Bagian 38

"Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya".

(QS. Al-Baqarah: 286)

Dr. Ray mengajak Faris juga Adnan untuk bicara di ruangannya, untuk membecirakan perihal kondisi Devan. Dari mimik wajah dr. Ray dapat dipastikan bahwa kabar buruk yang akan mereka terima. Keduanya menarik nafas panjang, bersiap menerima apapun berita yang akan disampaikan mengenai kondisi Devan.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada putraku, Ray?" tanya Faris penasaran.

Dr. Ray menghela nafas kasar, ia bingung bagaimana harus menjelaskan. Ia terdiam cukup lama, sebelum akhirnya bicara.

"Maaf karena aku harus mengatakan ini ke kalian, sebenarnya....," ucap dr. Ray terjeda.

"Tolong jelaskan ke kami, Om. Jangan membuat kami semakin khawatir dengan kondisi Abi," potong Adnan tegas.

"Kondisi Devan semakin memburuk, dari hasil pemeriksaan terakhir menyatakan bahwa kanker yang bersarang di otak Devan sudah memasuki stadium tiga. Diluar dugaan, kanker itu tumbuh dengan sangat pesat. Secepatnya Devan harus menjalani radioterapi, sebelum kanker itu berkembang lebih jauh lagi," jawab dr. Ray.

Bagai disambar petir disiang bolong, Faris dan Adnan merasa jantungnya seolah berhenti. wajahnya berubah sendu, mereka tidak siap dan tidak akan pernah siap dengan kemungkinan terburuk itu. Seketika dadanya terasa dihimpit batu besar, karena rasa sesak menyeruak begitu saja.

"Kenapa harus putraku, Ray? Selama ini dia sudah sangat menderita dan terluka, aku gak tega melihat dia terus-terusan menderita. Seandainya bisa, lebih baik aku yang ada diposisinya saat ini," ucap Faris histeris.

"Om, jangan seperti ini. Kita harus lebih kuat dari Abi. Kalau kita juga rapuh, siapa yang akan menguatkan Abi. Saya yakin kalau Abi yang jauh lebih rapuh dari kita semua, ada beban yang hanya dia sendiri yang tahu. Allah tahu Abi mampu melewati semuanya, maka dari itu dia yang dipercaya untuk menjalani semuanya," nasihat Adnan sambil memeluk tubuh Faris.

"Bagaimana caranya  bisa kuat, Nan? Sedangkan kekuatan Om, selama ini ada pada Devan. Apalagi dengan kondisinya yang semakin memburuk seperti sekarang, sedangkan kita tidak bisa meringankan beban yang dipikul Abi. Baru sebentar kemarin anak itu merasakan kebahagiaan karena Om bisa menerima dia sebagai anak kandung, tapi sekarang kebahagiaan itu seolah lenyap begitu saja.

Om hanya merasa gagal sebagai Ayah untuknya, karena tidak bisa menjaga Devan dengan baik. Seandainya tahu lebih awal, mungkin kanker itu belum seganas sekarang. Peluang untuk sembuh pasti jauh lebih tinggi," ucap Faris terisak .

Adnan diam, karena tak tahu harus menjawab apa lagi. Dia juga sama rapuhnya seperti Faris, karena Devan juga berarti dalam hidupnya. Seandainya bisa, ia juga rela menukar dirinya dengan Devan. Asal adik kesayangannya itu bisa sembuh.

"Nggak ada gunanya kalian ikut terpuruk seperti ini, karena itu tidak bisa merubah apapun. Lebih baik kita fokus sama kesembuhan Devan, kita harus memberi dukungan moral agar dia tidak terpuruk setelah tahu kondisinya saat ini. Karena fikiran bisa mempengaruhi kondisi Devan sendiri," dr. Ray menengahi.

Adnan dan Faris mengangguk, dr. Ray benar lebih baik mereka fokus dengan pengobatan Devan. Paling tidak, mereka harus terlihat lebih kuat dihadapan Devan walau kenyataannya mereka sama-sama rapuh.

*****

Devan terbangun dari tidurnya saat waktu telah beranjak siang. Saat pertama kali membuka mata , ia melihat seluruh keluarga dan sahabatnya sedang bercengkrama di di sofa yang memang tersedia di ruang rawatnya. Diam-diam ia tersenyum, betapa ia beruntung dikarunia keluarga yang selalu ada untuknya.

Di sana juga terlihat keluarga calon istri Adnan, membuat Devan benar-benar terharu dengan segala perhatian yang tertuju padanya.

Devan mencoba bangkit dari ranjangnya, kemudian mencoba bersandar . Membuat semua orang mengalihkan perhatiannya pada pemuda itu. Mereka segera bangkit menghampiri Devan, seakan berlomba untuk membantu pemuda itu.

"Nggak usah bangun dulu, Bi. Kamu rebahan aja lagi. Ayah tahu kamu masih pusing 'kan" pinta pak Rizki.

"Iya, Van. Lebih baik kamu tidur lagi aja. Atau kita ganggu istirahat kamu. Kalau ganggu biar....," ucapan Indra terpotong.

"Nggak apa-apa, Yah, Ndra. Aku udah mendingan kok. Lagian kalau tubuhku dimanja terus takutnya ngelunjak. Malah semua orang dibuat repot nanti," jawab Devan tersenyum.

"Ya sudah. Tapi kalau pusing, nanti tiduran aja. Kalau ada apa-apa bilang ke kita, Van. Jangan disimpan sendiri," kali ini Faris yang bicara.

Devan hanya mengangguk dan tersenyum, dalam hati ia tak henti mengucap syukur atas segala hal yang ia terima.

"Bi, gimana keadaan kamu?
Cepat sembuh ya, biar minggu depan bisa hadir di pernikahan Mbak sama Masmu," tanya Sarah.

Devan terkejut bukan main, karena setahunya pernikahan itu akan dilaksanakan tiga minggu lagi.

Melihat ekspresi terkejut Devan, Adnan dan Sarah tersenyum senang.

"Sengaja Mas Adnan majukan pernikahannya, karena keluarga Qanita minta pernikahan kalian diadakan....," sahut Adnan sambil mengedipkan mata.

"Diadakan kapan, Mas? Kok gak bicara sama Abi dulu," tanya Devan terkejut bukan main.

"Keluarga Hutama minta pernikahan kalian diadakan bulan depan, tepat saat acara ulang tahun kamu. Katanya sekalian merayakan acara ulang tahun kamu. Kamu gak setuju, Van?" tanya Faris akhirnya.

"Apa gak terlalu cepat, Pa? Devan takut kalau semuanya justru....," ucapan Devan dipotong begitu saja oleh Davin.

"Mas Abi jangan berfikir macam-macam dulu, yang harus Mas Abi fikirkan sekarang kondisi Mas Abi.

Jangan sampai kesehatan Mas menurun lagi, akan ada banyak hal yang harus mas siapin buat acara itu.

Mas gak mau 'kan, dihari pernikahan nanti kondisi Mas Abi malah drop," nasihat Davin.

Devan menggeleng, tentu dia gak mau kondisinya drop dihari spesialnya nanti. Tapi, entah kenapa hatinya tiba-tiba diliputi keraguan. Ia sudah berusaha menepis keraguan yang merasuk dalam hatinya, tapi tak berhasil.

Meskipun begitu ia tetap berusaha tersenyum, agar tak ada seorang pun mengkhawatirkannya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top