Bagian 36
"Cinta selalu mampu memberi keajaiban dan kekuatan, walau terkadang ada banyak hal yang harus dikorbankan"
~Devandra~
Matahari mulai menampakkan sinarnya, memberi cahaya dan juga kehangatan bagi semesta. Ia tak pernah mengeluh, walau harus menyinari semesta seorang diri.
Sama halnya seperti seorang pemuda yang duduk di taman rumah sakit pagi ini. Wajahnya memang masih nampak pucat, bahkan lebih pucat dari biasanya. Tapi, senyum di bibirnya tak pernah pudar. Binar di matanya juga tak seredup sebelumnya.
Pemuda itu diam mengamati sang surya yang baru saja menampakkan dirinya. Gurat-gurat cahaya keemasan nampak begitu indah di kaki langit. Membuat takjub semua yang memandangnya, tak terkecuali pemuda itu.
Dia sangat menyukai matahari terbit. Karena saat bisa melihat matahari terbit, berarti ia masih diberi kesempatan untuk hidup. Masih diberi kesempatan untuk berada ditengah keluarganya.
Pemuda itu adalah Devandra Abimanyu. Sejak ia memutuskan untuk menjalani radioterapi, semua keluarganya selalu berada disisinya. Terlebih lagi sang Ayah, ia bahkan hampir tak beranjak dari sisi putranya.
Devan bersyukur atas segala yang terjadi padanya, karena semua itu justru mampu menyatukan keluarganya.
Terutama Faris, Papanya itu mau mengakui diri sebagai Ayah kandungnya. Itu, anugrah terbesar dalam 22 tahun sejarah hidupnya.
Meski, harus dibayar mahal dengan kanker yang bersarang di otaknya.
Belakangan ini Devan merasa fisiknya semakin melemah, intensitas nyeri di kepalanya juga lebih sering, ditambah mual dan muntah yang semakin menyiksanya. Belum lagi, perutnya yang ikut nyeri akibat dari mual dan muntah yang dialami.
Devan ditemani Adnan duduk di taman rumah sakit, karena adiknya itu memaksa keluar dari ruang perawatan dengan alasan bosan. Padahal kondisinya tak bisa dikatakan baik-baik saja.
Sedari bangun, Devan mengeluh pusing. Ditambah juga mual dan muntah yang sudah lebih dari dua puluh kali dialami. Sampai wajahnya benar-benar pucat pasi, dan tubuhnya begitu lemas.
Dengan kondisi seperti itu, Devan justru minta dibawa ke taman rumah sakit. Awalnya tak ada yang mengizinkan pemuda itu untuk pergi ke taman, namun bukan Devan kalau tidak bisa meluluhkan hati keluarganya terutama dr. Ray.
Dia memaksa bangkit dari ranjangnya, kemudian berdiri dan hendak berlalu pergi. Ya, meski gak berhasil. Karena fisiknya yang memang lemah tak mampu menopang berat tubuhnya.
Meski berkali-kali gagal, Devan terus berusaha bangkit. Ia ingin membuktikan bahwa dia tak selemah yang orang-orang sangkakan. Meski kenyataannya kondisi fisiknya memang sangat lemah.
Akhirnya, semua menyerah karena tidak tega melihat Devan memaksakan dirinya untuk bangkit.
Bahkan, saat di taman pun Devan masih merasakan mual. Berkali-kali ia menutup mulutnya karena perutnya yang bergejolak seperti diaduk-aduk.
Sesekali meringis saat pusing dikepalanya juga nyeri diperutnya terasa. Membuat Adnan menitikkan airmata melihat kondisi adiknya itu.
"Bi, lebih baik kita masuk yuk. Biar kamu bisa istirahat di dalam, Mas gak mau kondisi kamu semakin buruk," ucap Adnan cemas.
"Abi baik-baik aja, Mas. Mas Adnan gak perlu khawatir. Cuma agak pusing, mual, sama nyeri dikit di perut," jawab Devan meringis menahan sakit.
Adnan yang gemas dengan adiknya yang sok kuat itu, meremas pelan perut Devan. Membuat empunya meringis tertahan, dan berhasil melemahkan seluruh sistem syarafnya.
"Sakit, Bi?" tanya Adnan polos.
Devan menggeleng, namun dengan mata terpejam dan alis yang bertaut satu sama lain. Tangannya juga meremas kuat baju yang dikenakan.
"Gak kok, Mas," jawab Devan lirih.
Jawaban Devan berhasil membuat Adnan geleng-geleng, tanpa tanya pun Adnan tahu kalau itu sakit. Tapi, Devan justru berusaha menyembunyikannya.
Sekali lagi, Adnan meremas perut Devan. Kali ini lebih kuat, membuat empunya terlonjak kaget. Dan berhasil membuat Devan merintih, karena nyeri di perutnya.
"Arrrghhh. Sakit, Mas," ucap Devan menggigit bibirnya hingga berdarah.
"Jangan sok kuat, Van. Kalau sakit bilang. Jangan kamu simpan sendiri, kamu anggap Mas ini siapa, sampai kamu gak mau berbagi cerita" Adnan gemas sendiri.
"Mas Adnan tahu, Mas bukan kakak kandungmu. Kalau itu alasan kamu gak mau cerita, jujur mas kecewa sama kamu, Van" lanjut Adnan sendu.
Devan menghelas nafas panjang mencoba menetralkan nyeri yang dirasakannya, namun tak berhasil. Nyeri itu justru terasa seakan menghantamnya berkali-kali.
"Maaf. Abi gak bermaksud seperti itu, Mas. Aku cuma nggak mau membuat kalian khawatir sama kondisi Abi sekarang," jawab Devan lemah.
"Dengan cara kamu yang seperti ini, justru membuat kita semakin khawatir, Bi. Keterdiaman kamu, membuat kami seolah gak berguna.
Kita memang gak mengerti apa yang kamu rasakan, tapi kita tahu pasti kamu menderita karena ini," ucap Adnan tegas.
Devan terisak di kursi rodanya, begitu juga dengan Adnan yang terisak di tempatnya. Adnan tampak memeluk Devan dari samping, mencoba menyalurkan kekuatan untuk adik kesayangannya itu.
Devan kembali meringis kesakitan, dengan memegangi perutnya. Perutnya terasa saangat nyeri, meski hanya sekedar untuk bernafas.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, membuat Adnan panik. Dia segera membawa Devan kembali ke ruang rawatnya.
"Sabar ya, Bi. Kamu harus kuat. Janji kalau kamu akan terus berjuang," ucap Adnan terisak.
Ia menyesali perbuatannya, yang justru membuat kondisi Devan semakin memburuk. Ia hanya kesal dengan sikap adiknya yang seolah tak membutuhkan orang lain. Padahal ia tahu pasti Devan lebih rapuh dari siapa pun.
Devan memejamkan matanya erat, menahan rasa pening di kepala, dan juga nyeri tak tertahankan di perutnya. Terbersit kata menyerah dibenaknya, namun jika itu dilakukan sudah pasti akan memperburuk suasana.
Biarlah ia menikmati rasa sakit yang menghujam tubuhnya, asal ia masih bisa melihat wajah orang-orang yang dicintainya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top