3. Uang Atau Nama?
Males ngomong banyak-banyak karena kayaknya para pembaca nggak gitu tertarik sama cerita ini. Jadi, silakan baca ajalah.
Nggak mau komen atau vote pun terserah. Aku udah nggak peduli karena emang ceritaku selalu ngebosenin 'kan. Sadar diri aku mah. ┐(´ー`)┌
________
"Hai, Ket."
Pagi yang seharusnya cerah mendadak menjadi gerah dikarenakan kehadiran Jefino. Menyapa KETOS yang tengah membaca buku dengan damai di sudut kelas. Sekejap mereka beradu pandang, sebelum sosok berkacamata memilih membuang muka.
"Saya sedang sibuk. Jangan ganggu."
"Elu lagi baca buku apa?"
"Saya bilang, jangan ganggu."
"Kalo gitu, elu bagi duit sini. Janji, habis ini gue pergi."
Ketua OSIS yang menjabat sejak seminggu lalu ini tahu-tahu berdiri. "Saya akan pindah tempat saja kalau begitu."
Namun seperti selalu, setiap hendak pergi, Jefino pasti menghadang dengan tubuh tingginya. "Eits, tunggu dulu. Gue belum tau siapa nama lu, Ket."
Ket, alias KETOS, ya. Bukan Ketek, loh. Panggilan nggak spesial dari Jefino untuk sosok Ketua OSIS baru kita ini. Soalnya nggak pake karet dua.
KETOS berwajah agak judes ini mendelik risih. "Saya tidak tertarik memperkenalkan diri pada orang yang tak berkepentingan."
"Elu harusnya merasa beruntung diajak kenalan sama cowok ganteng kayak gue, loh." Jefino mengedipkan sebelah mata yang enaknya diberi tinju sekalian.
"Saya tidak peduli. Minggir."
Dalam satu kali dorongan, tubuh Jefino berhasil tergeser yang semata-mata mendatangkan decak takjub.
"Heran gue. Badan elu padahal kecil, tapi tenaga elu lumayan. Elu keturunan Hercules, ya?"
"Bukan urusan kamu."
Karena merasa terus terabaikan, Jefino nggak habis akal. Dengan nggak sabar, dia menarik buku yang sedang sang KETOS bawa. "Pinjem bentar." Merebut paksa yang lalu dinaikkan ke atas supaya nggak mampu dijangkau.
"Hei!"
Emang dalam urusan tinggi badan, KETOS kita kalah jauh dengan Jefino. Mereka memiliki perbandingan tinggi badan 22 sentimeter.
Tinggi badan Jefino: 184 sentimeter, dan KETOS hanya 162 sentimeter. Yang mana sebetulnya, tinggi badan KETOS nih terhitung normal untuk ukuran cowok di Indonesia. Si Jefino aja tuh yang tingginya kelebihan. Efek kebanyakan bergaul sama tiang jalanan.
"Oh. Nama elu Yubian Aprillio," sebut Jefino sembari membolak-balik halaman depan buku milik KETOS yang sedang memelototinya.
Begitulah, kawan-kawan pembaca semua. Sekarang kalian udah tau siapa nama tokoh KETOS kita. Meski author jelas-jelas udah menulisnya di deskripsi cerita, sih. Ya udahlah.
"Cupu Yubian Aprillio." Dengan seenak jidat Jefino mengubah nama orang lain.
"Kembalikan!" Buku di pegangan Jefino kembali Yubian rebut dan diposisikan lagi di depan dada seperti selalu. Makanya Jefino kesulitan saat ingin mengintip papan nama di seragam KETOS.
"Oh, bener juga. Elu udah kelas tiga, 'kan?" Secara sok akrab, Jefino menarik Yubian ke dalam rangkulan. "Berarti sebentar lagi jabatan elu sebagai KETOS bakal berakhir. Baguslah." Ditepuk-tepuknya bahu Yubian yang semata-mata membikin nggak nyaman.
"Siapa bilang?" Yubian membebaskan diri dari rangkulan Jefino. "Asal kamu tahu, saya akan menjadi ketua OSIS di sekolah ini sampai tiba waktu kelulusan. Sampai tahun depan."
"Mana bisa begitu!"
"Tentu bisa. Karena pihak sekolah sendiri yang menetapkan."
"Bisa-bisanya cowok kayak elu yang dipilih sebagai KETOS coba."
Yubian membenarkan letak kacamatanya. "Mereka memilih saya karena murid seperti kamu tidak bisa diandalkan sama sekali. Sana, kembali ke kelas kamu!" usirnya sambil mendorong Jefino hingga berhasil didepak dari dalam kelas. "Karena kamu tidak naik kelas tahun ini, kamu tidak seharusnya berada di sekitar sini. Mengerti?"
Pintu di tutup tepat di depan mata Jefino yang menyala murka. Tertampar oleh kata-kata pedas yang Yubian Aprillio ucapkan.
"Sialan! Susah banget malakin KETOS yang sekarang," keluh Jefino yang setelah itu berbalik. Langsung aja menadahkan tangan pada sosok murid yang lewat di depannya. "Woi, bagi duit lu sini!"
"Duit gue udah habis."
"Miskin lu!"
***
Jefino menutup tangki bensin motor miliknya. Merasa aman. Nggak khawatir motornya bakal mogok tiba-tiba seperti saat dirinya sedang balapan motor dengan preman kampung sebelah. Waktu itu, dia ada di jarak setengah meter lagi menuju garis finish, tapi mesin motornya berhenti begitu aja. Menjadikan dirinya kalah. Ditertawakan. Dan harus membayar taruhan. Hasilnya, sejak hari itu Jefino belum berani balapan lagi. Anggap aja dia trauma.
Kegiatannya di luar balapan motor dan ugal-ugalan di jalan adalah nyari angin. Keliling ke sana-kemari nggak ada tujuan. Celingak-celinguk nggak jelas sambil selalu berharap bakal nemu tukang jualan yang memasang promo "GRATIS BAGI COWOK GANTENG!" di suatu tempat.
"Nggak ada yang seru. Apa mending gue balik aja, ya?"
Semula, itu yang Jefino pikirkan. Akan tetapi, ketika matanya menangkap siluet sosok yang tampak familiar, senyumnya sontak mengembang. Tanpa berpikir dua kali, dia segera aja berbelok di pertigaan jalan. Menghampiri seseorang yang terlihat berdiri menunggu tumpangan.
"Hai, KETOS cupu!" Jefino menyapa. "Kita ketemu lagi."
Yubian mengedipkan mata berkali-kali saking nggak percaya dengan apa yang dilihat olehnya saat ini. Mendapati sosok Jefino Josandika duduk di atas motor, lalu sekonyong-konyong menghadang dia yang baru pulang dari berbelanja ke Alfa.
"Elo ngapain di sini?" tanya Yubian ketus.
Sulit dimaklumi. Gimana bisa mereka tetep bersinggungan meskipun hari ini adalah hari libur sekolah? Sangat mengganggu ketenangan.
"Waduh!" Jefino mendelik agak kaget. "KETOS kesurupan apa, nih? Ke mana perginya bahasa saya-kamu yang biasa elu pake?"
"Gue nggak butuh bicara dengan bahasa macam itu di luar wilayah sekolah."
"Oh. Cuma buat jaga imej ternyata."
"Kalo iya, kenapa? Apa urusannya sama lo?"
Jefino tersenyum sebab sedikit menyukai sisi terus terang cowok cupu di depannya kini. Kemudian dia menepuk-nepuk jok bagian belakangnya yang sobek sana-sini. "Butuh tumpangan, nggak? Biar gue anter elu pulang."
"Gue tebak, elo bakal minta duit lagi ke gue, 'kan?"
Kali ini Jefino merasa kecewa lantaran modusnya udah terendus. Alhasil dia mengubah rencana. "Nggak apa-apalah meski nggak lu kasih duit. Asal elu mau bayar gue pake tiga mie yang ada di belanjaan elu."
Plastik yang dibawa Yubian lirik. "Satu."
"Dua."
Mereka saling tatap cukup lama, sesudah itu Yubian melenggang begitu aja "Mending gue pulang jalan kaki."
"Ya udah, iya. Nggak apa-apa elu kasih gue satu mie aja!" Lengan baju Yubian ditarik. "Tapi gue mau minta mie goreng!"
Mati-matian Yubian menahan senyum; berpikir tentang betapa mudahnya membujuk cowok yang terkenal nakal ini.
"Oke, setuju. Satu mie goreng buat elo." Plastik belanjaan miliknya tahu-tahu diserahkan pada Jefino yang sontak melongo. "Mundur. Biar gue yang nyetir."
"Hah?"
"Gue bilang, gue mau nyetir. Mundur! Ini perintah dari KETOS. Elo harus nurut."
Jefino masih terpaku di jok depan. "Tapi 'kan kita lagi nggak di sekolah. Gue juga nggak bisa mempercayakan motor gue ke tangan cowok berbadan kecil kayak elu."
Yubian mendecak nggak sabar. "Banyak komentar lo. Cepetan mundur ke boncengan."
Mau nggak mau, Jefino duduk ke boncengan. Membiarkan Yubian mengambil alih kemudi. "Eh, tapi elu gak bakal bikin kita celaka, 'kan?"
Menoleh ke belakang, Yubian memberi cengiran santai. "Berdoa aja semoga elo dikasih umur panjang selama duduk di boncengan."
"ANJRIT!" pekik Jefino panik begitu mesin motor mulai dibawa melaju membelah jalanan malam.
Selama berboncengan, mereka berdua sama-sama diam. Yubian fokus melihat ke depan, sedangkan Jefino malah mengintip isi belanjaan di dalam plastik yang dipegang. Semua isinya adalah mie. Totalnya ada 10. Lima bungkus mie goreng dan lima bungkus mie rebus. Batinnya lalu mengeluhkan betapa sang KETOS pelit karena cuma bersedia memberi dia satu bungkus mie goreng aja.
"Elo lagi ngapain di sini?" Yubian bertanya sesudah melambatkan laju motor. "Nyari target buat elo palak? Atau elo diam-diam bergabung sama sindikat begal?"
"Kejam amat fitnah lu!" tukas Jefino sebal. "Gue cuma lagi jalan-jalan, ngabisin bensin. Penginnya gue jajan, tapi gue nggak punya uang."
Yubian melirik sekilas. "Elo beneran sebokek itu emangnya?"
"Iya." Napas berembus lesu. "Sehari gue cuma dapat jatah jajan 50.000."
Mendengar jawaban itu hampir membikin Yubian terjun dari atas motor. "Itu 'kan banyak, woi!"
"Iya, sih. Tapi 'kan yang 45.000 gue masukin celengan."
Yubian mendadak menggeram. "Elo minta gue lempar ke Planet Merkurius, ya. Dasar nggak guna."
"Lah, salah gue apa emangnya?"
"ELO MASIH NANYA?"
___Kalo masih tertarik baca, silakan tunggu aja bab berikutnya. Trims.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top