Bagian 2
“Berbuat baiklah di mana saja, kapan saja dan dalam keadaan apa pun selagi kamu mampu."
~Devandra Abimanyu~
Siang itu Devan mengajak timnya untuk merayakan kemenangan atas pertandingan yang kemarin diikuti. Binar bahagia itu tampak terlukis jelas di wajah. Bagaimana tidak, selama sebulan penuh hampir semua semua waktu yang dimiliki tersita untuk latihan. Semua perjuangan itu tidak sia-sia karena gelar juara kembali disandang untuk kesekian kali.
Mereka pergi ke restoran yang sudah menjadi langganan selama dua tahun terakhir ini. Setiap kali memperoleh kemenangan, tempat itu menjadi tempat yang wajib dikunjungi.
Sesampainya di restoran yang dituju, mereka terkejut karena keadaan restoran yang sepi dan berantakan. Tak lama terdengar suara barang-barang berjatuhan dari arah dapur dan juga suara minta tolong.
"Tolong, jangan hancurkan restoran ini. Ini satu-satunya mata pencaharian untuk membiayai hidup dan juga pendidikan kedua putraku," ucapnya memohon.
Namun, permohonan itu sama sekali tidak dihiraukan, keempat pria berbadan kekar di sana tetap mengobrak-abrik bagian dapur. Devan yang berlari terlebih dulu, mendengar semua pembicaraan mereka.
"Apa-apaan kalian, beraninya hanya sama orang tua. Kalau ada masalah bisa diselesaikan baik-baik,” ucap Devan lantang.
Kelima orang yang berada di sana menoleh. Merasa ditantang, keempat pria itu mendekati Devan yang masih berada di ambang pintu dapur. Mereka menyerang bersamaan karena berpikir dapat mengalahkan lawannya dengan mudah.
Namun, mereka memilih lawan salah. Dengan sigap, Devan mampu menangkis semua serangan itu. Dalam lima menit, keempatnya sudah terkapar tak berdaya.
"Bapak, baik-baik saja?" tanya Devan pada pemilik restoran.
"Terima kasih, Nak Devan. Kalau enggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi," ucap Pak Rizki tersenyum.
Devan hanya mengangguk dan tersenyum. Keempat preman yang terkapar, telah dibekuk oleh polisi. Fabian yang menghubungi pihak kepolisian. Setelah preman itu dibawa pihak kepolisian, pemuda itu beserta timnya duduk di salah satu meja di sudut ruangan.
"Sebenarnya mereka siapa, Pak? Kenapa mereka sampai mengobrak-abrik tempat ini?" tanya Fabian.
Pak Rizki terdiam cukup lama, tak tahu harus memulai dari mana. Ia merasa malu untuk bercerita tentang kehidupannya, tetapin Devan berhasil membujuk beliau untuk bercerita.
Lelaki bertubuh kurus itu pun menceritakan perihal utangnya yang belum terlunasi, sehingga membuat rentenir itu marah dan membuat kekacauan di restoran.
"Mereka orang suruhan Tuan Marko, salah satu rentenir di sini. Saya berhutang dua puluh juta, tetapi setahun ini sudah mencapai dua puluh lima juta beserta bunganya."
"Saya sudah membayar lima belas juta dan sisanya belum bisa dibayar. Beliau meminta agar hari ini juga dilunasi. Namun, saya sama sekali tak punya uang lagi," lanjut Pak Rizki menunduk lesu.
Devan menyimak dengan baik setiap ucapan lelaki paruh baya itu, ia memutar otak mencari cara untuk membantu. Pemuda itu tersenyum sumringah begitu sebuah ide terlintas di otaknya.
“Bapak tidak perlu khawatir, insya Allah utang Bapak bisa lunas hari ini. Saya permisi sebentar karena ada hal yang harus dilakukan.” Devan beranjak pergi.
Pak Rizki mengangguk pelan, begitupun dengan yang hadir di sana. Ketika Devan telah berlalu, mereka beradu pandang. Namun tak ada yang tahu, apa yang kira-kira akan dilakukan oleh pemuda itu.
"Bapak tidak perlu cemas, Devan pasti akan membantu. Dia sebenarnya anak yang baik, hanya saja ayahnya selalu mengabaikan keberadaannya," ucap Indra sendu.
"Maksudnya mengabaikan?" Pak Rizki menatap Indra penasaran. Semua orang yang ada di sana turut menatap pemuda berwajah oval itu, menuntut penjelasan.
"Ibunya meninggal saat Devan lahir, itu yang membuat sang ayah sangat membenci. dan mengabaikan kehadirannya. Dia menganggap Devan sebagai pembunuh sang istri.”
Semua orang yang ada di sana menatap Indra tak percaya. Lebih tepatnya tak menyangka semua itu menimpa Devan karena yang mereka tahu, pemuda itu selalu tampak baik-baik saja. Wajahnya selalu menampakkan senyuman, sehingga tak ada yang menyadari bahwa ia tengah berduka ataupun terluka.
Seorang pemuda tergesa memasuki area restoran. Dari gurat wajahnya, tampak pemuda itu begitu gelisah, apalagi saat masuk dan melihat semua kekacauan yang terjadi.
Pandangannya diedarkan ke suluruh penjuru restoran. Saat matanya menangkap seseorang yang dicarinya baik-baik saja, dia tersenyum lalu bergegas menghampiri.
"Ayah baik-baik saja ‘kan? Adnan khawatir," ucap pemuda itu.
"Ayah baik-baik saja, kamu tidak perlu khawatir."
****
Devan melajukan motornya menuju ATM terdekat untuk melakukan tarik tunai guna membantu Pak Rizki. Setelah transaksi selesai, ia segera kembali ke restoran. Sesamainya di sana ia segera menyerahkan sejumlah uang yang dimasukkan ke dalam amplop cokelat.
"Semoga ini bisa membantu Bapak untuk melunasi utang sekaligus
merenovasi restoran ini," ucap Devan.
Pak Rizki tak mampu berkata-kata, terlampau terkejut dengan apa yang diterima dari pemuda itu. Setelah mengecek isinya, di dalam sana terdapat uang dengan jumlah dua puluh juta.
"Terima kasih sudah membantu, uang di dalamnya lebih dari cukup untuk melunasi utang kami. Mulai saat ini, restoran ini juga milikmu," ucap Adnan tersenyum.
Devan menatap Adnan tak percaya, Pak Rizki mengangguk tanda membenarkan ucapan putranya.
"Kamu tenang saja, kami akan membantumu untuk mengembangkan restoran ini. Kamu bisa mengambil alih restoran ini, saat telah mampu mengelolanya.Kamu tetap bisa mengendalikan restoran ini sesuai keinginanmu." Pak Rizki tersenyum.
Saat semua orang sibuk menata kembali meja dan kursi yang berantakan, Devan, dan Adnan berada di ruang kerja Pak Rizki.
"Van, terima kasih sudah membantu. Kalau enggak ada kamu, kami tidak tahu apa yang akan terjadi." Adnan menerawang.
"Sama-sama, Mas. Boleh saya mengusulkan untuk nama restoran ini menjadi Edelweis dan agar semua orang di sini memanggil saya dengan sebutan Abi bukan Devandra.”
Adnan mengangguk, meski ada banyak pertanyaan yang bersarang di benak, tetapi memilih tak bertanya lebih. Tak lama kemudian, Pak Rizki datang dan bergabung dengan dua pemuda itu.
"Devan, kalau kamu mau, saya ingin menjadikan kamu bagian dari keluarga saya. Sejak dulu, sudah menganggapmu sebagai putra kandungku sendiri. Kamu boleh memanggil saya dengan sebutan ayah dan menganggap Adnan sebagai kakakmu," ucap Pak Rizki.
Devan terdiam sesaat, tak tahu harus menjawab apa. Di saat ayahnya tak mau mengakui sebagai anak, justru ada orang lain yang menawarkan diri menjadi bagian dari keluarganya. Jujur, pemuda itu sangat bahagia dan merasa tersentuh dengan kebaikan lelaki itu.
"Terima kasih, tiada kata lain yang bisa kuucap. Ayah dan Mas Adnan adalah salah satu anugerah terindah dalam hidupku. Abi ingin semua orang yang berhubungan dengan Ayah, Mas Adnan dan restoran ini memanggilku dengan nama, Abi," jawab Devan.
"Orang tuamu pasti bangga memiliki putra sehebat ini, terima kasih karena mau menerima kami sebagai keluarga. Mulai saat ini kamu bagian dari keluarga Nugraha." Adnan tersenyum.
Devan hanya mampu tersenyum masam mendengar penuturan Adnan, tidak yakin Faris bangga memiliki putra sepertinya. selama ini, hanya tatap penuh kebencian yang selalu ia terima di setiap hari. Faris bahkan tak pernah sekali pun bersikap manis, justru sering bersikap sebaliknya.
Hari itu Devan menjadi anggota dari keluarga Nugraha, bukan hanya secara lisan, tetapi telah diakui di mata hukum. Seminggu kemudian surat adopsi atas Devan telah keluar. Rizki Nugraha mengadopsi pemuda itu secara resmi melalui pengacara keluarga. Dia tak memerlukan izin dari Faris karena pemuda itu sudah dewasa, sehingga telah mampu memilih mana yang terbaik untuknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top