Bagian 21

Devan menggendong Fadhil, kemudian beranjak ke halaman samping.

Mengawasi Fadhil, Arya serta Rafa yang tengah bermain sepeda.

Dengan sabar Devan mengajari Fadhil bermain sepeda, sambil menunggu bus yang menjemput mereka tiba.

Sama seperti Qanita dan Qania,  Maira juga mengamati Devan dari kejauhan. Kehadiran Devan mampu mengubah kehidupannya dan juga anak-anak asuhannya.

Jika dulu mereka hanya tinggal di bawah jembatan dengan beralaskan kardus, sekarang kehidupan mereka jauh lebih baik.

Melihat Devan,  mengingatkannya pada alm. putra semata wayangnya.
Andaikan putranya masih hidup,  saat ini seumuran dengan Devan.  Itu kenapa,  ia sangat menyayangi pemuda itu layaknya putra kandungnya.

Allah telah mengganti putranya yang telah pergi,  dengan pemuda yang luar biasa mulia. Airmatanya mengalir  deras,  mengingat semua hal yang pernah ia alami.

Namun, kini ia bersyukur karena apa yang dulu tak pernah berani ia bayangkan justru menjadi kenyataan yang sangat indah.

Melihat Devan bisa tertawa lepas  adalah nikmat yang luar biasa baginya. Maira tahu ada banyak luka dalam hati pemuda itu. Tapi selama ia mengenal Devan, pemuda itu tak pernah menunjukkan kesedihannya.

Devan yang ia kenal adalah pemuda yang ramah, santun, dan juga selalu tersenyum. Tak heran, jika ada banyak yang mengagumi sosok pemuda itu. Tak terkecuali dirinya, kalau pun dia masih muda pasti juga akan menyimpan rasa untuk Devan.

Dari penglihatannya,  Qanita juga Qania termasuk salah dua yang mempunyai rasa lebih untuk pemuda itu. Tampak dari wajah keduanya yang tersenyum malu saat berhadapan dengan Devan.

Ia rasa,  Devan tidak pernah menyadari hal itu.  Karena sifatnya yang memang lebih tertutup apalagi tentang perempuan. Selama mengenal Devan, tak sekali pun ia melihat pemuda itu dekat dengan makhluk yang bernama perempuan.

Kecuali dirinya,  Qanita dan juga Qania yang memang notabene pengasuh di Yayasan. Kedekatan yang tercipta pun hanya sekedar berbincang tentang perkembangan Yayasan dan juga anak-anak.

Lamunannya terhenti ketika Devan menepuk pundaknya. Entah sejak kapan pemuda itu menghampiri,  ia sendiri tidak  tahu.

"Bunda, kenapa?"

Maira berjengit kaget, saat suara Devan menyapa indra pendengarannya.

"Bi, buat bunda kaget saja kamu.  Ada apa? "

"Busnya udah datang, anak-anak udah naik semua tinggal nunggu bunda."

"Ya sudah, kamu duluan aja nanti bunda nyusul"

Devan mengangguk, lantas berbalik menuju bus.

Setelah semua siap,  bus itu melaju ke tempat pertama yaitu Gembira Loka Zoo.

Sesampainya di sana, Devan mengantri untuk membeli tiket. Setelahnya baru mereka memasuki area kebun binatang.

Adnan dan Fauzan ternyata sudah sampai terlebih dahulu, mereka sudah menunggu di pintu masuk Gembira Loka Zoo.

Setelah puas berkeliling,  mereka memutuskan beristirahat sejenak.  Sebelum melanjutkan ke tempat wisata selanjutnya.

Waktu berlalu tanpa disadari. Hari sudah sore, saat bus yang mereka tumpangi keluar dari area Museum Dirgantara.

Devan serta Fadhil ikut didalam mobil Adnan.  Sehingga mereka tiba lebih dulu di Yayasan.
Tak berselang lama, bus yang membawa anak-anak memasuki pelataran Yayasan. Anak-anak terlihat ceria, meski ada gurat lelah diwajahnya.

"Anak-anak mandi dulu baru nanti boleh istirahat," ucap Maira lembut.

"Siap, Bunda," jawab anak-anak serempak.

Begitu juga dengan Qanita dan Qania yang segera pamit untuk membersihkan diri.

Adnan serta Fauzan juga ikut pamit, meninggalkan Maira serta Devan di teras depan.

Sementara Fadhil, ikut bersama Adnan karena dijanjikan dibelikan kurma serta susu coklat yang banyak.

"Bi, menurut kamu Qanita dan Qania gimana? " tanya Maira tersenyum lembut.

Devan mengerutkan keningnya,  tak paham arah pembicaraan sang Bunda.

"Menurut kamu sebagai seorang laki-laki. Dari pengamatan Bunda, mereka memiliki perasaan lebih ke kamu," ucap Maira pelan.
Devan hanya tersenyum, tak tahu harus menanggapi bagaimana. Ia sebenarnya merasa sih, meski bukan tipe orang yang peka.

"Itu hak mereka kok, Bun. Kalau Abi menganggap perasaan itu wajar kok.  Asal ada pada tempatnya,  dan tidak merugikan atau merusak," jawab Devan tenang.

"Kalau kamu disuruh memilih antara mereka berdua kamu mau milih siapa  Bi? " tanya Maira memancing Devan.

"Dua-duanya baik, sopan dan penyayang. Kalau Abi sih siapa pun itu asal bisa menerima Fadhil dan juga kekurangan dalam diri," jawab Devan.

"Apa dari keduanya gak ada yang menarik hatimu Bi? tanya Maira lagi.

"Qania, pribadinya yang tampak  diam dan malu-malu yang kadang membuat Abi terpesona," jawab Devan.

Dari balik pintu,  ada sepasang telinga yang mendengar pembicaraan itu.  Hatinya berbunga-bunga, mendengar pengakuan dari Devan.
Ia segera berlalu ke kamarnya dengan senyum cerah menghiasi wajahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top