Bagian 35
Ketemu lagi sama Mas Abi, jangan bosan2 ya. Makasih buat readers yang sempatin baca karya abstrak author, memberi vote serta komen di cerita ini.
langsung aja deh,
Happy reading guys ,,
Setelah Adnan, Fadhil, Faris dan Pak Rizki keluar, giliran keluarga Hutama dan Fauzan yang masuk. Mereka terdiam di tempatnya, melihat Devan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Mungkin, ini kali kedua bagi keluarga Hutama melihat Devan terbaring di sana. Tapi tidak untuk Fauzan, ia sudah berkali-kali melihat adik angkatnya itu terbaring lemah.
Tak terasa airmata mengalir begitu saja dari sudut mata Fauzan dan Qanita. Qanita terlebih dahulu mendekati ranjang calon suaminya. Meski wajahnya terlihat pucat, tapi wajah itu tetap menampakkan aura ketampanannya.
"Mas, kamu harus terus berjuang. Jangan pernah menyerah, aku yakin kamu bisa melalui semua ini," ucap Qanita terisak.
"Sayang, kita berdoa saja semoga Abi diberi kesehatan dan kesembuhan. Ibu yakin calon suamimu masih bisa sembuh," nasihat Bu Sinta sambil mengusap pucuk kepala putrinya yang terbalut hijab.
"Semoga ya, Bu. Qanita gak tega melihat Mas Abi menderita seperti ini," jawab Qanita memeluk ibunya.
Fauzan masih terdiam di tempatnya, ia sama sekali tak bergeming. Pandangannya kosong ke depan, melihat adiknya terbaring seperti ini membuat hatinya teriris. Perih, itu yang dia rasakan sekarang.
Selama ini Devan sudah banyak membantu keluarganya, kalau bukan karena bantuan adiknya itu bisa dipastikan ia tidak akan bisa tetap melanjutkan pendidikannya di Kairo.Begitu juga dengan kakaknya, mungkin sekarang juga tidak akan sukses menjadi Co.pilot jika saja pendidikannya di Jerman terhenti saat itu.
Kenapa harus Devan yang menderita seperti ini, padahal pemuda itu orang yang sangat tulus dan mulia hatinya. Seandainya bisa, ia mau menggantikan posisi adiknya itu. Biar dia saja bertukar posisi dengan Devan, jika itu bisa memembayar segala kebaikannya pada keluarga Nugraha.
Semua yang terjadi pada Devan justru bentuk kasih sayang Allah terhadapnya. Ia begitu beruntung bukan, karena begitu dicintai oleh Allah. Meski telah diberikan ujian sedemikian rupa, Devan masih tetap bisa menampakkan senyum terbaiknya seolah semua baik-baik saja.
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (Qs: Al-Baqarah 214)
******
Devan terbangun dari tidurnya saat matahari hampir terbenam. Meski kondisinya masih sangat lemah, ia tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Dengan dibantu oleh Adnan, ia mengambil air wudhu di kamar mandi. Walaupun hanya bisa shalat dengan berbaring di ranjang, tetap tak menyurutkan niatnya untuk melaksanakan shalat ashar.
Setelah selesai melaksanakan shalat, ia berbincang dengan keluarganya juga dr. Ray yang kebetulan memang sedang visit diruangannya.
"Bagaimana keputusan kamu, Van? Om harap, kamu sudah mengambil keputusan," tanya dr. Ray serius.
"Devan belum tah, Om. Tapi, secepatnya aku akan memberi tahu tentang keputusan itu, beri aku waktu untuk memikirkan semuanya. Jujur Devan masih belum siap dengan segala resiko yang mungkin akan terjadi setelah kemoterapi atau pun radioterapi itu sendiri," jawab Devan.
"Oke, Om mengerti. Tapi, secepatnya kamu harus mengambil keputusan sebelum sel kanker itu semakin menyebar dan sulit dikendalikan. Kamu jangan takut, kita semua akan mendampingi kamu. Kamu harus yakin dan percaya kalau kamu pasti sembuh, karena itu juga akan mempengaruhi hasil pengobatan," nasihat dr. Ray .
Devan hanya mengangguk tanda mengerti, ia berusaha untuk tersenyum untuk menutupi ketakutan dan keraguan yang perlahan merasuk dalam hatinya. Ia menguatkan hati dan mentalnya dengan apapun yang akan dihadapinya nanti, yang sudah pasti tidak akan mudah untuk dilalui.
Dia mencoba berdamai dengan dirinya sendiri dulu, agar bisa berdamai dengan kenyataan yang ada. Meski, ia sendiri tidak terlalu yakin . Pertama, hatinya harus ikhlas dalam menerima dan menjalani semuanya. Devan meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja, ia harus kuat untuk orang-orang yang dicintainya. Akhirnya, ia berani mengambil keputusan untuk menjalani radioterapi .
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top