9# Kabar Yang Sempat Tertunda
Assalamualaikum, menyapa lagi di sini.
Ada yang nunggu?
Jangan lupa komen dan vote-nya ya.
Happy baca semuanya. ♥️
"Apa sih yang mau Fazha bicarakan? Ammi jadi penasaran?" Ilham memandang Fazha dengan telisik heran.
"Nanti dulu, kita makan dulu Ammi, tadi Fazha udah masak banyak," balas Fazha, menggiring Ilham ke meja makan.
Mereka duduk bersisihan. Fazhura hidangkan nasi ke dalam piring Ilham, beserta sayur dan lauk. Ilham menyendok nasi tidak seantusias biasanya, menimbulkan kernyit tanya di benak Fazha.
"Kenapa Ammi? Sayurnya ga enak ya?"
Ilham gelengkan kepala, "Bukan Sayang, enak kok, cuma Ammi emang lagi ga seberapa selera makan."
"Yaudah kalau ga selera ga usah dimakan Ammi!"
"Ya ga gitu juga Fazha, lagian kamu udah capek-capek masak masa ga dimakan."
"Tapi Fazha ga mau kalau masakanku dimakan cuma karena terpaksa." Entah, kenapa Fazha merasa jadi lebih sensitif saat ini. Gampang tersinggung, padahal Ilham tidak bermaksud membuatnya kesal.
"Nggak terpaksa Istri Unyu, nih Ammi habiskan semuanya."
Fazhura mengulum senyum menyaksikan Ilham kembali makan dengan lahap.
Usai makan siang, Ilham membawa Fazha ke ruang tengah. Ada pembicaraan serius yang harus dia bicarakan dengan Fazhura saat ini juga. Tidak bisa menunda lagi. Bagaimanapun Fazha sebagai istri harus tahu kalau sekarang Ilham telah kehilangan pekerjaannya. Ilham juga belum tahu apa nanti akan ada lagi firma arsitek yang mau menerimanya. Sementara dia sudah masuk daftar hitam dari perusahaan lama.
"Ammi dulu apa Fazha dulu ini yang cerita?"
"Ammi dulu deh."
Ilham anggukan kepala. Dia mulai bercerita semuanya yang terjadi di kantor. Kadang Ilham berhenti sejenak untuk buang napas, lalu melanjutkan cerita. Fazha bisa tahu jika dalam suara Ilham ada nada gusar yang merungai hatinya. Fazha tatap sendu kedua mata suaminya. Tangis mulai berjatuhan meleleh memenuhi pipi Fazhura.
"Maafin Ammi ya Sayang, gara-gara Ammi kita jadi harus pindah secepatnya dari sini." Mata Ilham edarkan seisi ruang apartemen. Begitu banyak kenangan di sini. Apartemen ini adalah hasil jerih paya Ilham dari mengumpulkan gaji sejak diterima di firma arsitek, dan kini dia harus rela melepasnya.
Fazha gelengkan kepala, "Nggak Ammi, semua bukan salahnya Ammi.
Fazha ga nyangka kenapa Kak Akbar tega berbuat kayak gini sama Ammi. Tapi Fazha yakin pasti dia punya alasan yang kuat. Ammi yang sabar ya, Fazha akan tetap berdiri di belakang Ammi, apapun keadaannya sekarang."
"Apapun alasannya, harusnya dia ga berbuat curang begini, Za. Ammi benar-benar kecewa, marah. Bukan karena perbuatannya, tapi karena Ammi sudah menganggap Akbar seperti saudara sendiri, kenapa malah nusuk dari belakang."
"Sudah ya, Ammi. Ga usah dipikirin lagi. Sekarang yang penting Ammi tenang dulu. Uang bisa dicari, tapi kalau Ammi sakit, nanti Fazha yang sedih." Satu ulasan senyum terbit di wajah Fazhura agar Ilham juga bisa lebih tenang.
Jemari Fazha usap lembut punggung Ilham, menenangkan lelaki itu.
"Sekarang giliran Fazha yang cerita ya?"
Belum sempat Ilham balas pertanyaan Fazha, di luar bel berbunyi menggema sampai dalam. Fazha berdiri, melangkah buka pintu. Di depannya persis ada Ega yang mengucap salam dengan suara lemah.
"Ega, tumben ke sini?" Tanyanya agak heran. Pasalnya sejak pindah ke apartemen Ilham, Ega hanya sekali ke sini waktu Fazha pindahan. Selebihnya temannya itu tahu diri, bahwa Fazha sudah bukan lagi anak kost layaknya dulu, Ega membatasi bertemu di apartemen, kecuali saat di kampus.
"Fazha..." Ega langsung memeluk Fazha erat. Gadis itu terisak.
"Ish, Ega kenapa sih?! Bikin bingung aja, datang-datang mewek."
"Gue boleh masuk ga?" Ucap Ega sembari menyusut hidungnya akibat tangis.
"Ga boleh!"
"Za?!"
"Lagian aneh, ya pasti boleh lah. Ceritain ada apa?"
Fazha mengajak Ega ke ruang tengah, ada Ilham duduk di sofa tunggal. Ega duduk di kursi lipat kecil. Fazha duduk di sebelah Ilham, sedang lelaki itu berdiri menuju kulkas, mengambil beberapa minuman kaleng dingin untuk Ega.
"Minum dulu Ga." Ega langsung meneguk minuman kaleng yang diberikan Ilham.
"Za, maafin kelakukan Kak Akbar ya, terutama Kak Ilham," cetus Ega menatap Fazha dan Ilham bergantian.
"Kami udah maafin dia Ga, cuma..." Fazha melirik Ilham. Lelaki itu memilih diam tanpa komentar. Fazha tahu pasti sulit baginya mengikhlaskan perbuatan Akbar.
"Tadi Kak Akbar datang ke kost. Dia udah cerita semuanya. Gue jadi benci banget sama dia, Za. Bisa-bisanya Setega itu sama kalian."
"Dia ngakuin semuanya di depan kamu?" Ilham terperanjat dengan pengakuan Ega. Dugaannya tidak salah, bahwa Akbar sengaja memanipulasi data keuangan tapi menyalahgunakan nama Ilham.
Ega anggukan kepala, "Iya Kak, dia udah cerita semuanya. Alasan dia karena bingung, ibunya sakit, kena kanker ginjal, harus segera operasi. Sedang Kak Akbar bingung harus dapat biaya darimana dalam waktu yang singkat. Dia gelap mata. Dia ambil uang itu untuk biaya operasi ibunya. Walaupun..." Ega menjeda kalimat. Mengambil napas dalam-dalam.
"Walaupun kenapa Ga?" Fazha yang menyahut. Sedang Ilham makin terkejut dengan penjelasan Ega. Bagaimana bisa dia tidak tahu kalau selama ini Akbar menyimpan kesusahan seorang diri. Padahal di luar tampak ceria, biasa-biasa saja, sering bercanda. Tidak sedikitpun terlihat beban di wajahnya. Ilham masih ingat sekali terakhir mereka bercanda saat sebelum keberangkatannya ke Surabaya kala itu. Ilham usap kepalanya dengan gerakan kasar. Ada perasaan bersalah menelusup di hati. Selama ini dia sering berkeluh kesah pada Akbar. Sering meminta bantuan lelaki itu, tapi dia sendiri malah egois tidak pernah bertanya apa temannya sedang baik-baik saja atau tidak.
"Kak Ilham, tolong jangan perkarakan Kak Akbar ke jalur hukum. Kasihan dia, sedang berduka ditinggal sama ibu, tapi secara bersamaan juga persahabatan kalian hancur. Semua memang salahnya. Mungkin ini balasan setimpal atas perbuatan nakalnya. Dia pesan sama Ega, katanya ingin sekali ketemu Kak Ilham dan minta maaf. Dia mau menjelaskan lagi sama Kak Ilham. Dia benar-benar menyesal, Kak."
"Nggak akan, Ga. Kamu tenang saja. Kami sudah mengikhlaskan semuanya. Benar kata Fazha, uang bisa dicari, tapi teman yang baik belum tentu ada lagi. Akbar orang baik, saya udah maafkan, tapi jika harus ketemu dengannya saat ini, saya belum bisa Ga. Saya takut tidak kuat menahan emosi. Biar saja begini dulu."
"Maaf ya, Kak. Padahal kalian baru aja nikah. Lagi seneng-senengnya, lagi bahagia, apalagi sekarang Fazha sedang hamil---"
"Apa, Ga?" Mata Ilham membulat sempurna dengar kalimat Ega. Fazhura mendelik ke arah Ega. Padahal tadinya ingin dia sendiri yang sampaikan kabar bahagia ini. Tapi dasarnya Ega mulutnya memang ember sekali. Suka ceplas-ceplos tidak tahu waktu.
"I-iya Kak, Fazha belum cerita ya?" Ega memandang Fazha dengan tatapan seolah ingin berkata 'maaf'
"Benar Sayang?" Toleh Ilham pada Fazha.
"I-iya, Ammi. Tadinya itu yang mau Fazha ceritain. Tapi keburu dibuka sama Ega, ish! Ga jadi surprise."
Ilham langsung menarik Fazha ke dalam dekap. Bibirnya merapal hamdalah sebanyak mungkin. Perasaannya diliputi bahagia tak terkira. Memang ya, Allah itu selalu hadirkan racun beserta penawarnya. Kabar yang baru saja diterima Ilham, ibarat tetesan air di tengah gersangnya hati oleh masalah uang dihadapi. Ada sedih, ada senang, ada kecewa, ada bahagia. Rumah tangga memang tidak selalu tentang cinta, bucin, baper dan dunia milik bersama. Tetapi menjalani dan hadapi masalah, dalam keadaan apapun, ditemani rasa syukur serta qona'ah. Semua akan terasa lebih ringan.
"Terima kasih sudah membuat Ammi tersenyum lagi. Maafkan ya, padahal kamu sedang mengandung buah cinta kita, tapi keadaanya kita sedang terpuruk begini." Bisik Ilham di sisi telinga Fazha.
"Tidak apa Ammi. Insya Allah, tidak ada masalah tanpa jalan keluar. Yang kita selalu sabar," balas Fazha mengeratkan kaitan tangannya di pinggang Ilham.
"Ekheem... Ada Ega lho di sini. Ega bukan obat nyamuk lho ya!" Sinis Ega. Fazha sontak melepas pelukan Ilham. Keduanya jadi salah tingkah, karena baru kali adegan mengharu biru disaksikan Ega. "Yaudah, Ega pamit pulang dulu. Fazha yang sabar ya, jaga kesehatan, jangan banyak pikiran. Kak Ilham, Ega pamit dulu, nanti Ega sampaikan salamnya Kak Ilham ke Kak Akbar."
Ega pamit. Fazha mengantar sampai depan pintu. Perasannya jauh lebih tenang saat ini. Meski Fazha sendiri juga didera cemas, tentang bagaimana esok mereka akan jalani hidup di ibukota tanpa penghasilan yang pasti. Sementara Ilham cerita bahwa semua tabungan dan deposito sudah dicairkan untuk mengganti rugi. Itu saja belum cukup, apartemen tempat mereka tinggal akan dilelang dengan cepat untuk menutup ganti rugi yang disodorkan perusahaan. Fazha berharap akan ada hikmah yang indah dibalik semua ujiannya kali ini. Dia percaya bahwa sehabis hujan badai, akan ada pelangi indah yang muncul.
°°°°°°°°°°°°°°°°Bersambung°°°°°°°°°°°°°°°
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top