Bagian 51
Ini masih bagian dari flashback ya
"... Kejujuran itu ketentraman, dan dusta itu keragu-raguan..."
(H.R. At-Tarmidzi)
Belum sempat Qanita mendekati Devan, Qiana justru lebih dulu meminta bantuan untuk mengangkat pemuda itu ke mobilnya. Karena wanita itu juga sedang makan siang di restoran yang sama, sebelum berangkat ke rumah sakit.
Qanita hanya memandang sendu mobil dokter muda itu yang kian menjauh. Ia merasa tak berguna sebagai calon istri Devan. Jujur, ia mulai bimbang. Kemana hatinya harus berlabuh, Danar atau Devan.
Setelah tersadar, ia segera mencari taksi dan mengikuti mobil Qiana. Ia menyesal, karena tak pernah bicara apapun pada Devan. Seandainya, waktu bisa diputar kembali. Ia tak akan mau makan di restoran itu, dan pastinya mereka tidak akan bertemu dengan Danar.
Sesampainya di rumah sakit, Qiana segera membawa Devan ke UGD. Tak lupa, ia menghubungi Adnan memberitahukan bahwa adiknya di rumah sakit.
Keluarga Adiatama, Nugraha, serta Hutama bergegas ke rumah sakit. Mereka cemas dengan keadaan pemuda itu, pasalnya pernikahannya sudah di depan mata.
Qanita datang terlebih dahulu, ia bertanya ke meja resepsionis. Menanyakan ruang rawat Devan. Setelah tahu, ia bergegas menuju ruang UGD.
Wanita itu mondar-mandir di depan ruang rawat Devan, ia sangat mencemaskan kondisi pemuda itu. Ia merasa bersalah dengan calon suaminya. Karena secara tidak langsung, ia penyebab anfalnya Devan.
Tak lama kemudian, keluarganya tiba di rumah sakit. Mereka melihat Qanita menangis di depan ruang UGD.
"Nit, Bagaimana keadaan Devan?" tanya Adnan cemas.
"Belum tahu, Mas. Masih diperiksa di dalam," jawab Qanita sendu.
"Gimana ceritanya Devan bisa anfal lagi, Nit?" Faris ikut bersuara.
Qanita terdiam, ia tidak tahu harus bicara apa. Ia ingin jujur, tapi ada ketakutan dalam dirinya. Entah, apa yang sebenarnya ia takutkan. Takut Kehilangan Devan, atau justru kehilangan Danar.
"Qanita, sebenarnya ada apa?" Bu Sinta mendekati putrinya.
" Mas Danar, dia datang lagi Ma." Qanita menangis dalam dekapan ibunya.
Membuat Bu Sinta dan Pak Fandi terbelalak kaget. Sedangkan, keluarga Nugraha dan Faris hanya saling pandang. Mereka sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan.
"Tadi kami bertemu di restoran, dan Mas Danar bilang ke Mas Abi kalau dia tunangan Nita. Setelahnya Mas Abi marah dan pergi begitu saja. Aku coba kejar, tapi Mas Abi udah pingsan dan ditolong sama dr. Qiana." Qanita semakin terisak dalam pelukan ibunya.
Keluarga Nugraha dan Faris tentu saja terkejut dengan penuturan Qanita.
"Tunangan, maksudnya tunangan gimana?" tanya Fauzan penasaran.
"Dua tahun lalu, Nita sudah bertunangan. Tapi, dia ninggalin Qanita sehari setelah hari pertunangan kita. Dia pergi begitu saja tanpa kabar apapun." Qanita semakin terisak.
"Apa kamu masih mencintai dia?" tanya Adnan serius.
Qanita terdiam di tempatnya, tak tahu harus menjawab apa. Dulu ia yakin bahwa Danar telah terhapus dengan hadirnya Abi. Tapi saat ia kembali dipertemukan dengan Danar, hatinya kembali goyah. Bagaimanapun, Danar pernah menjadi bagian terindah dalam hidupnya.
Qanita belum menemukan jawaban atas pertanyaan Adnan, karena ia mulai ragu dengan perasaannya pada Abi.
"Karena kamu diam, artinya kamu masih mencintai dia 'kan?" Fauzan ikut bicara.
Qanita tertunduk, ia tak berani menjawab. Danar memang masih menempati ruang tersendiri dalam hatinya.
"Kenapa kamu tidak pernah menceritakan ini semua sebelumnya?" Faris menimpali.
"Maafkan Nita, Om. Aku hanya tidak ingin membuka luka lama yang bahkan belum sepenuhnya sembuh. Nita tidak tahu, kalau lelaki itu akan muncul kembali setelah sekian lama menghilang," jawab Qanita dengan suara bergetar.
"Bagaimana keadaan Devan, Dok?" tanya Faris cemas.
Dokter muda itu tersenyum sekilas, sebelum menjelaskan tentang kondisi Devan.
"Alhamdulillah, pasien sudah sadar. Kondisinya juga cukup stabil, ia hanya kelelahan. Sekarang sudah bisa dijenguk," jawab dokter Qiana itu.
Semua mengucap tahmid bersamaan, ternyata apa yang mereka khawatirkan tidak terjadi.
Qanita segera beranjak, dan masuk ke dalam ruangan serba putih itu. Didapatinya Devan telah membuka matanya, ia segera menghampiri dan mencoba menjelaskan dengan isak yang kentara. Untuk pertamanya kalinya suara lembut pemuda itu, berganti dengan nada dingin yang mampu membekukan hati calon istrinya.
Calon istri?
Masihkah ia bisa menganggap wanita itu calon istrinya, sedangkan ia yakin Qanita masih mencintai pria dari masa lalunya. Ia merasa menjadi pria paling bodoh karena telah meminang tunangan orang. Mungkin melepaskan adalah pilihan yang akan ia ambil selanjutnya.
"Nit, maaf tapi aku tidak bisa melanjutkan pernikahan kita", ucap Devan lemah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top