Bagian 48

Mas Abi udah fitting baju nih, ada yang mau mendampingi gak ya? 😂😂

Jangan pada laper loh ya , eh baper maksudnya😂

Selama dua minggu terakhir, Devan harus bolak-balik di opname di rumah sakit. Berhubung kondisinya memang memburuk belakangan ini.

Seperti kemarin, pemuda itu kembali anfal akibat kelelahan di acara resepsi Adnan. Darah segar mengalir deras dari lubang hidungnya, ditambah nyeri hebat dikepala hingga tengkuknya. Devan meringis tertahan, ketika rasa sakit menghantam kepalanya.

Saat itu, ia sedang berada di kamar hanya bersama dengan Fadhil. Niatnya ingin mengistirahatkan tubuhnya yang terasa
remuk-redam, justru membuatnya kepayahan karena rasa sakit yang menyiksanya tanpa ampun.

Devan mencoba bangkit dari tidurnya, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk itu. Tangannya berusaha menggapai-nggapai tabung obat diatas nakas, namun tangannya tak sampai. Ia hanya mampu menggapai tisu yang berada tepat disamping putranya. Devan mengambil beberapa helai tisu untuk membersihkan darah yang masih mengalir. Setelah darah itu berhenti mengalir, ia kembali mencoba bangun dan menggapai obatnya.

Berhasil, tangan itu mampu menggapai tabung obat yang tersimpan di atas nakas. Diambilnya tabung itu, ia segara mengeluarkan isinya darisana lalu menelannya dengan susah payah tanpa bantuan air.

Belum sempat obat itu benar-benar masuk ke kerongkongannya, perutnya terasa bergejolak seperti diaduk-aduk. Menimbulkan rasa mual yang tak tertahankan. Wajah pemuda itu semakin pucat pasi, keringat dingin juga mengalir membasahi sekujur tubuhnya. Seluruh tenaganya seolah habis tanpa sisa, membuat tubuh itu benar-benar tak berdaya.

Sekuat tenaga ia berusaha bangkit dan turun dari ranjang, ia menggapai apa saja sebagai pegangan. Ia berjalan tertatih menuju kamar mandi, dengan tangan kiri yang membekap mulutnya. Menahan sesuatu yang mendesak keluar dari kerongkongannya. Kamar mandi yang sudah berada di depan mata terasa sangat jauh dari jangkauannya.

Sesampainya dikamar mandi, ia segera memuntahkan isi perutnya ke wastafel. Tubuhnya kian terasa melemah, belum lagi pening dikepalanya yang kian bertambah hebat.

Devan menangis untuk pertama kalinya, menahan rasa sakit yang menjalar disekujur tubuhnya. Disaat seperti ini, ia ingin menyerah saja. Agar tidak lagi merasakan sakit lagi yang kian melemahkan fisiknya. Tapi, ia masih punya Fadhil sebagai tanggung jawabnya. Ia harus kuat, demi putranya juga semua orang yang mencintainya.

Fadhil terbangun dari tidurnya, anak itu menangis ketika tidak mendapati ayahnya disampingnya. Ia mencari ayahnya dan mendapati Devan dikamar mandi.

"Ayah, Ayah kenapa?" tanya Fadhil memegang lengan Devan.

Mendengar suara Fadhil, Devan memejamkan matanya sejenak. Mencoba menahan rasa sakitnya, agar putranya tidak sampai menangis.

Devan berusaha tersenyum, meski mati-matian ia harus menahan rasa sakit dikepalanya.

"Ayah cuma agak pusing kok, Dek Adhil tidur lagi ya!" ucap Devan lembut.

"Hidung Ayah berdarah. Sakit ya, Yah?" tanya Adhil menggoyangkan lengan Devan.

Devan meraba hidungnya, benar saja darah itu kembali mengalir. Ia segera mencuci wajahnya, membersihkan darah yang mengalir dari hidung mancungnya.

Pening dikepalanya kian terasa, namun sebisa mungkin Devan berusaha untuk tetap terjaga. Ia tidak mau terlihat lemah dihadapan Fadhil.

"Ayah..., Ayah kenapa?" tanya Fadhil hampir menangis.

Devan masih diam, ia memejamkan matanya. Tangannya mencengkram kuat tepian wastafel, menyalurkan rasa sakit yang menyerangnya.

Suara tangisan fadhil, membuat Devan menoleh . Ia menggenggam tangan mungil putranya.

Devan mengambil alih Fadhil dalam gendongannya, meski sebenarnya tubuhnya terasa sangat lemas.

"Ayah baik-baik saja, Dek. jawngan nangis lagi ya!" Devan menenangkan putranya.

Fadhil memeluk erat leher Ayahnya, membuat Devan sedikit kewalahan karena pening dikepalanya yang tak kunjung reda.

Perlahan ia melangkahkan kakinya perlahan , dengan tangan kiri berpagangan pada dinding. Saat dirasa tubuhnya tak cukup kuat, ia meminta Fadhil turun dari gendongannya.

"Dek Adhil turun dulu ya!" ucap Fadhil lembut.

Bukannya turun, Fadhil justru mengeratkan pelukannya pada leher Devan. Membuat Devan menghela nafas panjang, ia tak tahu lagi harus bagaimana.

"Adhil sayang, turun dulu ya! Nanti Ayah gendong lagi," ucap Devan lagi mengelus puncak kepala Fadhil.

Fadhil menggelengkan kepalanya, tanda ia tak mau lepas dari dekapan Ayahnya.

Devan mengeratkan pegangannya pada dinding, karena tubuhnya terasa semakin lemas. Pemuda itu khawatir pada Fadhil, karena kalau ia sampai ambruk bisa dipastikan putranya akan ikut terjatuh.

Devan berdo'a dalam hati, agar ia diberi kekuatan lebih untuk melawan
rasa sakit yang menyerangnya.

Perlahan ia berjalan kembali ke kamarnya, meski harus dengan tertatih-tatih. Dengan Fadhil yang masih berada dalam gendongannya, anak itu akan ikut rewel saat dirinya jatuh sakit.

Sesampainya di kamar, Devan mendudukkan dirinya ditepian ranjang. Ia mengambil obat lalu menelannya dengan bantuan air. Perlahan rasa sakitnya mulai berkurang, membuat Devan merasa tenang.

"Dek Adhil turun dulu, kita tidur lagi ya!" Devan menurunkan putranya di ranjang.

Fadhil kembali memeluk erat leher Ayahnya, dia sama sekali tak mau lepas dari Devan.

"Ayah jangan sakit lagi, Adhil sedih kalau Ayah sakit," ucap Adhil memeluk tubuh ayahnya.

Devan terdiam, matanya berkaca-kaca mendengar penuturan putranya. Relung hatinya tersentuh dalam.

"Maafkan Ayah ya, karena udah buat Adhil sedih," Devan mengecup ubun-ubun putranya kemudian memeluk tubuh mungil itu lebih erat.

Devan merebahkan tubuhnya diranjang, ia membiarkan Fadhil tertidur didada bidangnya. Hingga keduanya terlelap dalam buaian mimpi indah.

*****

Siang ini, Devan dan Qanita melakukan fitting baju di Lovely Boutique. Setelah sebelumnya, mereka menyebarkan undangan pernikahan mereka. Devan nampak begitu tampan dalam balutan busana pengantin yang dikenakannya.
Membuat Qanita, takjub sekaligus terpesona pada calon suaminya itu.

Mereka memang hanya datang berdua, karena kedua keluarganya tidak ingin mengganggu quality time
keduanya. Lagipula semenjak acara lamaran beberapa waktu lalu, mereka belum pernah menghabiskan waktu berdua selain di rumah sakit.

"Kamu kelihatan lebih menawan pakai baju itu, Mas." Qanita tersipu.

Devan tersenyum kecil, ia ikut memperhatikan penampilannya dicermin besar dihadapannya.

"Jadi menawannya cuma kalau aku pakai baju ini saja, kemarin-kemarin tidak menawan," balas Devan dengan bibir mengerucut lucu.

Mau tak mau Qanita tertawa kecil, calon suaminya ini bisa bercanda juga.

Selamat berbaper ria

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top