ada di dekat Namita, membawa Namita menuju ruang kesehatan. Namun, siapa sangka, itu adalah awal dari segalanya.
Mendadak, Tante Shinta—Mama Laksa yang juga sahabat lama almarhumah ibu Namita datang ke kosannya pagi itu. Tante Shinta memintanya untuk tinggal bersama, dan mengatakan jika dulu, sebelum meninggal, almarhumah ibunya akan sangat bahagia jika bisa berbesanan dengannya. Rasanya memang cukup klise, tapi hal itu benar-benar terjadi padanya.
Untuk merealisasikannya, Tante Shinta, dan ayah Namita meminta Namita untuk lebih bertunangan dengan Laksa, syukur-syukur nantinya bisa lanjut ke pernikahan, tentu setelah menjalani proses pendekatan selama satu tahun dengan Laksa—yang hasilnya nihil, mereka masih tetap menjadi dua orang yang canggung satu sama lain.
Ting!
Namita mengambil ponselnya. Nama Laksa tertera di notifikasi ponsel android miliknya. Kerutan di dahi perempuan itu bertambah banyak sewaktu ia membaca rangkaian kalimat bernada perintah dari seorang Laksamana Tirtoadji.
Mas Laksa: Nanti pulang bareng, jangan ngebantah.
Namita tak membalas pesan dari laki-laki itu. Ia terlalu sulit untuk mengerti jalan pikiran Laksa. Sebagai anak organisasi yang pandai bernegosiasi, Laksa akan selalu berhasil untuk memaksanya. Namita tahu, bakat negosiasi laki-laki itu mungkin diturunkan dari papanya. Papa Laksa adalah seorang anggota perwakilan dewan di tingkat provinsi.
"Namiiiii ... tugas kamu sudah selesai belum?"
Dena membawa setumpuk makalah dari arah kelas Namita. Dena adalah penanggung jawab mata kuliah Dasar-Dasar BK yang diajar Pak Ryan.
"Sudah, kok kamu di sini?"
"Pak Ryan masih di Singapura, jadi tugasnya ditumpuk aja. Terus kosong, deh, kelasnya."
Namita berubah ceria, perempuan itu merogoh tugas dari tas ransel yang ia bawa. Mengambil makalah kelompok yang harus disetorkan hari ini sebagai tugas pertengahan semester.
"Beneran kosong nih?"
"Yoi. Mau jalan nggak? Ke Marvel, aku dapet tiket film gratis," ujar Dena dengan muka semringah.
Namita menggeleng sambil tersenyum. "Buat kamu aja sama pacar kamu, aku mau ke perpus."
Dena memutar bola matanya malas. Namita dan perpustakaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, entah apa yang dibaca oleh perempuan itu. Tapi yang jelas, Namita bukan sosok kutu buku dengan kacamata tebal, rambut kasar dan kulit kusam. Namita itu cantik, khas perempuan Jawa dengan mata teduhnya yang dibingkai dalam balutan kacamata modis—kadang ia memakai softlens dan rambut hitamnya yang berkilau. Bajunya juga tidak kedodoran, celana jeans dan kemeja kekinian menjadi andalan Namita.
"Ayolah sekali-kali."
"Aku mau balikin buku."
Namita menunjuk tasnya yang tampak berat karena diisi beberapa buku. Di sana tidak hanya ada novel, namun juga beberapa buku non fiksi yang kerap dibaca juga oleh Namita. Perempuan itu ibarat omnivora—pembaca segala.
"Aku tungguin, deh."
Menghela napasnya. Namita akhirnya mengangguk, tidak enak juga karena Dena sudah memohon padanya.
"Yaudah, aku balikin buku dulu."
Dena mengacungkan satu jempolnya setelahnya cewek itu masuk ke dalam ruang dosen untuk meletakkan tugas teman-temannya. Sementara Namita berjalan ke perpustakaan fakultas dengan beban di punggung—tiga buah buku yang tiga hari lalu ia pinjam.
"Nam, nongkrong yuk nanti sama anak-anak, ngopi di belakang kampus sana."
Ardan—kakak senior Namita mendekat ke arah perempuan itu. Namita hanya melirik sekilas, ia memilih melanjutkan perjalanannya menuju perpustakaan fakultas—menaiki tangga tanpa undakan yang disediakan pihak kampus—khusus untuk mahasiswa disabilitas.
"Aku sibuk, Mas."
Ia menjawab dengan singkat. Bukannya tidak tahu Ardan mendekatinya, Namita hanya malas menanggapi laki-laki fakboy seperti Ardan. Bukan rahasia lagi, kebiasaan Ardan yang suka membawa pacarnya ke kontrakan dan bermalam di sana.
"Kamu kenapa sih nggak mau kalau kuajak keluar? Di-LINE juga nggak dibales."
Ardan menggerutu, Namita tak menoleh sama sekali. Ia memilih untuk fokus pada tangga yang sedang ia pijaki, hingga tiba di depan perpustakaan dan perempuan itu langsung masuk tanpa melihat Ardan yang mengekorinya.
"Nami, aku tanya sama kamu."
Ardan terus mencecar. Namita mengeluarkan buku dari dalam tasnya, mengangsurkan buku itu pada Pak Bintara—petugas perpus yang dikenal Namita semenjak ia menjadi mahasiswa baru.
"Pak Bi, aku mau balikin bukunya. Nggak telat kan? Jadi nggak ada denda dong."
Namita tertawa kecil, disambut Pak Bintara dengan tawa serupa.
"Kamu itu, Nam ... ya sudah, sini. Nggak mau pinjem lagi?"
Namita menggeleng. "Besok aja, Pak. Ada urusan hehe ...."
"Urusan apa? Pacaran sama laki-laki di sampingmu itu?"
Namita menggeleng dengan cepat. "Nggak, Pak. Saya sih jomlo," katanya sambil tersenyum lebar—tidak mungkin ia menceritakan hubungan rumitnya dengan Laksa.
Pak Bian tertawa kecil, kalau keras takut mengganggu pengunjung perpustakaan.
"Aku pergi dulu ya, Mas. Maaf nggak bisa ikut, aku ada urusan," tandas Namita, yang tahu benar tujuan ngopi-ngopi ala Ardan.
Ardan adalah salah satu anggota senat kampus tingkat fakultas. Senior yang sudah lama mengejarnya semenjak mereka satu kelas di kelas Perkembangan Individu—karena Ardan harus mengulang mata kuliah itu.
"Sialan!" Ardan mengumpat sepeninggal Namita.
Sementara Namita kembali ke depan ruang dosen di jurusannya, menemui Dena yang sudah menunggu dengan semangat.
Ting!
Ponselnya berbunyi lagi. Satu pesan dari Laksa masuk, membuat dahi Namita heran. Tumben sekali Laksa rajin mengirimkan pesan.
Mas Laksa: Ngapain jalan sama Ardan?
Namita menghela napasnya. Belakangan ini, Laksa sedikit menyebalkan. Jika laki-laki itu tahu, ia sedang ngobrol dengan teman laki-lakinya, Laksa akan langsung dengan banyak pertanyaan.
Namita: Ngajakin jalan tadi.
Namita memilih mematikan ponselnya daripada urusannya panjang. Yang harus ia lakukan saat ini adalah, nonton film dengan Dena dan melupakan sejenak hubungan tak tentunya dengan Laksa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top