Bagian 28

"Melamar kamu malam ini, kamu yakin?" tanya Davin terkejut.

Terlebih lagi Adnan, Devan, Fauzan dan Indra, keempatnya sampai melongo tak percaya saat mendengar ucapan Davin.

"......."

"Maaf, tapi saya tidak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu. Jujur saya terkejut dengan permintaan kamu, apalagi terbilang sangat mendadak. Terlebih saya tahu bahwa kamu mencintai pria lain, secepat itukah perasaanmu berubah?" Davin memastikan.

".........."

"Baiklah, terima kasih karena memberikan kesempatan itu pada saya. Tapi, saya tidak dapat memberikan harapan apa pun padamu. Jangan berharap lebih pada saya agar kamu tidak kecewa, jika keputusan saya tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Assalamualaikum," lanjut Davin. kemudian mematikan sambungan telfon.

Davin mengusap wajahnya pelan, rasa bahagia, bimbang,
dan juga tak percaya campur aduk menjadi satu.

"Siapa yang minta dilamar, Vin??" tanya Adnan dan Indra hampir bersamaan.

"Teman Davin, Mas, Ndra" jawab Davin singkat.

"Siapa Vin?
Apa aku kenal siapa orangnya?" tanya Devan penasaran.

"Ada lah, Mas. Bukan cuma Mas Abi yang kenal tapi semuanya juga kenal kok" jawab Davin tersenyum misterius.

"Siapa? " tanya keempatnya bersamaan.

"Belum waktunya kalian untuk tahu. Nanti, kalau sudah waktunya pasti Davin kabarin kok. Kalau perlu sekalian sama undangannya," jawab Davin terkekeh.

Keempat sahabatnya hanya mengangguk mengerti, menghormati privasi Davin. Karena mereka tahu, Davin bukan tipe orang yang terbuka soal kehidupannya apalagi soal kisah cintanya.

"Oke dah, kita tunggu undangannya," sahut Indra tersenyum.

Devan yang sedari tadi hanya menyimak, memilih untuk pamit terlebih dulu. Takut-takut kalau Fadhil akan mencari keberadaannya. Pasalnya, saat ditinggal tadi Fadhil tengah tidur siang. Sedangkan, sekarang sudah hampir masuk waktu ashar.

"Mas, Ndra, Vin, Abi balik duluan ya. Takut dicariin Fadhil, kalau Abi gak ada anaknya suka rewel. Susah nanti kalau terlanjur rewel," pamit Devan kemudian berlalu.

"Hati-hati, Bi. Jangan ngebut bawa mobilnya," ucap Adnan setengah berteriak karena Devan sudah berada diambang pintu keluar.

Devan hanya mengangguk sebagai jawaban, dan mengacungkan jempolnya kearah Adnan. Kakinya terus melangkah pasti menuju tempat mobilnya diparkirkan.

Ia membuka pintu depan dan mendudukkan diri di belakang kemudi. Kemudian menyalakan mesin mobilnya. Belum sempat kakinya menginjak pedal gas, pusing dikepalanya
kembali terasa.

Devan memijat pelan pelipisnya, namun bukannya berkurang pusing dikepalanya justru semakin terasa.

"Astagfirullah.
Arrrgghhhh, kepalaku malah pusing banget gini," ucap Devan lirih.

Ia mengambil sebutir obat dari dalam tas, kemudian menelannya dengan bantuan air mineral yang memang selalu tersedia di mobilnya. Sejenak Devan bersandar pada jok mobilnya, ia memejamkan kedua matanya. Pusing dikepalanya masih terasa, meski ia telah menelan obatnya.

Devan memilih beristirahat sejenak. Karena kalau ia nekat melanjutkan perjalanan, bisa saja malah membahayakan orang lain terutama dirinya sendiri.

Karena rasa khawatirnya pada Fadhil,
ia memilih keluar dari mobilnya dan menitipkan kunci mobilnya pada Pak Anwar.

"Pak, saya nitip kunci mobil. Tolong nanti bapak berikan ke Davin, atau kakak saya. Sebelumnya terimakasih, Pak," ucap Devan sambil menyodorkan kunci mobilnya.

"Baik Mas, Mas Abi sakit?
Kok kelihatan pucat banget," sahut pak Anwar.

"Memang agak pusing, Pak. Makanya gak berani nyetir sendiri. Takut kenapa-napa, kalau gitu saya duluan Pak. Assalamualaikum," jawab Devan kemudian berlalu.

"Hati-hati, Mas. Wa'alaikumsalam," jawab Pak Anwar.

Akhirnya Devan memilih naik taksi, untuk sampai di yayasan.
Selama berada di dalam taksi, Devan bersandar pada jok mobil dan memejamkan matanya. Karena pusing dikepalanya masih terasa, dan membuat kondisi fisiknya melemah.

Sopir taksi yang mengantar Devan, menawarkan untuk mengantarnya ke rumah sakit terdekat. Mengingat kondisi Devan yang terlihat sangat lemah, dan juga wajahnya yang pucat. Namun, ditolak oleh Devan.

"Mas, saya antar ke rumah sakit ya?
Saya takut Masnya kenapa-napa," ucap sopir taksi bernametage Putra.

"Nggak perlu, Mas. Saya baik-baik saja kok. Cuma agak pusing aja, setelah minum obat nanti juga baikan. Langsung ke yayasan saja, takut putra saya mencari saat terbangun nanti," jawab Devan.

Putra hanya mengangguk, meski sesekali ia menengok ke belakang melalui spion dalam. Takut, penumpang dibelakangnya pingsan .

Setelah hampir 30 menit, taksi yang ditumpangi Devan sudah masuk area yayasan. Devan segera turun, sesaat setelah membayar ongkos taksi. Tak lupa, ia mengucapkan terimakasih pada sopir taksi yang mengantarnya.

"Terimakasih, Mas," ucap Devan.

"Sama-sama," jawab Putra.

Melihat Devan yang berjalan tertatih, membuat Putra segera menghampiri dan membantu memapah tubuhnya.
Di teras depan, Faris dan pak Rizki segera menghampiri.

"Van, kamu kenapa?" tanya Faris.

"Kenapa pulang sendiri, Bi. Kakakmu mana?" tanya Pak Rizki.

"Devan baik-baik saja kok, Pa. Cuma agak pusing aja. Masih di resto, Yah. tadi Abi memang pulang duluan takut Fadhil kebangun dan nyariin," jawab Devan lemah.

"Ya sudah. Mas, terimakasih sudah mengantar putra kami," ucap Faris kepada Putra.

"Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu. Assalamu'alaikum," jawab Putra sekalian pamit undur diri.

"Wa'alaikumsalam," jawab ketiganya serempak.

Faris dan Rizki membantu Devan ke kamar yang biasa ditempati putranya.
Setelah sampai, mereka membaringkan tubuh Devan.

Disana Fadhil juga masih terlelap dalam tidurnya, membuat Devan bernafas lega karena putranya itu belum terbangun.

"Kamu istirahat saja, kita keluar dulu. Kalau butuh sesuatu panggil Papa atau Ayah," ucap Faris sambil menyelimuti tubuh Devan sebatas dada.

Devan hanya mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Ia mulai memejamkan matanya, hingga terdengar dengkuran halus.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top