[14] Interogasi?
Langkah semangat Qyara diayunkan ke kamarnya. Tujuannya langsung ke meja belajar mencari buku cetak, LKS, dan segala buku dengan pembahasan matematika. Tidak lupa dengan alat tulisnya, meraih kotak pensilnya dari dalam kabinet meja belajar. Senyum Qyara sesaat terpatri, membayangkan akan berada di dekat Chagra. Orang yang Qyara kagumi sebelum negara micin bercampur gandum.
Selesai dengan kegiatannya, Qyara membawa tumpukan buku itu ke pelukannya. Wajahnya sedikit meringis, merasa beban berat dari buku-buku tebal tersebut.
"Nggak apa-apa. Kamu kuat Clei. Berat sama dipikul, bersenang kemudian," gumam Qyara yang diikuti kekehan karena celetukannya sendiri. Tidak tahu di mana letak korelasi peribahasa yang dia gunakan.
Qyara melangkah keluar kamar, tangannya yang penuh dengan tumpukan buku kesulitan menutup kembali pintu kamarnya. Kepalanya meneleng, mencari seseorang yang bisa membantunya. Netranya menangkap Egi di ujung sana, karena posisinya duduk tidak terhalang oleh tembok pembatas.
"Egi!" seru Qyara.
Namun, pemilik nama tidak mendengar seruan Qyara. Egi masih sibuk bercanda bersama temannya yang lain.
"Oi, Gi! Yuhu ... Regina Nasution, pengabdi bujang Korea," panggil Qyara sekali lagi sedikit berteriak.
Egi menoleh ke arah Qyara, jelas sekali tatapan bingung dia lemparkan ke Qyara yang berada di depan pintu dengan tumpukan buku.
"Gi, bantuin gue."
Egi bangkit menghampiri Qyara. Keningnya masih berkerut. Tangannya meraih separuh tumpukan buku dari pelukan Qyara. Demi menuntaskan rasa penasarannya. Akhirnya, Egi bertanya, "Ini buat apa, Qy? Mau dibawa ke mana?"
"Mau belajar, dong, mumpung ada guru matematika lagi ada di sini," sahut Qyara semangat.
"Matematika? Sekarang?" Egi tidak percaya dengan jawaban Qyara.
"Iya, dong. Matematika ilmu yang menyenangkan." Qyara berlalu melewati Egi yang termangu.
Egi mempercepat gerakannya, menghadang Qyara agar menghentikan langkahnya. "Qy, ini serius kita mau belajar. Sekarang?"
"Iyalah. Aku tidak pernah bercanda jika menyangkut masa depan, wahai anakku," canda Qyara mencolek dagu Egi.
Egi berbalik, berjalan cepat ke tempat temannya yang lain, meninggalkan Qyara di belakang. Tatapan Yeri fokus memperhatikan Qyara yang sudah berdiri di hadapannya.
"Bener, Qy? Kata Egi kita akan ada pelajaran matematika tambahan."
"Kak, itu guru matematika kelas 11 kan, kita nggak mesti ikutan les juga, 'kan? Haechan ikut menodong Qyara dengan pertanyaan.
"Kak, tadi kata Bang Sehan nggak ada les matematika. Kok, berubah sekarang?" Juna pun turut melemparkan pertanyaan.
Qyara tergelak, merasa lucu melihat ekspresi panik adik dan teman-temannya. Betapa tidak sukanya mereka dengan matematika, atau justru semua mata pelajaran tidak mereka disukai?
Ah, tidak. Juna tidak suka matematika, tapi sangat menyukai ilmu sains. Haechan memang tidak menyukai mapel berhitung, tapi dalam pelajaran olahraga dia cukup membanggakan. Yeri pun sama, dia tidak menyukai matematika, tetapi tidak pula membencinya. Terakhir Egi. Egi ... anak itu sepertinya hanya bisa diandalkan dalam pelajaran seni, terutama menyangkut dance dan musik. Percayalah, setiap siswa punya porsi masing-masing. Bukan berarti lemah dalam pelajaran berhitung, lantas pantas dicap bodoh.
"Kita? Gue aja kali! Gue paham otak lo semua tidak bersahabat dengan ini," cibir Qyara seraya memicing menatap temannya satu per satu.
"Sialan! Mentang-mentang otaknya encer," umpat Yeri tidak tahan.
"Terus ini buat apa, Qy?"
"Gue mau belajar buat persiapan olimpiade," jelas Qyara.
"Oh, olimpiade," ucap mereka hampir berbarengan.
Qyara menelengkan kepalanya, mencari keberadaan Chagra. Senyumnya tertarik ke atas, menangkap Chagra yang duduk menunggu di balkon dengan meja bundar di hadapannya. Langkah Qyara bergegas menghampiri Chagra.
Punggungnya lebar, enak banget kayaknya senderan di sana.
Qyara menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran anehnya yang tiba-tiba mampir. Menarik napas dalam, mengembuskan secara perlahan, Qyara lakukan agar tidak gugup.
"Kak, maaf lama," ucap Qyara seraya menarik kursi di hadapan Chagra.
Chagra mendongak, mengalihkan tatapannya dari ponselnya ke Qyara. Chagra hanya mengangguk, menyimpan ponselnya di meja.
"Kamu punya—"
"Ekhem."
Dehaman seseorang menginterupsi ucapan Chagra. Mereka menoleh ke sumber suara, ada Egi dan Yeri berdiri tidak jauh di samping Chagra.
"Maaf, Pak. Aku cuma mau kasih ini ke Qyara." Egi mengangsurkan buku yang dia bawakan untuk Qyara tadi.
Chagra beralih menatap Yeri, lebih tepatnya menatap yang ada di tangan Yeri. Yeri mengangsurkan minuman bobba milik Qyara yang baru diminum setengahnya.
"Semangat, ya, Qy. Ini minum lo, biar dingin berhadapan sama cogan," bisik Yeri.
Kening Chagra mengeryit, mencerna bahasa anak zaman sekarang. Egi dan Yeri berlalu meninggalkan mereka.
"Cogan apa?" tanya Chagra kemudian.
"Kelapa muda," celetuk Qyara.
"Itu degan," balas Chagra.
Qyara menyengir, menggaruk dahinya. Ini kalo gue pacaran sama Kak Agra, doi alamat bakal banyak tanya tentang istilah anak muda.
"Kenapa kamu?" Chagra menyetak lamunan Qyara.
"Ah, i-itu. Ng-nggak, kok, Kak." Qyara menutup mulutnya sejenak. "Tadi Kakak mau tanya apa?"
"Cogan?"
"Ih, bukan itu. Yang sebelum mereka datang."
"Kamu punya modul matematika untuk kelas 11?"
Qyara tampak memutar bola matanya ke atas, mengingat buku yang di maksud Chagra. "Kayaknya ada, sih. Cuma nggak tahu tadi aku bawa nggak, ya." Tangannya meraih tumpukan buku yang Egi simpan di tengah meja.
"Ah, ada, Kak!" seru Qyara senang, memamerkan buku dengan tebal lebih dari 800 halaman itu.
Chagra meraih buku itu, membuka halaman yang akan dia bahas di pertemuan pertama perjanjian 60 hari yang dia dan Qyara sepakati. Chagra mengangsurkan buku yang sudah terbuka itu, menunjukkan satu soal untuk Qyara kerjakan.
"Coba kamu kerjakan soal ini, nanti kalau nggak bisa baru tanya," ujar Chagra meraih satu pena dari kotak pensil milik Qyara.
Qyara menarik pensilnya dari kotak persegi yang dia bawa. Memulai mengerjakan soal itu, fokus mencoretkan pensilnya dia atas kertas buram, Qyara menghitung menggunakan rumus guna mencari jawabannya. Tanpa Qyara sadari sejak tadi Chagra memperhatikan dengan seksama wajah serius Qyara.
Qyara tampak kesusahan berkonsentrasi karena poninya yang terus jatuh menutupi pandangan, belum lagi mata satunya yang harus ditutupi eye patch. Telunjuk Chagra bergerak, meraih helaian rambut Qyara yang jatuh. Membawanya ke belakang telinga.
"Mata kamu kenapa bisa begini?"
Qyara mendongak, memastikan jika telinganya tidak salah mendengar. Dia sedang tidak bermimpi, 'kan? Chagra membenahi poninya, menanyakan perihal yang terjadi padanya. Manik Qyara dan Chagra masih saling beradu, Chagra menaikkan satu alisnya. Menunggu jawaban Qyara.
"Kan kemarin Kakak tahu kejadiannya. Kenapa aku bisa diskor. Aku yang salah, sih." Qyara menarik garis senyum, tapi Chagra menangkap sesuatu yang disembunyikan di balik itu.
"Ya, saya kan cuma dengar dari mereka. Saya belum dengar penjelasan kamu, kok bisa terjadi?"
Qyara mengembuskan napas panjang, menyimpan pensilnya dan melipat tangannya di atas meja. "Awalnya sih, gara-gara Bella bohongi aku, gitu."
"Terus?" tanya Chagra.
"Dia bilang kalau Juna sama temennya mau bolos, loncat pager di belakang. Jadi, aku lari ke belakang sekolah. Ternyata aku dikibuli, Juna sama temen-temennya ada di kelas."
Chagra menyandarkan bahunya pada sandaran kursi. "Iya, lalu?"
"Aku marah, aku langsung hampiri si Bella, tapi dia malah numpahin susu pisang yang mau aku kasih ke Kakak."
Qyara kembali meraih pensilnya, menunduk. Menyibukkan diri lagi pada soal yang dia tinggalkan sejenak. Suara Chagra lagi-lagi membuat Qyara menegakkan kepala.
"Terus? Apa yang buat kamu sampai marah, nggak mungkin cuma perkara susu tumpah, 'kan?" tebak Chagra.
Qyara menggigit bibir bawahnya. "Bella bilang aku biang masalah, kalau bukan statusku anak pemilik yayasan, mungkin aku sudah lama dikeluarkan dari sekolah. Dia juga nyinggung papi yang dapat warisan yayasan."
Kembali Qyara menunduk dalam. Sungguh dia sudah tidak ingin mengingat kejadian itu lagi.
"Mata kamu bisa begitu?"
Kali ini Qyara menyahuti pertanyaan Chagra sambil mengerjakan soal. "Bella mau jambak rambut aku, tapi aku tepis. Kuku Bella kena mata aku. Karena perih, aku nggak sengaja dorong Bella sampai jatuh kepeleset karena tumpahan susu."
Chagra mendekat, tangannya kembali meraih helaian rambut Qyara. "Makanya ini rambut diikat aja, apalagi kalau lagi belajar. Ganggu fokus jadinya nggak konsentrasi belajar," pesan Chagra.
Qyara mengangguk semangat. Senyumnya terpatri di wajah cantiknya.
"Terus kenapa kamu panggil Dyo ... kakak pinguin? Sejak kapan juga kalian bisa akrab?"
Qyara terkekeh mendengar pertanyaan itu. "Kak? Kakak lagi interogasi aku?"
Chagra berdeham, tangannya bergerak menutup buku Qyara. "Udah, jawab aja!"
"Aku panggil Kak Dyo dengan panggilan itu karena waktu itu, aku pernah dibelikan hadiah boneka pinguin sama Kak Dyo."
"Sejak kapan kalian akrab? Bukannya waktu SD kamu takut sama Dyo. Kamu bilang Dyo suka melotot."
Qyara tergelitik, dia memegangi perutnya yang sakit karena tertawa. "Dulu aku kan masih kecil, Kak. Aku nggak tahu kalau minus mata Kak Dyo udah parah, terus juga matanya kan silinder. Jadi, kalau mandang orang kayak melotot, tapi sekarang nggak lagi."
Qyara membuka kembali buku modulnya, hendak mengerjakan kembali soal matematika yang selalu tertunda untuk diselesaikan. Namun, tangan Chagra menghalangi, hingga buku kembali tertutup. Qyara bingung dengan tindakan Chagra.
"Selesai! Hari ini cukup. Besok dikerjakan lagi."
Ini gue dimodusin atau gimana, sih? Ngerjain satu soal juga belum selesai, tapi udah kelar aja. Jadi, belajar cuma buat alasan interogasi gue?
Tanjung Enim, 20 Februari 2021
Halo? Apa kabar Sabtu kalian?
Ah, iya. Berhubung SNY pernah di unpublish. Yang pernah masukin SNY di reading list terhapus ya?
Boleh minta masuki lagi gak ke reading list kalian semua. Yang di luar ya. Bukan private. Biar yang lain bisa mampir.
Aku rindu Wenda Chandra.
Aku kasih spoiler dikit akh. Wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top