6# Rutinitas Baru

Bersenandung kecil, Fazha takdzim memotong sayuran kecil-kecil. Ada buncis, wortel juga kentang. Rencananya Fazha ingin memasak sup sayur ditambah potongan iga sapi. Kebetulan kemarin Ilham pulang kantor membawa satu kresek besar belanjaan. Ada daging ayam fillet, sayur, serta keperluan dapur lainnya.

Padahal siangnya sepulang ngampus Fazhura sudah belanja lumayan banyak, tapi Ilham menambahi. Lelaki itu bilang ingin makan sup iga dan sambal bawang yang pedas.

Fazha sibuk memasukkan potongan sayur ke dalam air kaldu yang mendidih. Juga menambahkan potongan iga yang sebelumnya telah dipresto lebih dulu. Melirik jam di tangan, masih pukul enam lebih lima menit. Setelah ini selesei Fazhura akan bersiap-siap, mandi, sarapan bersama Ilham dan berangkat ke kampus.

Rutinitas baru yang mengasyikkan bagi Fazha. Dia sudah tidak kaget dengan kegiatan rumah tangga, seperti bangun subuh, turun ke dapur bakda shalat subuh, atau membuatkan Ilham kopi dan cemilan. Seperti pagi ini, secangkir kopi dan sepiring pisang goreng sudah tersaji menemani lelaki itu membaca portal berita online.

Fazha merapal hamdalah saat semua makanan sudah tersaji di atas meja makan. Sup iga yang masih mengepulkan asap panas, lalu semangkuk gorengan emping belinjo, dan juga sambal bawang. Tidak ketinggalan tempe dan tahu goreng.

"Ammi, Fazha mau mandi dulu. Sarapannya udah siap di meja kalau Ammi mau duluan makan," titah Fazha saat melewati ruang televisi tempat Ilham duduk saat ini.

"Nanti aja Sayang, bareng kamu. Masa iya udah punya istri masih makan sendiri. Enggak asyik dong." Kelakar Ilham.

Tiga puluh menit Fazha telah kembali dengan tampilan lebih segar. Gamis berwarna nude dipadu Khimar berwarna navy, Fazha terlihat cantik dan manis. Ekor mata Fazha membeliak saat menyaksikan Ilham malah masih asyik rebahan di sofa dengan gawai di tangan, "Ammi kok belum siap-siap sih?"

"Eh, iya, bentaran. Ini lagi baca berita yang viral, soal demo RUU."

"Udah sih, bantu doa aja. Enggak usah ikut-ikutan latah berkomentar Ammi. Tau sendiri kan, netijen jaman now itu gampang tersulut."

"Ya lagian siapa yang koment, Ammi cuma baca aja kok. Salut sama adik-adik mahasiswa yang berani dan lantang menyuarakan aspirasi rakyat."

"Nah, kalau Fazha yang ikutan demo gimana Ammi?"

"Jangan macam-macam kamu ya. Enggak ada demo-demoan. Pulang ngampus langsung pulang."

Fazha terkikik melihat ekspresi Ilham yang mencak-mencak, " Aku ikutan demi nanti ya."

"Fazhura Althafunissa! Dengerin kalau suaminya ngomong. Jangan ikut-ikutan demo lho ya."

"Iya, enggak ish, aku demonya di hati Ammi aja. Ammi ini, siap-siap sana, nanti kena macet lho."

Ilham mengangguk kemudian menyeret langkah ke kamar. Sembari menunggu Ilham siap-siap, Fazhura menata bekal untuk makan siang suaminya nanti di kantor. Sudah beberapa hari ini Ilham merengek minta dibawakan bekal untuk makans siang. Dia bilang lebih enak masakan Fazha daripada beli di kantin. Fazha tidak keberatan, malah dia senang karena berkutat di dapur merupakan salah satu hobinya sejak dulu.

"Ammi....!" Fazha setengah histeris melihat Ilham muncul di ruang makan. Lelaki itu bergeming.

"Apasih Istri Unyu, bikin kaget aja."

"Munduran dikit sih Ammi!" Seru Fazha dengan kedua mata menatap serius pada Ilham.

Ilham yang belum paham maksud Fazha menurut. Lelaki itu menyeret kaki beberapa langkah ke belakang sembari ekor matanya melirik Fazha dengan tatapan bingung, "Kenapa sih?"

"Gantengnya kelewatan Ammi." Fazhura meledakkan tawa. Disusul Ilham yang ikut mengulas senyum.

"Dasar genit."

Fazhura tidak bisa menampik pesona Ilham. Lelaki itu terlihat sangat dewasa dan juga tampan. Mengenakan kemeja panjang uang digulung seperempat, lalu dalaman kaos hitam, juga sepatu pantofel model kekinian. Belum lagi rambut yang disir rapi dengan jambang halus di sekitar rahangnya. Halah. Fazha rasanya tidak akan rela jika ada mata lain yang memandang takjub pada Ilham.

"Sejak kapan sih Fazhura jadi suka gombal begini. Awas aja kalau sampai gombalin kakak senior di kampus."

"Apaansih, mana ada. Jangan-jangan Ammi itu yang suka gombalin cewek-cewek di kantor. Hayo ngaku."

"Ammi emang suka gombal."

"Tuh, kan!"

"Tapi gombalnya cuma sama Istri Unyu, enggak ada yang lain."

Fazha tidak bisa berhenti melengkungkan senyum. Ilham memang paling bisa membuatnya merasa sangat diistimewakan. Awal yang menyenangkan menjalani rutinitas baru sebagai istri dan juga mahasiswa. Tidak seriweh yang dia pikirkan.
***

Ritual santap pagi telah usai, Ilham mengantar Fazha ke kampus dan lelaki itu langsung melengang ke kantor firma arsitek tempatnya bekerja. Usai memarkir mobil, Ilham menganyun langkah menyusuri lobby kantor.

Sampai di koridor, Ilham melangkah dengan bersenandung kecil. Dilihatnya Akbar juga sedang menuju kubikel mereka. Ilham setengah berteriak, "Akbar Supriyadi! Woey..." Panggilnya pada Akbar, tapi yang dipanggil tidak menoleh sedikit pun.

Sampai di kubikelnya, Ilham segera meletakkan tas ransel, kemudian menghampiri Akbar, "Bar, kenapa Lo? Lemes amat. Sarapan dulu sana," ujar Ilham. Akbar hanya membalas dengan ulasan senyum tipis.

"Udah kenyang Ham, tadi udah sarapan."

"Jadi, Lo ngekost di mana sekarang, Bar?" Ilham baru ingat jika dia belum sempat tahu di mana sekarang Akbar tinggal.

"Deket sini aja, Ham," jawab Akbar singkat. "Ham, sorry ya, gue mau fokus ngerjain tugas dari Pak Anwar." Akbar membuka komputer pipihnya, Ilham yang paham angut-angut dan meninggalkan kubikel Akbar. Masih merasa aneh dengan sikap Akbar yang tidak seperti biasanya.

Ilham yang telah kembali ke kubikelnya saat ini juga sedang sibuk dengan laptop. Membuka beberapa desain yang belum selesei ia kerjakan.  Tadi Alexa mengabari lewat sambungan telepon kalau siang ini akan ada meeting dengan klien. Kali ini Ilham menangani klien yang ingin memakai jasa untuk penataan ruang kantor. Menentukan konsep desain, tata letak serta menghitung biaya konstruksi yang dibutuhkan adalah  beberapa tugas seorang arsitek. Tentu masih banyak lagi, tugas lain yang berkaitan dengan desain dan apa yang klien mau.

Pukul sepuluh Ilham sudah siap dengan beberapa proposal yang akan dibawa meeting. Mengira bahwa meeting kali ini diadakan di luar kantor, nyatanya salah besar. Justru Pak Anwar meminta Ilham, Akbar dan beberapa staf lain berkumpul di ruang presentasi.

Ilham melangkah sendiri, karena Akbar sudah lebih dulu melengang ke sana beberapa menit lalu. Ekor mata Ilham melirik seisi ruangan. Tampak tegang. Semua dalam diam masing-masing.

"Ilham, saya rasa kamu yang paling paham soal ini." Baru akan duduk, Pak Anwar- boss-nya melempar proposal tepat di meja Ilham.

"Sebentar Pak, saya pelajari dulu."

"Itu berkas lama klien kita. Proposal itu kamu kan yang mengajukan beberapa waktu lalu sebelum cuti?" Ilham nampak berpikir sejenak. Membuka lembaran kertas putih itu, dan dia menjawab tanya Pak Anwar dengan anggukan. Iya betul, itu adalah proyek yang dia akan tangani beberapa waktu lalu sebelum cuti menikah. Proyek  desain pembangunan sebuah apartemen milik salah satu klien di firma arsitek ini.

"Betul Pak, ini proyek dua bulan lalu. Bukannya sudah mulai pengerjaan?" Ilham melirik Akbar. Pasalnya sebelum mengambil cuti, Ilham telah melimpahkan tanggung jawab itu pada Akbar. Dia percaya sepenuhnya kalau Akbar pasti bisa menangani selama dia tidak di sini.

"Sekarang jelaskan sama saya, Ilham. Dana yang sudah diajukan oleh PT Mekar Jaya, dialokasikan ke mana?" Pak Anwar menatap tajam pada Ilham. Baru kali ini Ilham merasa seperti diintimidasi. Dia malah menggeleng bingung. Tidak tahu menahu soal dana itu. Setahu dia dana tersebut sudah masuk ke perusahaan dan sedang dalam proses pengerjaan.

"Maaf Pak, bukannya dana tersebut sudah masuk ke anggaran perusahaan?"

"Kalau dana itu sudah ada dan masuk ke anggaran perusahaan, tentu saya tidak akan mengumpulkan kalian semua di sini."

Ilham melirik Akbar. Temannya itu lebih banyak diam sejak tadi. Padahal biasanya Akbar yang paling ramai saat meeting begini. Ilham tidak bisa menjawab pertanyaan Pak Anwar, dia benar-benar diambang kebingungan. Sebagai arsitek yang memegang Standar Kompetensi Arsitektur, sudah menjadi tugasnya untuk transparan dan terbuka tentang semua yang menyangkut proyek yang sedang dikerjakan.

"PT. Mekar Jaya telah membayar 50% di muka untuk proyek ini, tapi yang saya heran, dana itu raib entah ke mana. Sebelum saya melakukan audit, untuk itu saya kumpulan kalian semua di sini, terutama kamu, Ilham, yang bertanggung jawab atas proyek ini."

"Saya minta waktu Pak, untuk mencari tahu soal masalah ini. Segera saya beri laporannya ke Pak Anwar. Saya siap menerima resiko apapun kalau seandainya nanti gagal dalam mengusut kasus ini." Ilham menunduk saat bicara. Menandakan jika dia merasa bersalah, tidak berani menatap lawan bicaranya. Rutinitas uang baru dijalani beberapa waktu di kantor, memberinya kejutan tak terkira. Satu saat ini yang memenuhi benak Ilham, itu adalah Akbar.
***

Fazhura mengayun langkah menuju apartemen. Pukul empat sore dia tiba di rumah setelah menumpang taksi online. Tadi Ilham sempat menelpon dan mengabari jika malam ini kemungkinan lembur dan pulang malam.

Usai mandi dan shalat ashar, Fazhura bergegas ke dapur. Ingin memasak untuk makan malam. Sudah paham meskipun lembur, pasti Ilham itu akan menyempatkan makan di rumah. Makanya Fazha harus menyiapkan sesuatu.

Membuka kulkas, ada beberapa jenis sayur yang kemarin dibeli untuk stok. Fazha memilih kangkung. Kemudian mengeluarkan ayam fillet yang dikemas dalam sterefoam. Rencananya ingin membuat tumis kangkung saus tiram dan ayam goreng tepung.

Satu jam berkutat di dapur dan Fazha telah usai dengan hasil jerih tangannya. Sembari menunggu Ilham pulang, Fazha bersiap untuk menunaikan magrib. Jam sudah mengarah ke pukul lima lebih tiga puluh menit, itu berarti waktu kumandang adzan magrib sebentar lagi menggema.
************ Bersambung***********

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top