[2] 🏫 Cari Perhatian
Dua jam pelajaran matematika tidak membuat Qyara bosan seperti biasanya. Qyara bukanlah anak yang membenci mata pelajaran tertentu, hanya saja dia terlalu bosan dengan guru matematika lamanya.
Mata pelajaran matematika sudah selesai, Chagra membereskan buku-bukunya. Netra Qyara terus saja memperhatikan gerak-gerik Chagra di depan sana.
Chagra mendongak sebelum bertanya, "Siapa ketua kelas?"
"Aku, Pak." Qyara bangkit dari duduknya, tangannya sudah terangkat sebelah.
"Heh, badut ancol! sejak kapan lo jadi ketua kelas, ngaco ini bocah," bisik Yeri yang tentu tidak dihiraukan Qyara.
"Bisa bantu saya bawa buku tugas ini ke kantor?"
Qyara menarik senyum tinggi. "Dengan senang hati dong, Pak. Jangankan bawain buku tugas, bawain buku yang lain juga aku sanggup, Kak. Eh, maksudnya, Pak."
Chagra berdecak, kepalanya menggeleng samar. "Ayo, ini. Tunggu apa lagi," perintah Chagra membuat Qyara bergerak gesit. Melesat dari tempat duduknya ke meja guru di depan sana.
Qyara meraih semua tumpukan buku pada meja guru, wajahnya sedikit meringis menahan beratnya beban pada kedua lengannya. Chagra meraih separuh buku itu dari tangan Qyara, berjalan ke luar kelas.
"Jangan ribut, tunggu guru selanjutnya," pesan Chagra sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan kelas.
Qyara mengimbangi langkah lebar Chagra, kepalanya meneleng ke kiri memperhatikan wajah sang guru matematika yang tak lain adalah teman baik kakaknya, pria yang selalu mencuri perhatian Qyara sejak ia masih duduk di bangku SD. Pria yang Qyara kagumi. Dasar Qyara! Kecil-kecil suka sama om-om.
"Kak, kemana aja, sih. Aku nungguin kakak main ke rumah tahu, nggak! Kakak udah nggak pernah main ke rumah lagi," ujar Qyara yang masih berusaha mengimbangi langkah Chagra, meski dengan berlari-lari kecil.
Chagra berhenti di depan pintu ruang guru, matanya melirik Qyara, kemudian berbalik menghadap Qyara. "Kamu adik Sehan, kan?"
Qyara membenahi buku-buku pada pelukannya yang sudah merosot hampir jatuh. "Iya, Kak. Aku Clei, tapi kalo di sekolah orang panggil aku Qyara," jelas Qyara semangat.
Tangan Chagra meraih semua buku yang ada di tangan Qyara. "Silakan kembali ke kelas kamu, terima kasih bantuannya," ucap Chagra datar.
"Kak, Agra. Kakak belum jawab pertanyaan aku, kakak ke mana aja selama ini?"
Chagra menatap datar Qyara, kepalanya celingak-celinguk memperhatikan sekitar. "Kamu tahu kan kita sedang di sekolah? Saya guru kamu. Bukan kakak kamu!" tegas Chagra seraya melangkah meninggalkan Qyara yang masih berdiri di depan ruang guru.
Qyara berbalik melangkahkan kakinya kembali ke kelas. Senyumnya tak henti-hentinya terpatri di wajah manisnya.
"Heh, Qy. Katanya nggak tertarik sama guru matematika. Kok, lo gitu waktu lihat Pak Chagra. Mana sok akrab lagi, panggil 'kak'. Katanya nggak kenal."
Yeri terus saja berceloteh, tetapi tidak sedikit pun didengar oleh Qyara. Dia justru asik bertopang dagu, tersenyum menatap lurus papan putih yang ada di depan kelas. Seolah jejak sang guru matematika masih terjaga di sana.
-o0o-
Bel istirahat berbunyi. Waktu yang sangat ditunggu oleh siswa-siswi Cendikia Luhur atau bahkan sekolah lain. Qyara berjalan menghampiri bangku di barisan paling depan.
"Baim, setiap pelajaran matematika gue jadi ketua kelas, ya. Gantiin lo," ucap Qyra pada teman satu kelasnya.
"Kenapa cuma jam pelajaran matematika? Kenapa nggak sekalian lo jadi ketua kelas, biar ngerasain jadi gue."
Qyara menatap Baim lamat. Memperhatikan sang ketua kelas dengan mengeryit. "Maksudnya?"
"Biar lo ngerasain susahnya jadi ketua kelas buat ngatur lo sama geng lo itu," sungut Baim.
"Oh, sori bos! Itu urusan sekaligus derita lo."
Qyara meninggalkan Baim. Bergegas berlari menyusul guru yang baru saja hendak ke luar kelas. "Hai, Ibu, sini aku bantuin bawa tas Ibu," sapa Qyara saat kakinya sudah berhasil menyamakan langkah sang guru. Tangannya sudah meraih tas guru bahasa Indonesia tersebut.
Sang guru menoleh. "Tumben kamu mau bantuin ibu."
Qyara hanya menyengir. Ketahuan! Modus Qyara membantu sang guru agar ada alasan ke kantor guru, bisa melihat Chagra yang ada di sana.
"Qyara," panggil sang guru.
"Iya, Bu?"
"Tahun ini akan diadakan lagi olimpiade matematika, kamu ikutan ya."
Qyara menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali, cengirannya menghias wajahnya. "Emang nggak ada murid yang lain, Bu?"
"Ibu mau tanya, dari tahun lalu kamu selalu nolak, karena apa?"
Mata Qyara nanar saat langkah mereka sudah memasuki kantor guru, menyapu ruangan mencari seseorang. Senyumnya merekah saat menemukan tempat duduk Chagra. Tas yang semula Qyara jinjing, dia simpan tergesa di atas meja sang guru.
Sang guru hanya menggelengkan kepala, jangankan memberi jawaban atas pertanyaannya, Qyara sudah melesat menuju meja Chagra.
"Siang, Pak Agra," sapa Qyara berdiri di depan meja Chagra.
Chagra mendongak, menatap Qyara datar. "Ada apa?"
Qyara tersenyum, tubuhnya bergerak salah tingkah. "Hmm ... itu, Bapak nggak istirahat? Kantin bareng yuk, Pak. Soto di kantin kita enak lho, Pak. Apalagi bakso Mang Da-"
Chagra menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, melipat tangan di depan dada. "Sudah?"
"Hah? Bapak sudah nyicipin? Bapak sudah selesai makan siangnya? Yaah, aku tel-"
"Kamu? Sudah selesai bicaranya? Saya sibuk. Jika tidak ada yang disampaikan lagi. Silakan keluar," perintah Chagra.
"Tapi, Pak-"
"Mau saya panggilkan guru BP atau abang kamu?"
"Pilihannya cuma dua, Pak? Ada pilihan jadi pacar Bapak nggak?"
Chagra mengeluarkan ponselnya, jarinya mengotak-atik layar ponsel. Setelah nama yang dia cari berhasil ditemukan, Chagra memperlihatkan ke depan Qyara.
Bola mata Qyara membesar saat nama Sehan tertampil di layar ponsel Chagra. "Baik, Pak. Aku keluar."
Qyara melangkahkan tungkainya, ponsel di dalam sakunya bergetar singkat.
Ngapain lagi, sih. Para cecunguk itu.
Qyara membuka pesan di ponselnya, nama Egi yang tertampil pada layar smartphone-nya.
"Halo, Gi."
"Lo di mana, Qy? Kita udah di kantin nungguin lo."
"Tunggu, gue nyusul. Gue habis ketemu crush!" ucap Qyara singkat.
Langkah Qyara sudah membawanya berada di kafetaria, tatapannya menyapu sekitar.
"Kak!" teriak Haechan yang sudah heboh melambaikan tangannya. Qyara menghampiri mereka.
"Dari mana, sih, lo? Udah kayak ulat nangka. Tiba-tiba udah loncat pindah tempat," sungut Yeri.
Qyara duduk bergabung bersama temannya yang lain. Tangannya sudah dia angkat mengarah ke penjual di kantin.
"Mang Dadang, bakso satu kayak biasa. Qyara," teriak Qyara memberi kode pesanannya.
"Siap, bosku," balas Mang Dadang penjual bakso favorit Qyara.
Qyara menopang dagu, sikunya bertumpu pada meja kantin. Senyumnya tak henti terkembang. Wajahnya memang berhadapan dengan Haechan yang duduk di seberangnya, tetapi pikirannya masih tertinggal di ruang guru.
"Lo dari mana, Kak?" tanya Juna.
Qyara terus menatap Heachan tanpa menjawab pertanyaan sang adik.
"Kan! Bener, kan, Njun. Dari di kelas tadi, nih. Tiap ditanya nggak jawab malah asik senyum nggak karuan." Yeri menimpali.
"Kakak lo tadi pagi, nggak salah sarapan kan, Njun?" bisik Egi takut-takut.
"Udah diemin aja, nanti juga sembuh sendiri." Juna sudah cukup jengah mendengar tentang kakaknya ini.
Egi tampak mengarahkan telunjuknya pada mereka, menghitung satu per satu. Jarinya menggaruk pelipis. "Kita berlima, kayaknya kurang, deh."
"Kurang Fiandra, Kak. Tadi dia ke perpustakaan nggak ikut kita."
"Oh, iya! kurang Fian. Pantesan nggak ada aura-aura positif nan adem. Anak soleh nggak ada di sini."
Mereka hanya memutar malas bola matanya, menghela napas mendengar pujian yang Egi lontarkan untuk seorang Fiandra Zikri.
"Kaqy, gue tahu, gue ini ganteng. Tolong dong jangan dilihatin gitu banget. Gue ngeri," celetuk Haechan yang sudah mulai risih dengan tatapan Qyara padanya.
Qyara melotot, tangannya turun bergerak memukul kepala Haechan. "Yang lengkap dong nyebut nama gue. Kaqy, kaqy. Berasa jadi betis gue dipanggil begitu. Nama gue Qyara. Kak Qyara," sungut Qyara yang tidak suka namanya disebut demikian.
"Lah? Apa kabar nama gue dari Hansel Meshach Andriano kalian rubah jadi Haechan. Bokap gue semedi dua hari dua malam puasa di gunung Kawi cuma buat nama itu doang," protes Haechan.
Yeri menepuk punggung Haechan. "Sabar. Hansel Meshach Andriano, kan? Harus sabar, oke?"
Haechan memutar tubuhnya menghadap Yeri, kedua tangannya terkepal di depan dada, dengan tangan kanan masih memegang garpu.
"Aah, Kak Yeyi pengeltian banget cama aku, jadi tambah cayang," ucap Haechan dengan suara dibuat-buat seperti suara anak kecil.
"Lo speech delay? Lidah lo pendek? Jijik banget gue dengernya," tandas Juna melemparkan kepalan tisu pada Haechan.
Tanjung Enim, 09 Des 2020
Hai, Apa kabar. Kabar author berkabung 😭
Salam sayang ♥️
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top