Bagian 47
"Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)."
(QS. Ar-Rahman 55: Ayat 60)
Semua mata menoleh, ketika terdengar suara pintu berderit dari ruang di mana Devan berada. Menampilkan seorang wanita muda dengan jas putih kebanggaannya.
"Bagaimana kondisi Devan, Dok?" tanya Faris dengan sorot mata penuh kekhawatiran.
"Alhamdulillah kondisinya sudah membaik, tapi masih harus banyak beristirahat. Karena kondisinya memang masih lemah. Usahakan agar dia tidak sampai kelelahan, buat ia nyaman dengan sekitarnya. Sepertinya, ada banyak beban yang difikirkan oleh Devan. Sehingga membuat kondisinya kian memburuk. Beri dia semangat untuk tetap bertahan melanjutkan hidupnya," jawab dokter bernametage Qiana tersenyum.
"Akan kami usahakan yang terbaik buat dia, kami juga mohon bantuan dari anda." Adnan buka suara.
"Pasti. Saya permisi, karena masih harus visit pasien lainnya. Kalian bisa menjenguk setelah pasien dipindahkan ke ruang rawat. Tapi, jangan terlalu berisik. Pasien masih butuh banyak istirahat," ucap Qiana kemudian berlalu.
Mereka tersenyum lega, saat mengetahui kondisi Devan sudah membaik. Raut bahagia juga sangat kentara diwajah Qanita, ia lega mengetahui calon suaminya baik-baik saja.
****
Devan tampak lebih ceria, meski wajahnya masih nampak pucat dengan mata yang masih sayu.
"Jago banget Bi, buat orang khawatir. Sampai Mas Adnan jadi pembalap liar karena khawatir sama kamu" ucap Fauzan, melirik Adnan yang masih diam tanpa ekspresi.
Devan tersenyum sendu, ia merasa dirinya hanya mampu merepotkan orang-orang terdekatnya. Apalagi melihat Adnan dan Sarah disampingnya yang masih menggunakan busana pernikahan.
Rasa bersalah merayap masuk dalam hatinya. Karena dirinya yang anfal, mengacaukan pernikahan impian kakaknya. Devan dapat menangkap sorot kekhawatiran mendalam di mata Adnan, meski tanpa harus diucapkan.
Devan berusaha bangkit, ia dibantu Davin untuk bersandar dengan meninggikan bantal pemuda itu. Ia berusaha menyembunyikan rasa nyeri yang menghantam kepalanya dengan senyum andalannya.
Sedari tadi Adnan hanya diam membisu, dia masih shock dengan kondisi Devan tadi. Ia kecewa pada dirinya sendiri, karena tidak bisa menjaga adiknya dengan baik. Sehingga kondisi Devan anfal untuk kesekian kalinya.
"Mas, Maaf," ucap Devan lirih.
"Kamu gak salah kok, seharusnya Mas yang minta maaf. Harusnya Mas gak melibatkan kamu terlalu jauh, hingga membuat kamu kelelahan," jawab Adnan merasa bersalah.
"Abi yang minta maaf, karena sudah menghancurkan pernikahan impian kalian. Seharusnya kalian masih ada di gedung, melanjutkan resepsi. Tapi, kalian malah disini," ucap Devan sendu.
"Bi, yang terpenting buat kita semua itu kesehatan kamu. Masalah resepsi, bisa kita lanjutkan lain kali. Jangan seperti tadi lagi, Mas gak akan bisa maafin diri Mas kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu," lanjut Adnan.
"Bi, kesehatan kamu jauh lebih penting dari resepsi pernikahan Mbak dan Mas Adnan. Kita tidak mau bahagia sendiri, sedangkan kamu dirawat disini. Masalah resepsi, bisa kita atur lagi." Sarah menimpali.
Devan bahkan sudah berkaca-kaca sejak mendengar pernyataan Adnan, ia sungguh beruntung memiliki keluarga yang begitu memprioritaskan dirinya. Padahal, Adnan hanya kakak angkatnya. Tapi, kasih sayang pemuda itu tak mampu terdefinisikan.
"Terimakasih Mas, Mbak, maaf karena Abi hanya bisa selalu merepotkan kalian"
"Bi, kita ini keluarga. Jadi, sudah selayaknya kita saling membantu satu sama lain. Dulu, kamu sudah banyak membantu keluarga Mas. Kalau bukan karena bantuan kamu, Mas gak mungkin bisa tetap kuliah di Jerman dan sukses seperti ini. Sudah sepantasnya Mas membalas semua kebaikanmu, ini cara Mas berterimakasih sama kamu," Adnan memeluk tubuh Devan.
"Semuanya karena pertolongan Allah Mas, Abi datang hanya sebagai perantara. Semua juga karena perjuangan Mas Adnan, dan juga Ayah," balas Abi.
Mereka larut dalam keharuan yang tercipta. Bahagia, itu yang mereka rasakan sekarang.
Setelah hanya diam menyimak, Qanita mendekati Devan. Raut khawatir jelas nampak dari manik kedua matanya.
"Mas, gimana keadaan kamu?"
"Alhamdulillah sudah jauh lebih baik, kamu tidak perlu khawatir," jawab Devan tersenyum.
Qanita balas tersenyum. Senyuman itu, selalu mampu membuat Qanita terpesona. Membuatnya hatinya menghangat, setelah sekian lama membeku.
"Kalian kapan mau fitting baju?" tanya Adnan mengalihkan perhatian Devan.
"Belum tahu, Mas. Lihat kondisi Mas Abi dulu." Qanita menyahut.
"Kalau masalah undangan, kemungkinan minggu ini udah siap. Kemarin sudah Mas urus sekalian, tinggal kalian sebarkan. Kalau gedung dan catering jelas sudah siap semua. Kalian tinggal fitting baju. Dan yang paling penting , siapkan kondisi fisik kalian sebaik mungkin. Terutama, kamu Bi," lanjut Adnan.
Devan hanya mengangguk mengerti, tak lupa ia mengucapkan terimakasih.
"Terimakasih, Mas. Abi tidak tahu harus bicara apa lagi. Mas Adnan dan Mbak Sarah justru yang harus sibuk sama pernikahan aku"
"Bi, konsep pernikahan dan gedungnya 'kan sama. Jadi kita gak terlalu repot mengurusnya. Kita senang kok bisa bantu kamu," Sarah tersenyum tulus.
Seperti yang Adnan bilang, hari rabu ini undangan pernikahan Devan sudah tercetak rapi. Mereka hanya tinggal menyebar undangan itu.
Tiga hari ini, kondisi Devan masih belum stabil. Sempat pulang ke rumah, tapi hanya sebentar. Karena kondisinya kembali menurun. Mengharuskan keluarganya untuk membawa pemuda itu kembali ke rumah sakit.
Radioterapinya berjalan selama delapan kali, yang justru membuat fisik pemuda itu kian lemah. Pernikahannya sudah di depan mata, sedang kondisi Devan justru kian menurun. Membuat cemas semua orang, takut kalau Devan tidak bisa bertahan.
Acara resepsi Adnan yang sempat tertunda, akhirnya terlaksana dihari kedua setelah pernikahannya. Tentunya, setelah Devan diizinkan untuk kembali ke rumah.
Malam itu, suasana Starmoon Restaurant nampak ramai oleh tamu undangan. Semua orang nampak sibuk menjabat tangan kedua mempelai. Binar bahagia nampak jelas terpancar dari wajah keluarga mempelai.
Devan tak banyak melakukan aktifitas, ia hanya duduk di kursi undangan sambil mengamati situasi sekitar. Dia duduk bersama Fadhil juga keluarga Qanita.
"Kamu harus lebih menjaga kondisi, agar saat hari H kondisimu tidak drop," ucap Pak Hutama.
"Insya Allah, Om. Sebisa mungkin saya akan menjaga diri. Tapi, Abi juga hanya manusia biasa. Abi tidak bisa menentukan sendiri jalan takdir hidup ini , yang bisa dilakukan hanya berserah diri . Om tentu tahu bagaimana kondisi Abi. Abi sudah menjelaskan sejak awal, karena Abi tidak mau kalian terlalu berharap banyak," jawab Abi sendu.
Membuat keluarga Hutama terdiam sejenak, mereka bisa memaklumi perasaan pemuda itu.
"Mas. Nita mohon, jangan bicara seperti ini lagi. Jangan bicara seolah-olah kamu akan pergi meninggalkan kita semua." Qanita menggengam tangan Devan.
"Nita, Kita gak tahu takdir seperti apa yang akan berlaku. Kematian itu satu hal yang pasti, dan kematian itu yang paling dekat dengan kita. Siap tidak siap, kita harus selalu siap," jawab Devan tersenyum lembut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top