10# Lapang Hati




Gemericik air langit menjadi alunan penghantar  subuh. Petang masih melintang, ditambah mendung dan hujan, menambah pekat suasana hening. Sayup-sayup dari masjid yang ada di seberang apartemen terdengar lantunan azan subuh. Gemanya sampai ke kamar Ilham yang sengaja jendelanya dia buka sejak bangun pukul tiga dini hari tadi.

Ilham ingin langkahkan kaki guna membasuh badan dan mengambil wudhu. Ekor matanya lirik di sebelah, Fazha masih meringkuk memeluk guling. Tangan Ilham terulur usap lembut gerai rambut Fazha guna bangunkan. Fazha kucek matanya sejenak, kemudian duduk menyandar di kepala ranjang.

"Subuh Sayang," ucapnya berbisik pelan lalu melengang. Membiarkan Fazha yang masih mengumpulkan nyawa.

Ilham gelar dua sajadah di lantai kamar yang beralas karpet bulu rafsur, sembari menunggu Fazha bersiap.

"Ammi takut sekali," ucap Ilham tiba-tiba. Kedua netranya menatap lekat manik mata Fazhura.

"Takut apa, Ammi?"

"Takut ga bisa bahagiain kamu. Terus nanti apa kata Ghaly sama Illyana? Apa mereka bakal ngambil kamu dati sisi Ammi?"

"Ammi ini suudzan saja. Biasanya juga selalu ngajarin Fazha buat selaku berprasangka yang baik-baik, kenapa sendirinya sekarang malah berpikir yang ga baik."

"Maaf Za, tapi Ammi sungguh takut."

"Ammi takut hidup susah?"

Ilham gelengkan kepala, bukan itu yang dia takutkan. Tetapi kalau sampai keluarga besarnya tahu tentang masalah yang kini menimpah, terutama Ghaly. Sebagai wali Fazha, apa mungkin Ghaly dan Illyana akan biarkan putri mereka hidup sengsara bersama Ilham.

"Ammi cuma takut kamu pergi dari sisi Ammi, itu saja. Ammi tidak takut hidup susah, tapi tidak mau kalau sampai kamu juga ikut susah nantinya. Lalu, apa kamu bisa merasakan bahagia, kalau untuk tempat tinggal saja sekarang kita belum tahu mau ke mana?"

"Ammi, bahagia itu letaknya di sini." Fazhura menunjuk dadanya dengan kedua tangan. "Bahagia itu letaknya di hati, dan hati itu milik Allah, maka Fazha akan selalu berdoa agar senantiasa diberikan kebahagian bersama suami Fazha. Bahagia bukan karena harta, bukan semata karena cinta. Tapi karena ketaatan. Ummi dan Abi juga pernah berada di situasi rumit, tapi mereka bisa menghadapi sama-sama, karena mereka taat. Ammi ga usah khawatir. Hari esok siapa yang tahu? Selama kita masih punya kaki, masih bisa melangkah dan berusaha."

Ilham tak sanggup berkata-kata. Bibirnya kelu oleh kalimat Fazha yang menohok. Fazhura yang lebih muda darinya saja bisa berpikir sangat dewasa, sedang Ilham malah terlihat sedikit terpuruk. Ada rasa malu menelusup dalam hati lelaki itu. Mau disesaki seperti apapun juga semua sudah menjadi jalanNya. Qodarullah wa masya'afaala, semua yang terjadi di dunia sudah atas kehendak-Nya.

"Maaf ya Sayang," sejak kemarin hanya kalimat maaf yang terukir dari bibir Ilham. Fazha sampai bosan dengarnya.

"Maaf terus sih. Kan Ammi ga salah apa-apa. Sudah ya, Ammi jangan putus-asa. Hilang satu, tumbuh seribu. Pintu rezeki ada banyak, jangan bergantung sama satu saja."

"Asal bukan cinta yang hilang ya, Za." Sedikit ulasan senyum muncul dari wajah Ilham. Fazha ikut terkekeh, akhirnya lelakinya sudah bisa tersenyum lagi pagi ini. Itu lebih baik, daripada hadapi masalah dengan wajah tegang, setidaknya dengan senyuman semakin menambah rasa optimis di hati.

"Ammi mau dibuatkan kopi?" Tawar Fazha. Sudah jadi rutinitas Ilham setiap pagi harus menghidu kopi sebel berangkat kerja. Ilham itu pecandu kopi berat, walau dia bukan perokok.

"Teh hangat saja ya, lagi males ngopi. Jadi keinget sama kerjaan."

Fazha cuma anggukan kepala, sejurus beranjak turun ke dapur. Membuatkan pesanan Ilham. Menyeduh teh di atas cangkir, lalu menuangkan gula rendah kalori dan mengaduknya. Fazha tidak lekas membawa teh pada Ilham, tapi tangannya beralih membuka kulkas. Kosong. Stok sayur sudah habis, terakhir dimasak kemarin sore. Di frezer juga tidak ada ikan atau bahan protein yang bisa diolah. Hanya ada satu bungkus nugget berukuran 250gram. Fazha keluarkan dari frezer agar gumpalan esnya mencair.

"Ammi ini teh-nya." Fazha menghidangkan teh pada Ilham di kamar mereka. "Ammi ngapain?" Dilihatnya Ilham sedang membereskan lemari nakas yang ada di samping tempat tidur. Ada buku-buku dan alat tulis yang dia masukkan ke dalam tas besar. Termasuk beberapa maket yang belum selesei didesain.

"Ini lagi nyicil beberes. Barusan tadi ada telpon dari developer, mau ada yang lihat-lihat apartemen." Tatapan Ilham menyendu. Terlihat sekali kalau sebenarnya dia sangat berat melangkah pergi dari tempat ini.

"Ammi, apa ga sebaiknya kita kasih tahu Abi sama ummi? Siapa tahu mereka bis bantu, trus apartemen-nya ga jadi dijual."

"Jangan Sayang! Ammi ga mau merepotkan Abi sama ummi. Apa kata mereka nanti, kalau sampai tahu sekarang kamu terancam hidup susah sama Ammi."

"Tapi Ammi---"

"Tolong Sayang, kali ini saja. Ammi sudah ikhlas kok, melepas apartemen ini."

Fazhura diam. Kalau Ilham sudah berkeras tidak ingin Abi dan ummi tahu, Fazha tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia hanya bisa pasrah mengikuti kemauan Ilham.

"Kamu siap-siap ya, habis ini kita keluar."

"Tapi Fazha mau masak buat sarapan."

"Nggak usah masak dulu ya Sayang, nanti kita makan di luar saja. Ammi mau ajak Fazha cari kontrakan buat kita pindah nanti."

"Ammi, kontraknya di tempat kost lama Fazha gimana?" Cetus Fazha memberi ide. Fazha juga senang kalau bisa tinggal berdekatan lagi dengan Ega.

Ilham gelengkan kepala, "Ammi sudah telpon yang punya kost-an, katanya enggak ada tempat kosong di sana, Za. Kita cari yang lain saja. Yang dekat-dekat sini. Biar kamu juga ga jauh-jauh nanti ke kampusnya."

Kalimat Ilham yang menyinggung soal kampus membuat Fazha teringat sesuatu. Kemarin baru saja mendapat surat tagihan pembayaran uang semester. Bagian admin mengatakan kalau Fazhura belum melunasi tunggakan semester, dia tidak bisa mengikuti ujian. Fazha jadi bingung, ingin bilang pada Ilham, tapi keadaan keuangan mereka sedang tidak baik-baik saja.

"Sayang, kenapa ngelamun?" Tegur Ilham. Fazha menggeleng sepintas, "Nggak kok Ammi, Fazha mau siap-siap dulu ya."

Fazhura sudah siap dengan setelan gamis berwarna biru pirus, berkerudung senada. Di lengannya ada tas selempang bertengger manis. Sepatu flatshoes dipilih karena Fazha memang sudah nyaman dengan sepatu model tanpa hak tersebut. Ilham juga sudah siap dengan poloshirt dan celana jeans biru gelap.

"Ammi, kita naik apa perginya?" Tanya Fazha. Dan, Ilham baru ingat kalau mobil inventaris kantor sudah ditarik sejak kemarin.

"Pesan taksi online saja ya."

"Ga usah, Ammi. Naik angkot saja yuk."

"Jangan Sayang bahaya, kalau nanti desak-desakan di dalam angkot gimana? Kasihan dong anak kita." Dari kalimatnya Fazha bisa menangkap raut cemas berlebihan yang Ilham siratkan.

"Kalau gitu jalan kaki aja, Ammi. Hitung-hitung sambil olahraga."

"Jangan ngawur, mana ada orang hamil olahraga. Bahaya Sayang."

"Yaudah kalau gitu Ammi yang jalan, Fazha gendong." Canda Fazha. Ilham langsung memencet pangkal hidung Fazhura, sejurus angkat tubuh mungil Fazha sampai ia berteriak, terpekik kaget. Satu hal yang tidak akan pernah mereka lewatkan adalah bercanda serta menjalili satu sama lain.

Mereka memutuskan benar-benar jalan kaki hari ini. Ilham tidak jadi memesan kasi online, ikuti kemauan Fazha.

"Ammi, haus." Fazha merasa tenggorokannya kering. Sudah berjalan lumayan jauh, dan sekarang perutnya juga terasa perih.

"Astaghfirullah lupa, kan kita belum sarapan ya. Kamu mau makan apa Sayang? Cari minum sekalian makan ya."

"Apa aja Ammi. Minum air mineral saja deh."

Ilham mengajak Fazha ke sebuah warung soto. Tempatnya seperti depot. Rapi dan bersih. Dia memesan dua porsi nasi soto ayam, ditambah segelas teh hangat dan air mineral. Fazha makan dengan lahap.

Usai mengisi perut, berdua kembali merajut tangan meniti jalanan. Dari satu gang ke gang lain. Setiap ada warga atau orang mereka tanya, apa ada kontrakan di daerah sini. Peluh menetes di dahi. Kadang Ilham usap lembut kening Fazha yang mengkilat basah oleh keringat.

Melengok ke seberang jalan, ekor mata Fazhura amati bangunan tak asing. Ada restoran Jepang favorit Fazha, sontak liurnya tertelan saat Fazhura merasa ingin sekali makan sushi, namun harus ditahan untuk saat ini. Fazha usap perutnya pelan, seperti mengajak bicara calon anaknya tapi hanya dalam hati.

"Capek?" Tanya Ilham.

"Nggak kok."

"Beneran?"

"Iya, lanjut aja Ammi, sampai dapat kontrakan. Biar kita juga bisa cepat pindahan."

Di saat seperti ini Ilham ingin sekali membawa Fazhura pulang ke Surabaya. Tapi keadaan membatasinya. Ilham tidak mau dicap sebagai pecundang, baru diuji begini saja sudah masa sudah ingin menyerah. Sebagai kepala keluarga, sikapnya harus tegar, berlapang hati menjalani kehidupannya yang sekarang.

Matahari tengah meninggi. Terpaan sinarnya menyengat kulit. Buliran peluh makin menderas di kening Fazha dan Ilham. Keduanya tak patah semangat, bertanya dan terus bertanya, akhirnya membuahkan hasil. Bertemu dengan pemilik kontrakan yang kebetulan  ada salah satu rumah sedang kosong.
Rumah minimalis tipe 36 dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi, dan dapur di bagian belakang. Bangunannya agak usang, mungkin karena lama tidak ditempati. Fazha lihat cat di dinding sudah banyak yang mengelupas.

"Kosong baru sebulanan lebih, kemarin ada yang menempati tapi sudah pindah ke Jawa orangnya." Pemilik kontrakan menjelaskan. "Memang kondisinya ya begini ini, rumah lawas, tinggalan almarhum bapak saya. Tapi Mas dan Mbak ga usah khawatir, biar dikata jelek begini, rumah masih layak huni dah. Air ledeng juga lancar jaya di mari," Pak Husni sang pemilik kontrakan menyambung penjelasan dengan lenggok Betawi yang kental.  Fazha dan Ilham cuma anggukan kepala setiap kali Pak Husni menerangkan.

Setelah membayar sewa rumah sesuai kesepakatan, Ilham dan Fazha pamit pulang. Mereka rencananya akan segera berkemas. Membawa barang yang dibutuhkan saja. Sedang isi apartemen, seperti king size bed, kitten set dan lain-lain dijual beserta apartemennya.

"Gimana Sayang?" Lontar Ilham pada Fazha. Keduanya kembali merajut tangan menyusuri jalan untuk kembali. Panas makin terasa bercampur udara lembab. Sesekali mereka berhenti untuk sekadar duduk melepas penat.

"Lumayan, suka kok. Enak rumahnya kecil, jadi ga capek bersihinnya," jawab Fazha memasang wajah ceria. Ilham balas dengan ulasan senyum. Ilham tahu, meski tampakkan wajah ceria, tapi tidak bisa sembunyikan gurat sendu di mata Fazha.

°°°°°°°°°°°°°°°°Bersambung°°°°°°°°°°°°°

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top