Bagian 42
"Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan"
(Qs. Al- Insyirah: 5)
"Kalian kenapa nangis?" tanya Devan penasaran.
Suara Devan membuat semua orang terdiam kemudian menoleh bersamaaan.
"Devan, Abi," ucap mereka serempak dengan ekspresi bingung, membuat Devan mengernyitkan dahinya tak mengerti.
Sujud syukur pun dilakukan, sebagai wujud syukur mereka pada Allah.
Devan yang tak mengerti apapun, semakin bingung melihat keluarga dan kerabatnya yang tiba-tiba sujud syukur.
"Tadi nangis histeris, sekarang sujud syukur. Sebenarnya apa yang terjadi?" bisik Devan dalam hati sambil menggelengkan kepalanya.
Tubuh Devan yang masih terbaring di
ranjang ditabrak dan dipeluk begitu erat oleh Faris, juga keluarga Nugraha. Membuatnya semakin mengernyit bingung, ia sama sekali tak memahami.
Mereka semua bahkan terisak saat mendekap tubuh Devan. Bukan airmata pilu, melainkan airmata haru.
Tak henti-hentinya bacaan tahmid lolos dari bibir mereka. Sungguh, mereka sangat bahagia mendapati Devan masih bisa kembali ditengah-tengah mereka.
"Alhamdulillah. Jangan pernah tinggalin kita, Bi. Mas, gak sanggup bayangin kalau kamu benar-benar pergi," ucap Adnan.
"Terimakasih masih mau bertahan, Van. Papa hampir mati mendengar bahwa kamu telah...." Faris ikut buka suara namun tak melanjutkan ucapannya.
"Sebenarnya apa yang terjadi?
Kenapa kalian ini aneh, tadi nangis histeris, sujud syukur sekarang main peluk gini sambil nangis," tanya Devan meluapkan rasa penasarannya.
Faris dan keluarga Nugraha melepaskan pelukan itu, kemudian berpandangan satu sama lain akhirnya menggeleng serempak sambil tersenyum.
"Nggak kok,Bi. Kita kangen aja sama kamu. Seharian gak bangun-bangun, kita semua khawatir," Fauzan menjawab dengan senyum termanis yang dimiliki .
Devan tak menanggapi lebih, ia hanya mengangguk. Meski ada banyak pertanyaan yang bersarang di otaknya, tapi semua itu ia abaikan.
Keluarga Anggara dan juga Hutama masih bergeming ditempatnya, mereka seakan tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Namun, rona bahagia juga kentara diwajah mereka. Terutama Qanita yang baru saja siuman dari pingsannya.
Qanita segera mendekati Devan, dengan tubuh yang masih bergetar hebat dan juga airmata yang membasahi wajahnya.
"Alhamdulilla, Mas. Kamu sudah bangun. Aku takut kamu beneran pergi ninggalin kita semua, aku nggak siap dan gak akan siap," ucap Qanita terisak.
"Aku nggak akan kemana-mana, lagian dari tadi juga disini," jawab Devan terkekeh.
Melihat Devan yang kembali berbinar, membuat mereka merasa lega. Paling tidak, untuk saat ini mereka masih bisa menikmati senyum dan tawa pemuda itu. Meski, dalam hati juga tersirat rasa khawatir, seandainya Devan benar-benar meninggalkan dunia untuk selamanya.
Dr. Ray yang sedari tadi diam menyaksikan adegan yang mengharu biru itu, mendekati Devan kemudian mengecek kondisinya.
Devan memang belum banyak bergerak, karena pening dikepalanya masih terasa. Namun, semua rasa sakit itu coba ia abaikan hanya agar keluarganya tetap tersenyum bahagia seperti saat ini.
"Alhamdulillah kondisi kamu sudah membaik, mulai besuk kamu harus menjalani radioterapi lima kali dalam seminggu selama tujuh minggu. Nanti akan diikuti operasi untuk mengangkat sel kanker di otak kamu. Persiapkan kondisi kamu, dan yakin bahwa semua akan baik-baik saja," jelas dr. Ray mengusap puncak kepala Devan.
Devan mengangguk dan tersenyum, walau dalam hatinya terbersit kecemasan dan keraguan. Ia tetap tidak boleh lemah, demi bisa melihat keluarganya bahagia.
Dia tahu hari-hari kedepannya akan lebih sulit, membayangkannya saja Devan tak berani.
Belum lagi, ketika mengingat efek radioterapi yang pastinya akan membuatnya semakin tersiksa. Tapi, ia tidak akan menyerah karena ini demi kesembuhannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top