Bagian 31

Faris terus menggenggam tangan putranya, berkali-kali ia mencium tangan dan juga wajah Devan.

Ditatapnya lekat wajah putranya yang masih terlihat pucat, wajah itu mengingatkan pada mendiang istrinya. Lagi, airmata kembali mengalir dari sudut matanya. Hatinya perih melihat kondisi Devan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

Seandainya ia bisa, lebih baik ia yang menggantikan posisi putranya. Sudah begitu banyak luka dan sakit yang dirasakan Devan, kenapa harus putranya yang merasakan sakit lagi.

Faris merasa dadanya sesak, apalagi mengingat semua perlakuannya pada Devan selama ini. Dia sering melukai fisik Devan, bahkan pernah menikam perutnya hingga membuat putranya itu koma selama hampir seminggu.

Hal yang membuatnya merasa berdosa, putranya itu tak pernah marah ataupun bersikap kasar padanya. Justru, Devan selalu berusaha bersikap baik dan tersenyum dihadapannya.

Faris akui, dirinya tidak pantas disebut sebagai Ayah kandung Devan. Mungkin, yang lebih pantas disebut sebagai Ayah kandung adalah Pak Rizki.

Bagaimana mungkin, ia yang berstatus Ayah kandung justru tega menganiaya putra semata wayangnya.

Sedangkan, Pak Rizki yang hanya berstatus Ayah angkat justru bisa menyayangi dan memberi kebahagiaan juga kehangatan bagi putranya.

"Maafkan Papa, Van. Papa tahu, Papa bukan Ayah yang baik buat kamu.
Papa menyesal sudah bersikap kasar sama kamu, Papa mohon jangan pernah pergi," ucap Faris semakin terisak sambil menggenggam tangan Devan.

Perlahan, jemari Devan bergerak. Mata yang sempat tertutup, sedikit demi sedikit terbuka. Mata itu mengejap beberapa kali, menyesuaikan dengan cahaya yang ada. Tak ada kata yang terucap, hanya seulas senyum yang ditampakkan oleh Devan.

"Alhamdulillah. Kamu udah sadar, Van. Papa benar-benar khawatir sama kamu, janji sama Papa jangan seperti ini lagi," ucap Faris menangis haru.

Devan hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia ingin berbicara banyak, tapi tak ada kata yang mampu ia ucapkan. Hanya airmata yang mengalir deras, membasahi wajahnya yang masih nampak pucat. Faris mengusap airmata itu dengan jemarinya, melihat Devan yang menangis membuatnya cemas.

"Van, apa ada yang sakit?
Mana yang sakit? Papa panggilkan dokter dulu ya" Faris panik.

Devan menggeleng, sembari berusaha tersenyum.

"De..van bai..k k..ok, Pa. Aku ba..ha..gia,"  jawab Devan terbata.

*****
Qanita beserta keluarganya masuk ke ruangan Devan. Menyadari kehadiran perempuan itu serta keluarganya, Devan tersenyum dan berusaha bangkit dari tidurnya.

Faris membantu Devan untuk bersandar pada ranjang, dengan meninggikan bantal untuk sandaran putranya.

"Bagaimana kondisinya, Mas?" tanya Qanita.

"Alhamdulillah sudah mendingan" jawab Devan lemah.

"Nak Abi jangan banyak gerak dulu, banyak-banyak istirahat biar kondisinya cepat pulih. Setelah kondisimu sudah pulih, baru kita lanjutkan pembicaraan tentang pernikahan kalian," nasihat Bu Firda.

"Abi tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, tapi saya rasa kalian harus tahu tentang kondisi saya saat ini.

Saya ini penderita kanker otak stadium dua. Jika kalian ingin membatalkan lamaran saya terhadap Qanita, insya Allah saya ikhlas," ucap Devan masih berusaha tersenyum.

Sebenarnya Devan merasakan sesak luar biasa saat mengucapkan kalimat itu. Namun, disisi lain ia tidak mau membuat Qanita dan keluarganya menerima kehadirannya karena rasa terpaksa apalagi kasihan .

Ucapan Devan membuat Faris tertegun, secepat inikah putranya itu menyerah bahkan saat ia belum berjuang lebih.

Bukan hanya Faris, tapi juga Qanita dan keluarganya. Meski, mereka memang sudah tahu tentang kondisi Devan . Tetap saja mereka tidak menyangka dengan apa yang diucapkan oleh calon menantu keluarga Hutama itu.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top