Bagian 53
"Keikhlasan hati yang akan membawa diri pada kebahagiaan yang lebih hakiki"
Devandra Abimanyu Adiatama
Devan naik ke atas pelaminan, mengucapkan selamat pada kedua mempelai yang telah sah menjadi pasutri sejam yang lalu. Meski ada rasa perih yang menghujam hatinya, tapi ia tetap tersenyum bahagia. Seolah tak pernah terjadi apapun sebelumnya.
Sejak kemunculan Devan, Qanita menitikkan air mata. Ia masih merasa bersalah pada mantan calon suaminya itu.
"Selamat atas pernikahan kalian, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Doa terbaik Abi untuk kalian.
Buat Nita, terima kasih sempat hadir dan memberi warna berbeda walau hanya sementara. Abi, ikhlas. Nita bahagia dengan pilihan, Nita. Abi pamit, semoga kalian bahagia," ucap Devan kemudian berlalu.
Adnan, Fauzan, serta Davin yang ada di belakangnya, menunduk dalam. Menahan sesak luar biasa, mendengar kata demi kata yang terucap dari bibir Devan.
Terlebih bagi Devan, ia segera beranjak pergi karena tak ingin ada seorang pun yang tahu bahwa ada air mata yang mendesak keluar dari sudut matanya. Menahan air mata, rasanya justru jauh lebih menyesakkan daripada mengeluarkannya.
Ia baru saja menginjakkan kaki di parkiran, ketika kepalanya kembali berdenyut sakit. Darah segar juga mengalir dari lubang hidungnya. Devan terhuyung, pandangannya pun mengabur hingga semua terlihat gelap.
"Abi." Suara Adnan yang berteriak histeris membuat semua tamu undangan keluar gedung, begitu pula dengan kedua mempelai. Mereka tampak panik saat melihat Devan terbaring diatas rerumputan tak sadarkan diri.
Adnan dan yang lain segera membawa Devan ke rumah sakit. Beruntung karena saat itu jalanan tak sepadat biasanya, hingga mereka bisa segera sampai di rumah sakit.
Sesampainya di sana, Devan segera mendapat perawatan intensif di ruang UGD.
Setelah cukup lama hanya menunggu, dokter yang menangani Devan pun keluar dari ruangan. Bukan berita baik yang dibawa tapi justru berita yang tak ingin didengar oleh siapa pun.
Dokter menyatakan bahwa Devan, koma. Saat ini hanya alat-alat medis yang menunjang kehidupannya
Jika alat itu dilepas, Devan bisa dinyatakan meninggal dunia.
*****
Langit nampak gelap berkelabu, rintik-rintik gerimis turun menyamarkan air mata.
Kehilangan, satu kata yang mampu membawa kehancuran dan kerapuhan dalam jiwa manusia. Itu yang dirasakan oleh Faris.
Orang yang dicintainya, satu per satu pergi meninggalkannya. Ia rapuh saat ini, siapa lagi yang akan ia jadikan sandaran.
Air matanya mengalir begitu deras menatap gundukan tanah yang masih basah. Ia memeluk erat nisan yang tertancap di sana, berkali-kali ia mengucapkan kata maaf.
Ia masih belum percaya bahwa sosok yang sudah tertimbun tanah itu telah meninggalkannya. Jiwanya terasa kosong dan hampa, belum sempat ia berbakti dan membahagiakan keempatnya.
"Maafkan Faris, karena belum bisa membahagiakan kalian. Sampaikan pemintaan maaf Faris untuk Anna di sana, maaf karena sudah mengabaikan Devan selama ini. Maaf karena sudah menyakitinya sedemikian rupa." Faris terisak sambil memeluk nisan orang tuanya.
"Om, ikhlaskan kepergian mereka. Mereka pasti sedih melihat Om seperti ini. Masih ada Devan, yang saat ini lebih membutuhkan, Om," nasihat Davin.
Faris kembali terisak, mengingat putranya yang masih koma di rumah sakit. Bagaimana kalau putranya juga memilih pergi dan meninggalkannya. Ia tak akan sanggup kehilangan lagi, apalagi jika harus kehilangan putranya.
Suara dering ponsel Adnan memecah keheningan, raut pemuda itu cukup membuat orang disekitarnya cemas bukan main. Apalagi saat nama Devan disebut dalam perbincangan itu.
"Ada apa?" tanya Fauzan dengan raut wajah cemas.
Tak ada jawaban dari bibir Adnan, pemuda itu justru sudah jatuh berlutut di tanah.
Kira-kira ada apa ya?😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top