10. 0 + 1 x 0 = 0 🏫 Emang Salah?

Qyara duduk di jok samping Sehan, tangannya sudah menarik seat belt lalu mengenakan di tubuhnya. Qyara menunduk, mengusap matanya. Tangan Sehan terulur mengusak puncak kepala Qyara dengan sayang.

"Nggak usah nangis, cuma tiga hari doang kan," hibur Sehan pada adik perempuannya.

Qyara mendongak, menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya. "Siapa yang nangis sih, Bang."

Sehan mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Qyara. Wajahnya mendekat ke wajah Qyara. "Mata kamu kenapa, Dek?" Sehan menangkupkan tangannya di wajah Qyara.

"Ada pelangi ya, Bang?" kekeh Qyara.

"Nggak usah bercanda, Cleire! Ini di bola mata kamu ada gores merah, kenapa?"

Pikiran Qyara menerawang mengingat kejadian dua setengah jam lalu. "Tadi Bella mau tarik rambut Clei, terus Clei tangkis. Nah, di sana mata Clei perih, Bang. Kayaknya kena kuku Bella." Qyara mejelaskan secara urut kejadian di kelas.

"Kita ke rumah sakit sekarang!" perintah Sehan.

"Bang, kita pulang aja, ya? Clei nggak apa-apa kok."

"Kita ke rumah sakit sekarang atau abang turun buat perhitungan juga sama mereka. Di sini bukan anak mereka aja yang cidera, tapi kamu juga." Sehan sudah terlihat menahan emosi.

Sehan bisa terlihat sabar dan tenang menghadapi sesuatu hal. Namun, tidak untuk adik-adiknya. Haram bagi Sehan untuk diam saja saat fisik adik-adiknya sudah tersentuh dan disakiti.

"Ya udah kita ke rumah sakit aja," cicit Qyara takut-takut.

Sehan meninggalkan parkiran SMA Cendikia Luhur dengan tidak sabaran. Cengkraman pada stir terlihat memutihkan buku-buku jari Sehan. Rahangnya mengencang.

"Kamu diskor, abang nggak protes karena gimana juga kamu harus dapat peringatan, tapi kalo begini? Kamu juga korban, anaknya enak cuma keseleo. Kamu itu mata, Clei. Bisa lebih fatal ini."

Qyara menunduk, mencengkram ujung rok seragamnya. Rasa bersalah mengepung perasaannya. Seorang Sehan yang Qyara tahu tidak akan memperlihatkan emosionalnya, tapi gara-gara ulahnya kakaknya pun bisa memperlihatkan sisi lain dirinya.

"B-bang ... maaf. Gara-gara Clei semua jadi begini."

Sehan menoleh Qyara sejenak, menghela napas pelan. Tangan kirinya mengusap pelan puncak kepala Qyara. "Udah nggak apa-apa. Jangan diulangi lagi, ya?"

Qyara mengangguk, masih belum berani menoleh ke wajah Sehan. Sampai mobil Sehan memasuki pelataran rumah sakit pun Qyara masih membungkam mulutnya.

-o0o-

Qyara sudah mendapatkan penanganan dari dokter spesialis mata di Rumah Sakit Medika Eye Center di bilangan Menteng Jakarta pusat. Tidak tanggung-tanggung, Sehan membawa Qyara ke rumah sakit terkenal khusus menangani pengobatan dan perawatan mata.

"Bagaimana mata adik saya, Dok? Nggak apa-apa, kan?"

Sang dokter tersenyum ramah mendengar pertanyaan Sehan, dokter itu berbalik menghadap Sehan setelah selesai memasangkan eye patch pada mata kiri Qyara.

"Sudah selesai," ucapnya memberi isyarat pada Qyara.

Qyara turun dari bed pasien, menghampiri Sehan dan mendaratkan tubuhnya pada kursi sebelah Sehan, berseberangan dengan sang dokter yang jika ditebak berusia pertengahan empat puluh tahun.

Sang dokter memutar layar komputernya menghadap Qyara dan Sehan. Ada gambar bola mata dan bagian-bagiannya pada layar komputer itu. Telunjuknya menunjuk bagian layar, mulai menjelaskan pada Sehan dan Qyara.

"Mata Qyara mengalami perdarahan subkonjungtiva."

Dokter yang sudah terkenal berkat kualitas kerjanya itu menunjuk layar komputer, kemudian melanjutkan penjelasannya. "Subkonjungtiva adalah bagian selaput bening bola mata bagian luar mata putih, pada bagian ini mengalami perdarahan tipis."

Sehan menganggukkan kepalanya, tetapi matanya masih fokus memperhatikan layar komputer yang ditunjuk dokter, mendengarkan penjelasan dokter.

"Umumnya perdarahan dapat perlahan diserap tubuh dan membaik dengan sendirinya, tetapi bila ada infeksi harus memerlukan pengobatan. Pada mata Qyara beruntung sigap ditangani, mungkin dua atau tiga hari sudah pulih," jelasnya.

Sehan tampak menghela napas panjang. Sedikit rasa lega mengisi dadanya setelah mendengar penjelasan dokter.

Dokter itu meraih pena pada kotak kecil di hadapannya, mencoretkan tulisan pada kertas resep. "Sudah saya berikan obat, nanti saya resepkan lagi. Untuk beberapa hari Qyara harus  menggunakan pelindung mata seperti ini, ya. Diganti setiap hari," pesan sang dokter lalu diangguki Qyara.

***

Qyara melangkah masuk ke kamarnya, mengganti seragamnya dengan pakaian rumahan. Tangan tergantung di udara, tidak dilanjutkan untuk mencapai handel pintu kamar mandi yang ada di pojok kamarnya.

Qyara lebih memilih menjatuhkan tubuhnya pada tempat tidurnya, pandangannya meneliti langit-langit kamarnya. Ada sesuatu yang menggangu kerja otaknya sejak beberapa jam lalu. Apalagi kalau bukan kejadian di sekolah hingga di ruangan wali kesiswaan.

"Kok, Tante Mala gitu banget ya perasaan sama gue," gumam Qyara menarik napas panjang.

Qyara bangkit dari posisinya, tenggorokannya terasa kering. Qyara berjalan ke luar kamarnya menuju dapur. Matanya melirik ruangan di ujung sana, ruang kerja papinya yang sekarang jadi ruang kerja Sehan. Pintu ruangan itu sedikit terbuka. Langkah Qyara berbalik menuju ke sana, tangannya sudah meraih handel pintu dan membuka pintu semakin lebar.

Kepala Qyara menyembul dari balik pintu. Tatapannya nanar mencari keberadaan sang kakak. Senyumnya terkembang saat melihat Sehan duduk menghadap layar komputer pada kursi kerjanya.

"Bang, Clei masuk, ya," ucap Qyara meminta izin.

Sehan mengalihkan pandangan ke arah pintu. "Iya, masuk aja."

Qyara duduk pada sofa yang keberadaannya tidak jauh dari Sehan. Suara lirih terdengar lagi menyapa telinga.

"Abang nggak balik ke kantor?"

Sehan mendongak menatap adik perempuan satu-satunya. "Abang lanjut di rumah aja," jawab Sehan.

Qyara menghela napas kasar, duduk bersila memperhatikan ruang kerja Sehan dengan nanar. Matanya berhenti pada jam dinding yang tergantung, menunjukkan pukul 10.12 wib.

"Jam segini kalo di sekolah baru istirahat pertama," gumam Qyara.

"Siapa suruh berantem, nakal sih," sahut Sehan tanpa memalingkan wajahnya dari layar laptop.

"Bang! Clei nggak berantem ya, dia dulu yang buat masalah," sungut Qyara tidak terima dengan tuduhan sang kakak.

Qyara berpindah tempat, berbaring di sofa panjang. Netranya lagi-lagi melakukan hal sia-sia, meneliti bentuk ukiran kosen yang melekat pada pelafon ruangan tersebut.

"Bang, emang salah, ya?" tanya Qyara lirih.

"Iya salah banget, mesti bukan kesalahan kamu seluruhnya, sih. Harusnya nggak usah sampai berantem."

Bahas itu lagi. Untung Bang Sehan. Kalo Juna udah gue keplak kepalanya.

"Emang salah? Kalo Clei lahir di tengah keluarga ini?"

Sontak Sehan menoleh, Qyara masih pada kegiatannya meneliti berapa kali berapa panjang kayu yang dibutuhkan untuk membingkai langit-langit ruang kerja Sehan. Atau berapa kaleng cat yang habis terpakai untuk mengecat ruangan ini. Otak matematika Qyara berjalan.

"Kok ngomong gitu?" Sehan menghentikan kegiatannya, menatap Qyara dengan dahi berkerut.

Qyara duduk bersandar di sofa. "Emang salah kalo Qyara jadi cucu Dyaksa? Setelah mama meninggal dan papi memutuskan nikahin mami, kenapa papi masih bertahan di rumah dan keluarga besar Dyaksa? Kenapa nggak keluar aja, bukannya papi sudah nggak ada urusan sama keluarga besar Dyaksa?" tanya Qyara penuh lirih.

Sehan menghampiri Qyara, duduk di sisi kosong sebelahnya menghadap Qyara. "Kamu kenapa? Ada yang ganggu?"

"Abang nggak lihat tadi di ruang kesiswaan, Tante Mala begitu ngotot mau Clei didiskor lama?" Qyara menghela napas. "Saudara dari mama, kayak nganggep Clei parasit di keluarga ini. Termasuk kadang Nayla selalu ungkit-ungkit Clei cucu tiri lah. Harusnya nggak ada di tengah keluarga ini."

"Kamu mau tahu alasan kenapa setelah mama meninggal, papi nggak keluar dari rumah ini?"

Qyara tidak menjawab, hanya menatap mata cokelat Sehan dengan penuh pertanyaan.

"Dulu waktu Abang SMA, kakek cerita. Sewaktu beliau masih menjabat kepala sekolah di Cendikia Luhur, ada murid laki-laki kesayangannya. Anak laki-laki yang pintar, sopan, dan sangat disukai oleh semua guru termasuk kakek."

"Emang siapa, Bang?" tanya Qyara tertarik dengan cerita Sehan.

"Akhtar Wistara," jawab Sehan bangga.

"Heh? Papi?"

Sehan mengangguk. "Iya, Papi." Sehan menarik seulas senyum, melanjutkan ceritanya. "Papi, mendiang mama, Om Dedi ayahnya Nayla, dan mami. Dulunya murid Cendikia Luhur. Mereka semua siswa cerdas."

"Jadi mami temen satu sekolah dong sama mama?" Qyara tiba-tiba tergelak, rasanya ada sesuatu yang menggelitik dari cerita Sehan.

"Bang, jangan bilang dulu mami suka papi tapi papi suka mama makanya nikah sama mama, Clei ketawa ngakak nih kalo beneran begitu. Kayak drama Korea yang sering ditonton Egi aja."

Sehan tampak mengangkat bahunya, tangannya menyentil hidung Qyara. "Dengerin dulu sebelum berasumsi! Mami cuma temenan sama papi, tapi mami pernah cerita, dulu Om Dedi satu kelas sama mami dan mereka akrab. Om Dedi sering cerita kalo dia suka sama mama, dan berambisi banget pengin jadi menantu di keluarga Dyaksa."

Qyara menganga. "Hah? Seriusan Bang? Terus nggak kesampaian akhirnya nikahin Tante Reyna ibunya Nayla? Nggak dapat mama adiknya pun jadi."

Sehan mengangguk. "Mungkin bisa dibilang begitu."

"Ah, ribet banget kisah cinta orang jaman dulu," cibir Qyara.

Sehan mengusak puncak kepala Qyara, gemas sekali dengan ucapan asal sang adik.

"Terus ... terus, Bang? Waktu papi mau nikahin mami gimana? Kan secara logika papi udah jadi mantan menantu, kok masih di keluarga ini. Apa kakek nggak marah?"

Sehan menggeleng. "Kakek kan udah kenal siapa mami, dari muridnya, teman anak menantunya, bahkan sebelum mama meninggal, waktu abang kecil kata kakek abang udah akrab sama mami," jelas Sehan.

Qyara menyandarkan kepalanya di bahu Sehan. "Abang dulu waktu sekolah, pernah kayak Clei gini nggak? Semua gerak-gerik diperhatikan karena menyandang status anak pemilik yayasan?"

Sehan menggeleng. "Abang diperlakukan sama kayak siswa lain, nggak ada beda. Kamu dibedakan? Jadi istimewa iya?"

"Iya. Diperlakukan istimewa, Bang. Istimewa banget. Saking istimewanya nih, Clei berasa kayak jadi provinsi di Indonesia. Daerah istimewa!" sungut Qyara.

Sehan terkekeh, mengusak kepala Qyara. "Kenapa begitu?"

"Abang tahu? Semua tingkah Clei diperhatikan. Istilahnya ya, Clei nggak boleh ada kesalahan yang akan merusak citra sekolah. Clei jadi beban nyandang status jadi anak pemilik yayasan. Kesalahan kecil yang Clei lakuin berasa kayak masalah buat negara. Apalagi Tante Mala. Beuh! Nomor wahid ngejudge Clei."

Sehan tergelak, bahunya bergetar. "Ya karena kamu suka bikin masalah, jadi ya gitu,"

"Ya bayangi aja dong, Bang. Anak lain ngelakuin kesalahan kecil udah lewat aja. Ya, udah Clei sekalian aja besarin masalahnya. Di mana-mana ya kayak sinetron gitu, anak pemilik sekolah mau buat masalah sebesar apa pun dimaafkan. Lah Clei? Tahu lah, pusing Clei."

Qyara menegakkan kepalanya. " Emang Abang dulu nggak begitu?"

Sehan menggeleng. "Karena abang nggak pernah bikin masalah kayak kamu. Abang nggak nakal kayak kamu."

Qyara beringsut memutar tubuhnya menghadap sandaran sofa. "Tahu akh! Emang Clei yang salah. Kenapa juga cerita sama Abang. Iya. Iya, Bang. Emang Clei yang beda sendiri. Papi sama Bang Sehan jadi kesayangan guru. Clei emang anak batu!"


Tanjung Enim, 02 Februari 2021

Hai, selamat pagi. Maafkan telat up sehari. Karena kemarin sibuk ngurusin challenge pasangan ajaib.


Yeeey... Pasangan ajaib sudah siap berjuang di GMG. Tolong dong melipir sebentar ke Lapak Sahabat ... Nikah, yuk!

Ada pengumuman di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top