[13] Mendadak Pelajaran Tambahan
Qyara masuk ke kamar. Mondar-mandir di depan meja rias miliknya. Tungkainya bergerak ke wall in closet, memilih baju yang akan dikenakan.
"Bang Sehan, ngundang Pak Agra nggak kompromi lagi. Kalo tahu gitu, gue kan bisa siap-siap. Luluran dari pagi, biar kinclong." Qyara menghentikan gumamannya. "Hah? Kinclong? Berasa peralatan dapur." Qyara lalu tergelak sendiri dengan ucapannya.
Setelah menemukan pakaian yang pas, Qyara bergegas berganti, mematut dirinya di depan cermin yang menyatu dengan lemari besar. "Gila! Cantik banget gue pake baju ini. Nggak sia-sia mami menurunkan kecantikan paripurna ini," puji Qyara pada diri sendiri.
Gerak tangannya mengibaskan helaian rambutnya ke belakang, memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri, melihat belakang punggungnya dari pantulan cermin yang sengaja dia belakangi.
"Ceilah. Udah mirip mbak-mbak pemain drama Korea gue." Qyara memuji sendiri, terkekeh sendiri.
Kakinya berlari kecil menuju meja riasnya, memoles wajahnya sedikit riasan rasanya tidak apa-apa. Qyara melepas eye patch yang sejak tadi dia kenakan, tangannya mulai menyapukan pelembab wajah hingga bedak. Memoles bibirnya dengan lip balm agar tidak terasa kering. Selesai dengan wajah, Qyara merapikan rambutnya. "Ikat nggak? Ikat? Nggak? Oke, baiklah. Nggak usah diikat."
Jika tadi kegalauannya tentang rambut, sekarang beralih ke eye patch. "Pakai lagi apa nggak ya? Kalo pakai lagi, gue kayak bajak laut, dong! Nggak pakai nanti diomelin Bang Sehan."
Qyara menarik napas panjang, menahannya tiga detik, lalu menghempaskannya secara kasar melalui mulut. "Nggak usah dipakai. Paling juga diomelin sedikit sama Bang Sehan. Daripada gue kelihatan nggak cantik di depan Kak Agra, iya, kan? Nggak masalah omelan seorang Sehan Wistara."
Tangannya meraih botol parfum, menyemprotkannya di belakang telinga dan pergelangan tangannya. Sesaat Qyara menghidu wangi perpaduan antara mawar dan vanila yang menguar. "Selesai. Ah, wanginya diriku," celotehnya.
Qyara berlari kecil menuju pintu, hatinya berdebar yang entah bagaimana cara mengendalikannya. Langkahnya dipercepat, tujuan awalnya adalah ruang kerja Sehan yang bersebelahan dengan kamarnya. Qyara memutar handel pintu, mendorongnya perlahan. Qyara mengerutkan keningnya, tidak ada Sehan dan Chagra di sana.
"Nggak ada di sini. Berarti di kamar Bang Sehan." Qyara berbalik, menutup kembali ruang kerja Sehan.
Mata Qyara mengerjap berulang, saat menangkap sosok laki-laki yang hampir dua tahun tidak dia lihat, berjalan melangkahi undakan tangga teratas, dengan tangan kanan menggenggam satu cup minuman favorit Qyara.
"Aahhh ... kakak pinguin," teriak Qyara berlarian melewati kamar Sehan.
Qyara menubrukan tubuhnya pada laki-laki tersebut. Memeluk erat tanda merindukan sosok ini. "Kakak kapan pulang? Bukannya tugas di Kalimantan?" tanya Qyara melepaskan pelukan.
"Udah tiga hari yang lalu. mungkin bulan depan tugas di Jakarta lagi." Si pria tersenyum. "oh, iya, kakak punya ini buat Cleire," ucapnya memamerkan cup minuman yang Qyara pesan pada teman-temannya.
Kaki pendek Qyara melompat-lompat, mencoba meraih minuman yang sengaja si pria tinggikan dari jangkauannya. Qyara berhasil merebutnya, langsung menusuk permukaan cup dengan pipet. Menikmati setiap tegukan minuman segar itu melewati tenggorokannya.
"Pelan-pelan, Clei. Kakak nggak akan minta, kok," ucap sang pria seraya menepuk pelan puncak kepala Qyara. Mengusapnya dengan penuh makna.
Si pria mendongak saat derap langkah kaki terdengar menghampiri mereka, senyumnya terbit, netranya menangkap dua temannya—sehan dan Chagra.
"Woi, Pak Tentara! Baru datang, lo?" Sehan menyapa Dyo.
Dyo Afrians Zikri, kakak Fiandra, sahabat Sehan dan Chagra sejak duduk di SMP. Dyo berprofesi sebagai TNI, mengemban tugas Operasi di perbatasan negara Indonesia.
"Kalian apa kabar, Bro?" sapa Dyo memeluk Chagra dan Sehan bergantian.
"Alhamdulillah, sehat. Lo yang gimana, sehat? daerah perbatasan, aman?" tanya Chagra.
"Kalo nggak aman, yang buat rusuh tenggelamkan aja, kayak kata menteri kelautan. Kalau ada yang gampang kenapa harus ribet, iya nggak?" sambung Sehan bercanda.
Mereka tergelak bersama sudah lama rasanya tidak melakukan ini. Kesibukan masing-masing membuat mereka jarang bertemu.
Qyara melangkah ke arah teman-temannya saat panggilan Yeri terdengar di telinga. Teman-teman yang tidak tahu malunya, belum juga dipersilakan, tapi sudah lebih dulu mengambil posisi di karpet bulu ruang santai, tempat biasa Sehan dan kedua temannya berkumpul. Sementara Sehan, Chagra, dan Dyo terpaksa mencari tempat lain, duduk di sofa panjang, yang tidak jauh dari keberadaan Qyara dan gengnya.
Terlebih Qyara pasti tahu bagaimana kakak dan teman-temannya itu jika sudah berkumpul, tidak akan nyambung dengan obrolan Qyara. Lebih baik dia berkumpul bersama temannya, yang sudah pasti satu frekuensi.
"Lo ngapain, di sana, Qy? Orang kita udah di sini. Kayak nyambung aja sama obrolan tiga bujang." Yeri berkomentar tentang apa yang Qyara lakukan tadi.
"Ini siapa yang beliin?" tanya Qyara mengangkat minumannya. "Sini gue ganti duitnya."
"Nggak usah, Kak. Tadi Kak Dyo yang beliin," timpal Fiandra di sofa seberang.
"Ah, baik banget, sih, Kak Dyo. Dari dulu nggak berubah. Gue kan jadi enak," celetuk Qyara.
"Setuju, Kak. Kak Dyo baik banget emang. Beda sama adeknya," sindir Haechan dengan melirik Fiandra beberapa detik. "Tadi aja kita dijemput satu-satu. Padahal rumah kita kan nggak ada yang searah."
"Udah ganteng, aparat negara, baik hati, pinter masak. Ah, jadi pengin—"
"Punya suami kayak Kak Dyo?" potong Yeri.
"Ih, kok, lo bisa baca pikiran gue, sih, Yer."
"Tapi kira-kira Kak Dyo mau nggak punya istri lemot kayak lo?" Qyara menimpali lagi, sukses membuat Egi merengut sebal.
Gelak tawa mereka pecah, menertawakan Egi yang merajuk oleh candaan yang Qyara lontarkan. Asik dengan bahagia yang mereka ciptakan, suara berat menginterupsi mereka.
"Clei eye patch kamu kenapa nggak dipakai? Nanti kena debu matanya."
Qyara mendongak, beralih menatap Sehan dan kedua temannya. "Bang, nanti aja ya pakainya," rengek Qyara tiba-tiba.
"Pakai sekarang, Clei!" tegas Sehan tak terbantahkan.
"Bang, tapi Clei malu. Jadi kayak ...."
"Kayak apa? Bajak laut?" Sehan melipat tangan di dada. "Abang nggak mau tahu. Mau pakai sekarang, atau besok nggak sekolah," ancam Sehan.
Mampus gue, kalo besok nggak sekolah, nggak bisa ketemu Kak Agra sehari dong.
"Yah, Bang. Jangan gitulah. Clei kan mau sekolah. Clei mau ketemu temen sekolah."
"Ya udah, pakai sekarang!"
"Iya, baik Tuan muda Sehan," cicit Qyara pelan, yang hanya didengar oleh teman-temannya tidak dengan Sehan di ujung sana.
Qyara berlari ke kamarnya, membuka lemari P3K, tempat di mana dia menyimpan persediaan eye patch yang dia punya.
Langkahnya kembali berlari keluar kamar. Suara sapaan dari Dyo menghentikan langkah Qyara menuju ke tempat temannya.
"Mata kamu kenapa, Cleire? Kok mesti ditutupi perban?" Dyo bertanya, tangannya menyibakkan helaan rambut panjang Qyara yang menutupi dahi dan matanya.
"Nggak sengaja kena kuku temen, Kak. " Qyara menjelaskan secara singkat.
"Wah, bahaya itu. Abang kamu bener harus ditutup dulu sebelum benar-benar sembuh," pungkas Dyo.
Qyara mengangguk, Dyo membantu Qyara membenarkan eye patch yang dia gunakan.
"Makasih, Kak. Udah bantuin Clei. Makasih juga bobba-nya. Tahu banget kakak rasa kesukaan Clei."
Dyo tersenyum, tangannya mengusap kepala Qyara. Sungguh, dia sangat menyayangi adik temannya ini.
Suara dehaman keras menyentak kegiatan mereka. Dyo menoleh ke Chagra, tak terkecuali Qyara.
"Kenapa, Pak? Bapak batuk?" tanya Qyara polos.
Dyo mengernyitkan dahinya. "Pak? Bapak?"
"Agra ngajar di yayasan bokap gue, yo." Sehan yang menjelaskan. "Guru matematika, Clei."
Dyo hanya mengangguk paham.
"Mas Sehan," panggil wanita paruh baya entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Sehan.
"Iya, Bi? Udah siap, makan siangnya?"
Sang asisten rumah tangga hanya bisa tersenyum kikuk, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "I-itu, Mas. Tadi bibi masak menunya kurang, tunggu sebentar lagi ya, Mas. Masih masak menu tambahan, tadi bibi ndak tahu kalo temen Neng Clei mau datang juga," ujarnya sopan.
"Bi, boleh aku bantuin?" Dyo tiba-tiba menawarkan diri.
"Eh, maaf, Mas. Nggak sopan kalau Mas yang masak. Biar bibi saja."
"Nggak apa-apa, Bi. Aku suka masak, kok." Dyo berpaling menatap Qyara sejenak. "Clei mau bantuin kakak?"
"Kak Dyo mau masak lagi?" tanya Qyara antusias. "Clei mau, Kak. Clei mau belajar masak."
"Ayo," ajak Dyo.
Sehan hanya berdecak. "Clei kalo udah diajak masak, pasti seneng banget."
"Qyara, kamu harus belajar untuk olimpiade," ujar Chagra tiba-tiba.
"Kok tiba-tiba, sih, Pak?"
"Kalau bukan di sekolah, nggak usah panggil bapak."
Qyara menyengir lebar. "Nah, gitu dong, Kak. Eh, tapi kenapa mendadak belajar untuk olimpiade, ini kan hari libur."
"Kata siapa mendadak? Waktu 60 hari sudah terlewat tiga hari, dan kamu belum satu kali pun belajar."
"Ah, iya. Perjanjian 60 hari."
"Kamu ambil buku kamu. Saya tunggu di sana," tunjuk Chagra di kursi malas dengan meja kecil di balkon rumah.
"Siap, laksanakan!"
Tanjung Enim, 14 Februari 2021.
Halo, selamat sore, selamat valentine day.
Dalam Rangka valentine, Batik Publisher ngadain challenge. Tema CLBK dan aku ikut jadi peserta 😂
Mohon Vote dukungan ya gengs.
Fyi. Walaupun kalian tak mau tahu. Pokoknya saya akan tetap memberita-i.
Nama Dyo Afrians itu aku ambil nama adek aku alm. Dyo Afriansyah. Dia meninggal tanggal 7 Januari 2021.
Alfatihah untuk Alm. Dyo. ❤️
Eh iya. Aku dibikinin ini sama temenku. Ucul banget kan. Ada Chabe juga. Tapi ga bisa dipke ga boleh ganti cover lagi. 😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top