Berikan apresiasi berupa vote dan komentar. Jika dirasa cerita ini layak mendapatkan-nya.
Happy baca semuanya.
**********************************
.
"Ega ish! Kita mau ngapain sih?"
"Berisik Lo, Zha. Udah sana cobain ini, ditest."
Fazhura terperanjat menatap benda yang disodorkan Ega padanya. Benda yang baru dikeluarkan dari bungkusnya itu berbentuk panjang serta pipih. Yang Fazhura tahu itu adalah alat tes kehamilan, cara menggunakannya dicelupkan ke dalam urine yang baru ditampung dalam wadah khusus. Tetapi yang membuat Fazha tercengang, kenapa ia tidak menyadari ada yang aneh dalam diri. Justru Ega yang lebih peka melihat gelagatnya yang akhir-akhir ini sering kurang enak badan.
"Ga, apa ini maksudnya aku...?" Fazhura tersekat. Antara percaya dan tidak percaya.
"Fazhura kelamaan sih. Buruan dong dites biar tahu hasilnya." Ega malah yang terlihat sudah tidak sabar. Tangannya mendorong pelan agar Fazha cepat masuk ke dalam toilet yang ada di apotek ini. Fazha menurut. Ia melengang dengan perasaan campur-aduk.
Lima belas menit di dalam, akhirnya Fazha keluar dengan wajah tertunduk. Sulit ditebak. Ega jadi bingung sendiri, "Zha gimana?" Tanyanya penasaran.
Fazhura mengangsurkan benda pipih di tangan pada Ega.
Sejenak mengamati, lalu Ega setengah berteriak. Histeris sendiri saat melihat dua garis merah berjejer rapi di sana. Garis yang bagian atas terlihat jelas. Yang bagian bawah agak samar, tapi sudah ketahuan kalau itu hasilnya positif. "Yaa ampun Fazhura. Selamat!!!" Ega memeluk Fazha erat saat mengucapakan selamat.
"Ga, ini beneran aku hamil?"
"Boongan Fazha. Yaiyalah beneran, masa boongan sih. Kalau kurang yakin kita tanya sama pegawai apoteknya saja gimana?"
Fazha menggeleng. Ia bisa melihat raut Ega yang sangat serius. Fazha malah berkaca-kaca. Haru merasuki perasaannya.
"Makasih Ga, aku masih belum menyangka kalau secepat ini."
"Udah ga usah dipikirin. Kalau udah nikah, ya mau nunggu apa lagi. Udah rezekinya Fazhura."
"Iya, maksudnya aku seneng bisa secepatnya ini Ga."
"Yaudah, sekarang gue anter Lo pulang ya. Jangan banyak pikiran, harus banyak makan, Zha."
Fazha mengangguk setuju dengan pendapat Ega. Ia sudah tidak sabar ingin membagi kabar ini pada Ilham. Penasaran juga bagaimana nanti reaksi lelaki itu saat tahu kalau Fazhura sedang mengandung anaknya.
****
Ilham merasa emosinya memuncak. Orang yang selama ini dianggap seperti saudara baginya, ternyata menusuk dari belakang. Iya. Akbar melakukan tindakan di luar batas. Kali ini Ilham tidak bisa memaafkan sikap Akbar yang terang-terangan berkhianat.
Ilham melayangkan tangan dengan gerakan meninju ke awang-awang. Bathinnya kesal luar biasa. Lebih dari sekadar sakit hati, saat kau dikhianati oleh orang terdekatmu. Kenapa harus Akbar. Dia bahkan sudah dianggap seperti adik oleh Ilham.
Bagaimana nanti dia akan menjelaskan pada Fazha. Cepat atau lambat pasti keluarga besarnya juga akan tahu masalah yang menimpahnya saat ini.
Pukul empat sore. Sejak diusir dari kantor firma arsitek tadi, Ilham tidak langsung pulang. Dia singgah di kafe setelah berputar-putar dengan mobilnya tanpa arah tujuan yang jelas. Satu cangkir espresso dipesan Ilham. Uap yang mengepul dari kopi yang masih panas, disertai bau harum dari ekstraksi kopi murni, membuat Ilham memejamkan mata setiap indera penciuman-nya menghidu aroma tersebut.
Benak Ilham kembali memutar kalimat Pak Anwar-tentang dia yang harus mengganti kerugian perusahaan. Lagipula kenapa bisa langsung dituduh tanpa azaz praduga tak bersalah. Harusnya kan tabbayun dulu, klarifikasi dulu. Namun lain dengan yang Ilham alami. Dicecar habis-habisan tanpa diberi kesempatan membela diri.
***
"Assalamualaikum..." Membuka pintu dengan wajah lesu, Ilham melengang masuk apartemen.
"Wa'alaikumussalam Ammiiiii." Lain Fazha malah antusias menyambut Ilham. Senyum terbit di wajah manisnya. "Ammi, laper enggak? Fazha udah masak lho, makan yuk. Oh iya, Ammi mau dibikinkan teh apa kopi? Ammi, aku..."
"Fazha bisa diam dulu enggak! Ammi lagi pusing, kamu malah cerewet sekali!" Reflek. Kalimat Ilham terdengar seperti sebuah bentakan. Fazha mengatupkan bibirnya rapat. Tanpa sepatah-kata Fazhura melengang, meninggalkan Ilham sendiri di ruang tamu.
Fazhura memasuki kamar. Mengunci pintunya dari dalam. Bahunya naik-turun menghalau tangis yang pecah. Kenapa dengan Ilham itu. Padahal Fazha bertanya baik-baik. Niatnya baik, hanya ingin berbakti pada suami dengan perhatiannya. Reaksi Ilham di luar nalar Fazha. Selama kenal dan dekat dengan lelaki itu, baru kali ini Fazha mendapati Ilham terlihat sangat marah. Meraba-raba apa kesalahannya hingga membuat lelaki itu murka.
Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Suara Ilham juga menggaung merayu agar Fazha membuka pintu. Masih sangat kesal. Fazha tidak menyahut.
"Fazha Sayang, maafin Ammi ya. Fazha, buka pintunya ya Sayang. Ammi minta maaf." Bujuk Ilham dari balik pintu. Hening dari dalam. Tidak ada suara balasan. Ilham menghela napas panjang. Harusnya dia paham, bahwa perempuan itu memang makhluk yang kuat, tapi dengan sekali bentakan saja, ia bisa menjadi hancur berkeping-keping.
Fazhura menyeka kedua pipi yang terus dialiri derasnya airmata. Harusnya saat ini ia membagikan kabar baik pada Ilham.
Lelaki itu tidak tahu bahwa ada sesuatu yang membahagiakan untuk di dengar. Apa lacur, belum sempat bercerita, malah Fazha mendapat tatapan sinis Ilham. Apa salahnya. Kenapa jika ada masalah dalam pekerjaan, harus dibawa pulang ke rumah. Melampiaskan pada orang rumah apa bisa membantu meringankan masalahnya.
Fazha juga merasa kesalnya belum hilang. Karenanya ia enggan menjawab kalimat Ilham.
Padahal niatnya baik. Ingin memberi perhatian serta menjalankan kewajiban dengan sepenuh hati.
"Fazha harus ingat ya, apapun yang terjadi, selama suami kita itu baik, seorang istri tidak boleh diam saat ditanya atau diajak bicara suami. Sama saja durhaka." Nasihat Ummi Illyana kembali merasuk ke dalam benak Fazha. Tangisnya malah pecah. Serba salah. Jika terus saja diam, apa iya itu artinya ia durhaka terhadap suami. Namun kerongkongannya masih berat untuk berucap saat teringat kalimat kasar yang Ilham lontarkan tadi.
"Fazha Sayang, kalau kamu mau maafin Ammi, buka pintunya sekarang. Kalau masih nggak mau juga, lebih baik Ammi pergi dulu. Biar kamu tenang dulu." Lagi, Ilham bermonolog memberi peringatan. Fazha menyusut hidungnya yang memerah karena tangis, kakinya sontak melangkah menuju pintu. Memutar anak kunci kemudian ditekannya handel pintu agar terbuka lebar.
"Ammi..." Lirih Fazha.
"Fazha, maafin Ammi." Ilham langsung mendekap Fazhura erat. Bathinnya juga merasa sakit setiap kali melihat Fazha harus tersakiti seperti saat ini. Dia benar-benar menyesal. Harusnya apapun masalah di kantor, tidak patut melampiaskan pada sang istri. Padahal tadi Ilham sudah banyak merangkai kalimat agar tidak terlihat mencurigakan di depan Fazha. Namun suasana hati yang kacau tetap tidak bisa disembunyikan. Emosinya tersulut juga mendengar rentetan kalimat Fazha yang menggebu. Dia butuh ketenangan sejenak. Hanya ingin sendiri saja, tanpa ditanya ini dan itu. Namun Ilham lupa bahwa perempuan itu memang diciptakan untuk cerewet. Sudah fitrahnya begitu. Kalaupun ada yang pendiam di depan orang lain, pasti di depan orang terdekatnya-lah mereka bisa meluapkan perasaan.
"Ammi, maafin aku. Aku salah, padahal Ammi capek barubpulang kerja, aku malah banyak tanya. " Fazhura telah berhasil melawan egonya. Kalimat maaf meluncur lebih dulu dari bibirnya.
Ilham merenggangkan dekapan, kedua tangan menangkap pipi Fazha, "Bukan kamu, harusnya Ammi yang minta maaf. Harusnya Ammi bisa nahan emosi. Maafin Ammi ya," ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
Fazha mengangguk sebagai jawaban. Ada perasaan lega meruangi hati keduanya saat kesalahpahaman bisa diatasi.
"Senyumnya mana, kalau udah maafin Ammi?" Jari Ilham menjentik dagu Fazha, menatap ke dalam matanya, seolah ingin membuktikan jika istrinya itu sudah tidak marah. Fazha tersenyum lebar. Memamerkan deretan gigi putihnya.
"Apa kayangan buka cabang di sini ya, Zha?" Jailnya Ilham itu memang tidak bisa sirna rupanya. Baru juga baikan, sudah keluar saja sifat usilnya.
"Maksudnya Ammi?"
"Iya, ini di depan Ammi kok ada bidadari yang cantiknya Masya Allah, apalagi kalau senyum gini. Sejak kapan kayangan buka cabang di mari." Satu cubitan kecil mendarat di pinggang lelaki itu. Ada-ada saja. Fazhura tidak bisa menahan tawa saat kejailan Ilham sudah mencuat. Lelaki itu selalu punya cara tersendiri untuk menunjukkan sisi romantisnya.
"Udahan gombalnya. Sekarang boleh kan, kalau Ammi ceritain, ada apa sebenarnya?"
Geming. Ilham menatap Fazha dengan perasaan campur aduk. Otaknya kembali disibukkan dengan rangkaian kalimat apa yang harus dia lontarkan sebagai pembuka. Bagaimanapun Fazha harus tahu masalah yang sedang menderanya. Ilham telah kehilangan pekerjaan. Lebih dari itu, gugatan perdata juga telah menanti di depan mata. Ilham harus mengganti kerugian perusahaan yang bahkan dia sendiri tidak tahu apapun.
"Iya, Ammi akan cerita semua. Kita duduk di sana, biar kamu bisa lebih tenang saat mendengar cerita Ammi nanti." Ilham menunjuk sofa yang ada di sebelah jendela kamar. Keduanya melangkah ke sana.
"Ammi, sebenarnya ada yang mau Fazha bicarakan juga sama Ammi." Fazhura meraba perutnya saat berucap. Rasa kesalnya sudah menguap ketika ingat jika sekarang ada kehidupan di dalam perutnya.
"Apa itu, Sayang?"
"Ammi dulu saja yang cerita, baru nanti gantian aku."
"Bikin penasaran saja, Sayang."
"Ammi juga."
Wajah Ilham berubah sendu. Ada buncah yang ingin meluap memenuhi hati. Apa dia sanggup menyaksikan wajah kecewa Fazha setelah mendengar ungkapan masalahnya.
**************KTMCK***************
Sebentar lagi give away berhadiah novel Tahajjud Cinta. Jangan sampai ketinggalan ya.
09-01-2020
Tabik...
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top