[22] 🏫 Adiknya Teman

Berbagai genre musik terdengar di setiap penjuru, mulai dari lagu berbahasa Inggris, Indonesia maupun Korea. Meski lagu menyenangkan itu mengalun riang, nyatanya tidak membuat Qyara menarik garis senyum sejak beberapa saat yang lalu bertemu sepupunya—Naira.

Chagra berdiri di depan Qyara, gadis yang masih sibuk menelisik ujung platshoes-nya tidak juga mengalihkan atensi. Rasanya kesal sekali, niat mau bersenang-senang malah terganggu dengan

"Mau nonton apa?" tanya Chagra yang sejak tadi masih bingung dengan perubahan sikap gadis itu secara tiba-tiba.

Qyara mendongak, netra mereka bertemu beberapa detik sebelum akhirnya, Chagra mengalihkan atensinya pada puncak kepala Qyara. Tangan pria itu terulur membenahi rambut Qyara. Namun, gadis itu masih saja bergeming, tidak mengeluarkan suara apa pun.

"Cleire, kamu kenapa? Dari tadi ditanya tidak jawab. Saya bingung."

"Pak, bisa nggak Bapak jangan pakai saya, ganti aku, gitu. Kita bukan di acara formal."

Chagra menaikkan alisnya, setelah diam cukup lama dan membuatnya kebingungan, Qyara meminta sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

"Kita juga bukan lagi di sekolah, Clei. Setop panggil Bapak, nanti saya dikira bapaknya kamu."

"Pak, aku. A-k-u. Aku! Bukan saya. Bisa?"

Chagra menghela napas, menuruti permintaan gadis di depannya rasanya tidak jadi masalah. "Oke, baiklah. Aku!"

Pria itu menarik pergelangan tangan Qyara. Menuju sebuah tempat yang menjadi tujuannya. Cekalan Chagra pada tangan Qyara berubah menjadi genggaman posesif. Gadis tujuh belas tahun itu mendongak menatap rahang tegas sang guru matematika. Rasanya bahagia sekali merasakan semua ini, seperti ada bunga-bunga kecil yang berterbangan di kepala Qyara.

"Kak, kita mau ke mana?"

Chagra menoleh, menarik garis samar. "Katanya mau nonton? Mau nonton atau ke mana?"

Refleks Qyara melingkar tangannya pada lengan kokoh Chagra. Gadis itu girang, tanpa ia sadar kakinya melompat kecil. "Mau nonton, Kak. Film romantis, ya?"

Chagra terkikik geli, tangannya yang bebas mengusap pipi kiri Qyara. Sepertinya hari ini seorang Chagra Alaric banyak sekali melakukan skinship pada muridnya satu ini.

Langkah mereka sudah berada depan sebuah pintu. Cinema XXI, begitu yang tulis di atas pintu besar berbahan kaca transparan. Tungkai mereka terus diayunkan ke sebuah lorong sebelah kanan. Banyak sekali poster-poster film yang tergantung di sisi dinding.

Mata Qyara menyapu ruangan, membaca deretan judul film yang tayang hari ini. Chagra berdiri tepat di belakang Qyara, pria itu secara tidak langsung menjaga muridnya itu.

"Kak, nonton ini, ya?" tunjuk Qyara pada sebuah poster yang menurut gadis itu film yang cocok.

Chagra menautkan alisnya. "Yakin? Tidak takut?" tanya Chagra tidak percaya.

Bagaimana mau percaya, jika kebanyakan gadis seusianya saat menonton film, maka judul ataupun genre yang pilih tidak akan jauh-jauh dari tentang romansa remaja. Namun, tidak dengan gadis tujuh belas tahun itu, ia justru memilih film horor yang baru saja rilis beberapa hari lalu.

Qyara mengangguk pasti. "Yakin!"

"Tunggu di sana," tunjuk Chagra pada bangku panjang.

Pria itu melangkah menuju tempat pemesanan tiket, Qyara kembali asyik dengan dunianya lagi. Sebuah alunan lagu dari speaker pojok ruangan seolah menarik Qyara untuk ikut menyanyikan lagu itu.

"I won't be silenced. You can't keep me quiet," gumam Qyara mengikuti irama lagu.

Qyara tahu lagunya, lagu sebuah soundtrack film yang sempat booming waktu itu. Bibirnya masih terus bergumam merapalkan beberapa lirik lagu berbahasa Inggris itu, dengan pengucapan yang sangat baik. Anak keturunan keluarga Wistara memang tidak main-main soal menguasai bahasa. Qyara sangat fasih berbahasa Inggris, sementara Juna adiknya menguasai bahasa Mandarin.

"Masih suka nyanyi?"

Qyara terperanjat, netranya menangkap sosok tinggi yang tadi meninggalkan sudah kembali dengan satu wadah popcorn ukuran besar pada tangan kiri dan dua cup minuman di tangan sebelah kanan.

Gadis itu terkikik geli, melihat bagaimana tangan besar Chagra bisa membawa itu semua sekaligus. "Tangan kakak gede juga, bisa angkut semua."

Alih-alih membantu menyambut popcorn ataupun minuman itu, Qyara justru merentangkan telapak tangannya. Membandingkan dengan milik Chagra yang masih memegang popcorn dan minuman.

Chagra menyimpan yang ia bawa di samping Qyara, kemudian ia duduk di sebelahnya. "Filmnya masih dua puluh menit lagi, tunggu dulu," ujar pria itu menoleh pada gadis yang tak berkedip menatapnya itu.

"Kak Agra, udah punya pacar belum sih? Pacaran sama aku, ya," celetuk Qyara tiba-tiba, mengundang tawa kecil dari bibir Chagra.

"Emang kamu udah bisa apa?" balas Chagra jahil.

Sungguh adik perempuan temannya yang dulu sering ia gendong di pundaknya, atau sering ia ajak jalan-jalan ke taman kompleks. Kini sudah menjelma gadis cantik. Benar kata orang, anak perempuan itu akan cepat sekali tumbuh.

"Aku udah bisa masak. Aku juga tujuh belas tahun. Aku udah nggak nangis lagi kalau ditinggal Bang Sehan."

Chagra tertawa renyah. Benar, waktu cepat sekali berputar. Jika dulu ia akan memacu sepada motornya, hanya karena telepon dari sahabatnya yang meminta bantuan menemani adiknya menangis di rumah. Sekarang tidak, gadis kecil itu sudah tidak lagi cengeng.

"Kamu sering ketemu Nayla dan Naira atau keluarga mama?" tanya Chagra ragu.

Bersahabat lama dengan Sehan, membuat Chagra tahu persis bagaimana keluarga besar Danadyaksa memandang anak Wistara dan ibu—kandung Qyara—sambung Sehan itu. Qyara tidak heran jika Chagra mengetahui persoalan yang terjadi antara keluarganya dan keluarga besar mendiang mama kakak tertuanya itu.

"Kalau Kak Nayla cuma ketemu di sekolah aja, kan dia sekolah di Cendikia Luhur. Kalau Naira nggak pernah. Paling juga kalau ada acara keluarga besar, dan itu diajak kakek," lirih Qyara.

Chagra menyerongkan duduknya. Mengusap puncak kepala Qyara. Gadis itu menarik senyum tulus, ia tidak ingin dikasihani perkara keluarganya.

Qyara mengalihkan pandangannya pada popcorn di sampingnya, tidak bermaksud apa-apa, ia hanya menjatuhkan pandangan ke sembarang arah, asal bukan menatap Chagra yang seakan iba padanya.

"Makan aja, Clei. Kalau udah laper. Nanti kalau habis kakak beliin lagi," ujar Chagra menggoda. Berusaha mengembalikan mood adik temannya ini.

"Ih, apaan, sih, Kak! Orang aku cuma natap doang, bukan berarti aku nggak sabar, ya." Qyara mencebikkan bibirnya.

Chagra tertawa pelan, entah ia sadari atau tidak kedua telapak tangannya merangkum wajah Qyara. Ibu jarinya mengusap lembut pipi Qyara.

"Kak Agra, kalau boleh jujur, ya ...." Gadis itu menggantungkan ucapannya.

"Mau jujur apa? Kakak tahu, kakak ini emang boyfriend material," ucap Chagra percaya diri.

"Lepas dulu, sakit pipi aku."

Chagra menarik tangannya di pipi Qyara. Gadis itu mengusap pipinya sendiri.

"Sakit, Kak," rengeknya.

Chagra mendekatkan wajahnya ke depan. Jarak wajah keduanya kurang dari dua puluh senti. Qyara mengerjap beberapa detik, tidak percaya bahwasanya wajah pria yang selama ini ia puja, berada dekat dengan wajahnya, bahkan embusan napasnya pun samar terasa.

Lagi-lagi tangan itu mengusap pipi Qyara dengan perasaan yang hanya dia dan Tuhan yang paham.

"Maaf, ya. Kakak jadi bikin pipi kamu merah."

Tidak baik berlama-lama, tidak sehat untuk jantung Qyara. Detaknya bekerja dua kali lipat. Ia menjauhkan tangan Chagra dari pipinya. Berdeham singkat mengusir canggung di pangkal tenggorokan.

"Aku cuma mau bilang. Aku suka Kak Agra yang ini. Aku nggak suka kalau kakak udah di sekolah. Aku ngerasa kakak jauh dari aku, bukan Kak Agra yang dulu." Qyara melirih.

"Aduh, kasihan banget," ledek Chagra. Pria itu meraih tangan Qyara. "Dengar, kakak. Sampai kapan pun kamu, akan jadi Cleirenya Kak Agra."

Lemah! Runtuh sudah pertahanan Qyara. Saat pria itu mengucapkan kalimat yang tidak pernah ia bayangkan sama sekali. Apa katanya? Cleirenya Kak Agra? Tidak tahu saja pria itu, jika jantung gadis yang mendengar kalimat itu sudah hampir pecah, saking terlalu kerasnya suara degubannya.

Suara pemberitahuan terdengar dari speaker atas, Chagra meraih wadah popcorn dan satu cup minuman. Ia berdiri seraya memberi isyarat agar Qyara membawa minumannya sendiri.

"Ayo, filmnya udah mau mulai," ajak Chagra.

Qyara berdiri melangkah pasti di samping Chagra. Tidak ada obrolan dari mereka selain mengayunkan tungkai seirama menuju studio bioskop.

"Kak Agra," panggil Qyara.

"Hmm?"

"Makasih, ya. Aku suka Kakak begini."

Pria itu tersenyum lebar, selama menjadi guru matematika Qyara. Gadis itu baru kali ini melihat Chagra tersenyum lepas.

Panggilan dan tepukan di punggung Chagra menyentaknya. Pria itu menoleh. Sepasang matanya menatap orang yang berdiri di hadapannya, senyumnya datar saat tahu siapa yang ada di hadapannya. Seorang wanita yang tidak sama sekali Chagra harapkan bertemu di sini.

"Beneran lo, Gra?" Wanita itu menggulir matanya ke arah Qyara. "Ini ... pacar lo sekarang?"

"Bukan! Dia adik gue. Ya, dia adik gue."

Qyara mengerjapkan matanya berulang. Tidak ia ketahui siapa wanita cantik dengan tubuh langsing di depannya ini

"Jangan ngelawak, Chagra. Lo kan anak bungsu. Dari mana ceritanya ini adik lo?!"

"Hmm ... itu, dia adiknya temen gue."

Oh, gue aja terlalu bawa perasaan. Kak Agra enggak lebih menganggap gue sebagai adik temannya. Enggak lebih, Clei. Terus perlakuannya tadi?

—Bersambung—

Tanjung Enim, 30 Agustus 2021.

Silakan yang mau hujat Agra.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top