[19] 🏫 Halo, Salah Nomor.

Pagi-pagi sekali Qyara berlari dari gerbang depan menuju kelasnya. Rasanya ingin cepat sampai menemui teman kesayangannya. Ada yang ingin dia tunjukkan pada temannya itu, perihal apa yang dia dapatkan kemarin di Auxa Kafe.

"Egi ... Egigom ... yuhuuu ...."

Qyara menarik senyum datar saat di bangku Egi belum berpenghuni. Namun, ada dua sejoli yang sangat dia kenali di sana. Terlebih lagi si laki-laki terlihat tak hentinya tebar pesona.

"Tumben datang pagi, Qy? Mimpi lo?" sapa Yeri saat Qyara sudah sampai di bangkunya.

Qyara duduk, menyimpan tasnya di sandaran kursi. "Egi tumben belum datang. Ada chat lo nggak, Yer?" tanya Qyara.

"Cuma dua kemungkinan. Antara lo yang kepagian atau Egi yang kesiangan." Yeri mengubah posisi duduknya menghadap Qyara.

"Sayang, kok aku di belakangi, sih," celetuk Haechan tanpa dosa.

Sontak Yeri kembali membalik tubuhnya, tangannya terulur menggeplak kepala Haechan. "Sialan ini anak. Nggak usah sembarangan anjrit. Didengar orang dikira beneran gue pacaran sama lo."

Haechan mengusap kepalanya, cengiran di wajahnya sudah menghiasi. Yeri semakin kesal dibuatnya.

"Eh, Yer. Lo pernah ke kafe auxa? Tempat yang pernah Egi bilang." Qyara bersemangat kembali.

"Pernah, kita ke sana pas lo diskor waktu itu."

Mulut Qyara menganga tidak percaya, bisa-bisanya temennya bersenang-senang tanpa dirinya, terlebih saat dia sedang menjalani hukuman.

"Oh, gitu ya kalian ke gue. Seneng-seneng tanpa gue. Bener-bener tidak ada rasa keperikawanan."

Yeri tergelak mendengar istilah baru dari Qyara. "Nggak gitu, Qy. Kita waktu itu nggak direncanain."

"Kak Qy, ajak gue aja ke sana, Kak. Gue ikhlas lahir batin, dah. Ditraktir minuman juga nggak apa-apa," timpal Haechan.

"Nggak! Siapa yang mau neraktir lo, sih? Pede bat dah idup lo," sungut Qyara.

"Siapa yang jadian?" Suara di belakang Qyara menginterupsi.

Qyara menoleh ke sumber suara, netranya menangkap Egi sudah berdiri di belakangnya, Qyara bangkit menarik lengan Egi agar segera duduk di bangku sebelahnya.

"Gi, gue ada sesuatu buat lo. Barang bagus ini, Gi." Qyara percaya diri sekali akan hal ini.

Egi tampak bingung, nurut saja apa yang dititahkan padanya. Qyara mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya, membuka galeri foto.

"Lo tahu ini siapa?" tunjuk Qyara mengangsurkan ponselnya ke hadapan Egi.

Mata kecil Egi terbuka sempurna, foto seorang laki-laki yang tidak asing baginya. Senyumnya kian terangkat, bibirnya bergumam.

"Aah ... gila! Lo dapat dari mana ini, Qy?" tanya Egi heboh.

Yeri penasaran dengan apa yang dilihat temannya ini. "Apaan sih? Heboh banget, coba lihat." Yeri berdecak. "Oh, foto koko-koko di kafe auxa. Pantesan seorang Egi hebring."

"Biasa aja kali, Kak Egi. Gantengan juga gue."

Egi menoleh ke arah Haechan. "Loh? Sejak kapan lo di sini?"

Haechan membenturkan kepalanya pelan pada meja. "Elaaah, gue dari tadi di sini nggak dianggap."

"Gila parah si ini. lh, candid aja ganteng banget ini. Kok, lo bisa nyimpen foto sepupu Ko Ryan sih, Qy?" Tangan Egi mengusap-usap layar ponsel.

Egi mendongak, menatap Qyara penuh tanya. "Lo nyolong diem-diem, ya?"

"Geser dong, lihat di slide sebelahnya. Ada foto dia yang nggak candid." Qyara memberi tahu.

Jari telunjuk Egi bergerak menggeser layar. Teriakan heboh kembali terdengar.

"Gue juga punya nomor HP-nya loh, Gi."

"Bagi dong, Qy. Please ...."

Qyara meraih kembali ponselnya di atas meja. Mencari nomor—pemberian Chagra—yang dia catat kemarin.  "Gue kirim di chat, ya. Langsung telepon coba, Gi."

Segera secepat mungkin, Egi menekan tanda panggil pada layar ponselnya. Dahinya mengernyit saat mendengar sambungan telepon dari speaker yang diaktifkan.

Hari-hari berlalu, bagai di alam mimpi.

Seakan kuberjalan di balik awan kelabu.

Suara nada sambung yang terdengar, tanda telepon belum juga diangkat oleh pemiliknya.

"Kak? Lo nggak lagi ngehubungi angkatan bokap gue, 'kan?" celetuk Haechan. "Masih jaman sekarang pake nada sambung? Mana tua banget lagi lagunya." Haechan terbahak-bahak menertawakan Egi.

"Halo, sapa nih?" Suara berat akhirnya, terdengar juga. Namun, ada  yang ganjil dari cara bicara orang itu.

"Halo, ini K-koko yang kerja di kafe auxa? S-sepupunya Ko Ryan." Egi terbata

Qyara memijat dahinya, dia yakin ada yang salah di sini.

"Oh, bukan! Saya Bonar guru Fisika di SMA Cendikia luhur."

Qyara dan Egi saling bertatapan. Benar saja! Sesuatu yang salah terjadi di sini. Tangan Qyara merampas ponsel Egi.

"Halo, maaf salah nomor," ucap Qyara buru-buru mematikan sambungan telepon.

"Kok bapak Fisika? Lo ngerjain gue, Qy?"

Qyara gelagapan. "Sumpah, Gi. Gue nggak ngerjain lo. Itu Kak Agra yang ngasih. Katanya nomor koko itu," jelas Qyara apa adanya.

"Wait ... tadi lo bilang, dapat nomornya dari Pak Chagra?" Yeri menimpali ucapan Qyara.

Qyara mengangguk. "Iya, kemarin abang gue nggak jemput. Jadi, gue di anter pulang Kak Agra. Terus makan di kafe auxa."

Yeri melipat tangannya di depan dada. "Bukannya kemarin Pak Agra nggak masuk? Ada kegiatan lain. Kok jemput lo bisa?"

"Katanya, udah selesai. Jadi, bisa jemput gue," cicit Qyara merasa seperti diinterogasi.

"Lo nggak ada hubungan apa-apa, 'kan, Qy?" tanya Yeri penuh selidik.

"Mereka punya hubungan," celetuk Egi membuat Qyara dan Yeri memalingkan wajahnya.

"Apa? Salah? Lo emang punya hubungan sama Pak Chagra, 'kan? Abang lo temenan sama Pak Chagra. Pak Chagra juga udah nganggep lo kayak adiknya sendiri."

"Oh, begitu. Kirain kalian ada hubungan lebih dari itu."

Qyara kikuk mau jawab apa. Situasi sekarang ini benar-benar memojokkannya. Rasa kesal pada Chagra terselip juga di sana.

Apa maksudnya coba, dia ngerjain gue? Sial! Kenapa nomor bapak itu sih. Bikin malu aja. Awas aja kalo ketemu nanti.

Qyara mengepalkan tangannya di atas meja. Wajahnya menunduk. Suara bel masuk sudah berbunyi.

"Heh, anak beruang! Balik lo sana ke kelas lo. Lo nggak denger bel udah bunyi." Yeri mengusir Haechan. Mau tak mau Haechan bangkit dari posisinya, melangkah cepat ke kelasnya.

"Selamat pagi, semuanya."

Sontak suara sang guru membuat Qyara terpaksa mendongak, menatap lurus ke depan.

Panjang umur ini orang. Bisa-bisanya dia masih tegap berdiri di sana, setelah ngerjain gue. Eh, bukannya katanya kemarin, hari ini masih ada kegiatan di sekolah lain. Kok di sini? Bodo lah. Peduli apa gue. Masih kesel juga.

"Qyara ...," panggil Chagra mengabsen murid-murid. Namun, tidak ada sahutan dari Qyara, pikirannya masih terlalu rumit memikirkan kejadian tadi, hingga tidak mendengar panggilan Chagra.

"Qyara Cleire Sharon ...," panggilnya lagi. "Kalau mau ngelamun, mending keluar saja!"

Qyara tersentak saat namanya dipanggil sedikit keras. Yeri menyolek bahu Qyara hingga kembali fokus.

"Iya, hadir, Pak." Qyara menjawab dengan ogah-ogahan.

Tanjung Enim, 20 Mei 2021

Hai, apa kabar? Maaf baru menyapa dengan bab baru. 😂

Ah, iya. Emang terlambat ya, tapi tidak apa daripada tidak sama sekali.

Minal aidzin walfaizin, ya. Maaf lahir batin kalau ada salah gak disengaja dari aku. 😀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top