Bagian 14

Yayasan Ar-Rahim...
 
Suasana pagi yang penuh kehangatan adalah hal yang selalu Devan rindukan saat berada di yayasannya.

Riuh dengan suara anak-anak yang akan berangkat ke sekolah masing-masing. Juga karena ulah anak-anak yang  sering membuat geleng-geleng kepala.

Tak terkecuali, si kecil Fadhil. Pagi-pagi udah nangis kejer karena ditinggal oleh Devan shalat subuh berjamaah di Masjid.

Devan yang baru kembali dari masjid, disambut oleh Fadhil dengan wajah sembab karena menangis. Juga anak-anak yang begitu antusias dengan hadirnya.

"Assalamualaikum" sapa Devan di ambang pintu.

Mendengar suara Devan,  anak-anak yang tadinya ribut di meja makan berhamburan keluar.

"Wa'alaikumsalam, Mas Abiii" jawab mereka serempak sambil berlari menghampiri Devan.

Mereka berebut menyalami tangan Devan, hingga membuat pemuda itu kewalahan.  Senyum terukir indah dibibirnya, ia berjongkok mensejajarkan badannya dengan anak-anak.

"Mas Abi, kok nggak pernah kesini. Kita kan kangen sama Mas Abi", si centil Cantika memeluk tubuh Devan. 

"Iyah, Mas Abi"  jawab anak-anak lainnya.

"Maaf ya anak-anak, kemarin Mas Abi lagi sibuk. Sebagai gantinya gimana kalau ahad besuk kita jalan-jalan ?" jawab Devan sambil tersenyum manis.

"Beneran, Mas?" tanya anak-anak serempak.

Devan mengangguk, sungguh hatinya merasa bahagia saat melihat wajah ceria anak-anak di hadapannya.

Maira tersenyum dari kejauhan, melihat interaksi Devan dan anak-anak. Tak terasa airmata haru mengalir dari sudut matanya.

Betapa mulianya hati Devan, disaat hidupnya sendiri penuh dengan duka dan lara, ia masih mampu  berbagi kebahagiaan.

Dari arah taman belakang, Fadhil yang digendong oleh Qanita  meronta diturunkan.

Setelah kakinya menginjak lantai, ia berlari menghampiri Devan.

"Mas Abii....."

Melihat kehadiran Fadhil, Devan  berdiri kemudian menghampirinya.

Diangkatnya tubuh Fadhil dalam gendongannya, wajahnya sembab  habis menangis.

"Kamu kenapa, Dek??
Jelek banget mukanya, bau asem juga. Belum mandi ya, nggak malu dilihat sama teman-temannya itu" ucap Devan mengusap punggung Fadhil.

"Dari bangun tidur, Dek Fadhil nangis nyariin mMas Abi. Diajak mandi nggak mau, katanya mau sama Mas Abi" Qanita menyahuti.

Tangan mungil Fadhil memeluk Devan semakin erat,  wajahnya ia sembunyikan didada pemuda itu .

"Fadhil sama Mbak Qanita dulu ya, Mas Abi mau mandi dulu. Kamu mandi sama Mbak Qanita aja" Devan menggoda Fadhil dengan mengangkat tubuh mungilnya untuk di serahkan di gendongan wanita itu.

"Adhil nggak mau, mau Mas Abi. Mandi sama Mas Abi, ikut Mas Abi" jerit Fadhil.

"Fadhil kalau udah ada Mas Abi mah nggak mau sama yang lain. Manja banget kamu, Dek. Biasanya juga kalau nggak ada Mas Abi sama Mbak dan Bunda" ucap Qanita mencubit pelan pipi Fadhil.

"Mas Abi  'kan udah datang, Fadhil jangan ngambek gitu. jelek  banget, Dek" Maira menghampiri ketiganya.

"Bun, Nit, Abi ke atas dulu. Mau mandiin Fadhil, sekalian mau ganti baju. Kalian sarapan dulu aja, nanti kita nyusul" ucap Devan berlalu.

Maira dan Qanita mengangguk, mereka memperhatikan Devan hingga ia hilang dari pandangan.

"Mas Abi itu baik dan penyayang banget ya, Bun. Pasti beruntung banget orang yang akan menjadi istrinya nanti" ucap Qanita tersenyum simpul.

"Dia pemuda yang luar biasa, memiliki hati seluas samudera. Meski ia sering tersakiti, dan ada banyak  luka dan kecewa tapi tetap terlihat ceria. Seolah semua baik-baik saja, dia juga masih mampu berbagi kebahagiaan" jawab Maira tersenyum.

"Qanita nggak tahu, Bun. Seandainya aku yang ada di posisinya Mas Abi, apakah bisa sekuat dan setegar dia saat ini. Begitu cintanya Allah sama Mas Abi, hingga memberikan ujian bertubi-tubi padanya" ucap Qanita menahan tangis.

Maira mengusap puncak kepala Qanita yang terbalut jilbab, ia sebenarnya tahu tentang perasaan wanita dihadapannya ini pada Devan.

"Bersyukur,  itu yang menjadi kunci kebahagiaan Abi. Menerima segala ketetapan-Nya dengan ikhlas, dan bersabar dalam menjalani semuanya" ucap Maira tersenyum.

Kedua wanita beda generasi itu kembali ke meja makan, dan sarapan bersama anak-anak.

Tepat pukul 06.30 anak-anak sudah berangkat ke sekolah masing-masing, mereka  diantar-jemput oleh bus yang memang disediakan oleh yayasan.

Devan yang sudah rapi, terlihat menuruni anak tangga dengan Fadhil dalam gendongannya.

"Bun, Fadhil biar sama Abi. Masih kangen kayaknya, gak mau lepas dari Abi anaknya. Mungkin mulai sekarang ini, Abi ngajak Fadhil. Boleh, Bun?" tanya Devan.

Maira mengangguk dan tersenyum.

"Makasih, Bun. Abi jalan dulu ya. Maaf gak bisa sarapan dulu, dari tadi udah direcoki Mas Adnan dan Mas Fauzan suruh ke rumah Ayah" ucap Devan mencium punggung tangan Maira.

Dari tempatnya, Qanita tersenyum. Sudah lama, ia mengagumi sosok Devan yang hangat dan juga lembut tutur katanya. 

"Aku selalu berharap menjadi orang beruntung yang akan menjadi istri kamu dimasa depan, Mas" bisiknya dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top