Bagian 41

"Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan orang-orang yang kufur"
(Qs. Yusuf:87)

Keluarga Devan berkumpul di rumah sakit, mereka menunggu dengan harap-harap cemas. Waktu terus merangkak, tapi pemuda yang terbaring di ranjang pesakitan itu tak kunjung membuka mata.

Rasa takut, mulai menjalar dan menyelinap  ke dalam jiwa yang lemah. Tak ada canda tawa yang  terdengar, hanya wajah-wajah lelah  dan sendu yang terlihat.

Faris dan keluarga Nugraha sama sekali tak bisa makan atau pun tidur  sejak Devan dinyatakan kritis. Terlihat dari wajahnya yg terlihat pucat, dengan kantung mata serta lingkaran hitam seperti seekor panda.

Adnan tak henti melirik arloji abu-abu yang bertengger manis dipergelangan tangannya. Sesekali ia berdecak kesal, karena jarum di arloji itu seolah tak bergerak.

Kalau mereka bisa memilih, mereka tak ingin ada disituasi seperti saat ini.
Menunggu detik berganti menit saja terasa begitu lama. Apalagi menanti menit demi menit berganti jam.

Faris menggenggam erat tangan putranya, dikecupnya berkali-kali tangan itu kemudian beralih menciumi wajah pucat itu.

Tak ada reaksi apapun, putranya tetap terpejam tanda ada pergerakan seinchi pun. Jiwanya seolah tercabik-cabik melihat tubuh putranya terbaring lemah seperti sekarang.

Padahal dulu, ia akan tersenyum puas saat melihat Devan terbaring tak berdaya seperti sekarang. Ia ingin putranya itu tak ada lagi di dunia ini, dan lenyap dari pandangannya.  Tapi lihatlah sekarang , keadaan justru sepenuhnya berbalik .

Faris menertawakan dirinya , merutuki kebodohannya selama 22 tahun yang telah berlalu.

Bukankah ini yang dulu ia mau?

Allah menegurnya dengan begitu keras, bahkan dengan mengabulkan harap yang pernah ia lambungkan ke angkasa.

Faris tak pernah membayangkan akan sesakit ini, melihat putra yang dibencinya. Bahkan, sejak malaikat itu melihat dunia pertama kali, terbaring lemah. Nyawanya dapat terenggut kapan saja, tanpa bisa diduga apalagi dicegah.

"Maafkan Papa, Van. Beri Papa kesempatan untuk menebus semua kesalahan di masalalu. Papa mohon, bangun, Van," ucap Faris terisak.

Bukan hanya Faris, tapi seluruh kerabatnya juga ikut menitikkan air mata.

Betapa berartinya seorang Devandra Abimanyu bagi orang-orang di sekitarnya. Membuat mereka rela menukar waktu kerjanya, hanya untuk menemani pemuda itu.

Waktu yang tersisa kian menipis, hanya tinggal lima menit dari waktu yang ditentukan dr. Ray. 

Namun, pemuda itu masih terpejam tanpa pergerakan. Raut takut dan cemas kian kentara  di wajah-wajah lelah kerabat Devan.

Ruangan itu kian senyap dan hening, karena penghuninya sibuk memanjatkan doa dengan kusyuk. Dengan kedua mata yang terpejam, mereka memasrahkan segala hal yang mungkin  akan mereka terima nantinya.

Di detik-detik terakhir, mereka masih tetap berharap Devan akan membuka matanya kembali. Namun, mata itu tak kunjung terbuka juga.

Adnan dan Fauzan sudah luruh dilantai, terisak dan  berpelukan satu sama lain.

Faris bahkan sudah menangis tergugu dalam dekapan Pak Rizki.

Keluarga Anggara, menunduk dalam tangis yang tak kunjung berhenti.

Keluarga Hutama yang baru sampai di ambang pintu tak mampu melangkah  lagi, seluruh persendiannya seolah tak berfungsi. Mereka mematung diambang pintu, menatap wajah pucat calon menantu  yang masih terpejam.

Qanita, bahkan  ambruk saat melihat pemandangan didepannya. Membuat semua orang semakin panik karena wanita itu sudah tak sadarkan diri.

Inikah akhir dari segala perjuangan Devan, bahkan sebelum pemuda itu mewujudkan pernikahannya yang sudah didepan mata.

Isak tangis terdengar menyayat hati bagi siapa pun yang mendengarnya. Gurat-gurat kekecewaan, kesedihan, penyesalan terlihat begitu kentara di wajah-wajah sendu orang di ruangan itu.

Isak tangis pilu  mereka bahkan terdengar sampai koridor rumah sakit. Rasa takut kehilangan kian mencabik-cabik hati yang memang telah rapuh. Menghancurkan harap yang dibangun kokoh dalam sekejap mata.

Dokter Ray yang baru saja akan visit,
segera mempercepat langkahnya. Mendekati ranjang Devan yang masih memejamkan mata, jantungnya berdebar tak karuan.

Seharusnya pemuda itu sudah terbangun sejak beberapa detik yang lalu, namun nyatanya mata itu masih setia terpejam.

Dr. Ray mengecek denyut nadi Devan, namun ia tak lagi merasakan denyutan di sana. Ia beralih mengecek denyut jantungnya dengan stetoskop yang sempat menggantung dilehernya, hasilnya juga tak ada detakan disana.

Di detik berikutnya, keajaiban menyapa keluarga  Adiatama dan Nugraha.

Perlahan, mata sayu Devan terbuka. Mata itu mengejap beberapa kali, menyesuaikan dengan cahaya yang ada.

Pemandangan pertama yang ia lihat, seluruh keluarganya menangis tanpa ia tahu penyebabnya. Membuatnya mengernyit bingung, dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Kalian kenapa nangis?" tanya Devan penasaran.

Gimana perasaan kalian setelah membaca part yang penuh kejutan ini??

Author gak tega mau bunuh Mas Abi, masih sayang soalnya 😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top