Ketika Senja Mengguratkan Jingganya

“Kau bilang, kau mengincarnya sejak lama, bukan? Jadi, apa yang kau tunggu? Ayo nyatakan perasaanmu sekarang!” desak Nayra dengan tangan yang sudah menggenggam gadis di depannya erat.

Kaila bersandar di kursi sembari menghela panjang, menatap langit-langit kelas yang
menurutnya lebih menarik dari pembahasan sahabatnya.

“Tidak mungkin aku mengatakan hal itu padanya, Nayra. Aku ini perempuan, seharusnya laki-laki yang menyatakan lebih dulu,” balasnya tanpa menatap Nayra.

Cukup lama Kaila dan seorang seniornya dekat. Saking dekatnya, terkadang kedua orang itu kerap pulang bersama bahkan saling bertukar pesan hingga larut malam. Kaila menyukai kakak seniornya di kampus itu. Bahkan ia telah menyukainya sejak beberapa bulan lalu tepat di hari ke tujuh ia menjadi seorang mahasiswa.

Ingin sekali rasanya ia mengungkapkan segalanya. Namun, untuk saat ini, ia tidak menangkap rasa apapun dari orang yang disukainya. Kaila ragu. Pemuda itu datang karena penasaran atau benar-benar ingin menetap?

Terdengar desisan pelan dari bibir Nayra. Ia menggeser kursinya agar lebih dekat pada Kaila.

“Siapa yang waktu itu mengatakan bahwa tidak harus melulu laki-laki yang menyatakan perasaaan lebih dulu? Perempuan juga harus bertindak duluan. Ayo katakan padaku, wahai Kaila Zhafira.”

Kaila mendengkus dengan kepala tegak menatap sahabatnya. Ya ... itu adalah kalimatnya dan alasannya memang benar. Ia mengatakan itu padanya saat Nayra bimbang pada pemuda yang saat ini telah resmi menjadi kekasihnya.

“Itu ceritanya berbeda, Nay. Kau dan Dion waktu itu sama-sama telah mengetahui rasa masing-masing. Sedangkan aku ... aku bahkan tidak tahu rasanya padaku. Dia benar-benar serius atau dia hanya penasaran?”

Nayra memutar bola matanya. Embusan napas berat juga mengiringi. “Baiklah. Aku akan menunggu kabar baiknya saja. Aku benar-benar tak ingin kau terus merana karena memikirkan ketidakpastian dari kakakmu itu.”

“Dan ... kuharap kau segera memilikinya,” bisiknya sembari memerhatikan keadaan sekitar. Seperti ... tengah membicarakan sebuah rahasia. “Di dalam kelas ini ada beberapa orang yang juga tertarik pada seorang Devin Reinaldo. Aku takut jika nanti mereka yang akan mendapatkannya lebih dulu.”

Hampir saja Kaila tergelak karena ucapannya jika saja tidak memerhatikan beberapa orang yang juga memasuki kelas. “Itu tidak akan terjadi. Jika Kak Devin lebih menyukaiku daripada mereka, mau apa mereka?”

Nayra tertawa, tawa yang terkesan meledek. “Huh ... percaya diri sekali! Baru saja aku menyuruhmu untuk menyatakan perasaan lebih dulu, tapi tidak mau. Lalu, bagaimana kau bisa mendapatkannya?”

“Sudahlah, aku tidak ingin membahas hal itu saat ini.” Mencoba mengabaikan perkatan Nayra, dikeluarkannya sebuah novel dari dalam tas. Setidaknya hal itu bisa melepaskan beban ini untuk sejenak. Akan tetapi, perkataan Nayra kembali menggerayangi kepalanya. Haruskah ia nyatakan lebih dulu?

***

“Ayo kita ke kafe dekat sini,” ajak Nayra sesaat setelah kedua gadis itu keluar dari kelas. Mereka berjalan beriringan hendak keluar dari pelataran kampus yang sangat luas itu.

“Tidak, aku tidak mau. Aku ingin segera pulang, Nay.” Kaila menyahut dengan nada lelah. Ah, hari sudah semakin sore dan sepertinya sangat menyenangkan bergelung di balik selimut.

“Oh, ayolah, Kai.” Wajah Nayra berubah memelas. Ia menarik-narik tangan Kaila berusaha membujuk.

Kaila menghentikan langkahnya. Ia menatap sahabatnya dengan wajah tanpa ekspresi. “Aku lelah, Nay. Punggungku sudah tidak sanggup menahan beban lagi.”

“Tap−”

“Hai, Kaila!”

Suara bariton yang berasal dari belakang Nayra memotong kalimatnya. Nayra mendesis kesal hingga akhirnya pemuda yang menyapa tadi menghampiri mereka.

“Oh, hai, Kak Devin!” sahut Kaila dengan memberi sedikit senyuman.

Nayra lantas mengulum senyumannya. Di dalam kepala cantiknya, ia berpikir betapa
beruntungnya Kaila.

“Mau pulang bareng?” tawar Devin dengan senyum mengembang.

Terjadi keheningan. Kaila bingung hendak mengatakan apa. Bukannya tak mau, ia bahkan telah memikirkan hal ini saat masih berada di dalam kelas tadi. Namun, apa ia bisa mengontrol detak jantungnya nanti? Oh, ayolah.

“Emh ... aku−”

“Ya, dia akan pulang bersama Kakak,” potong Nayra cepat sembari mengangguk kecil.

Kaila mentap sahabatnya itu tajam. Apa maksudnya ini? Namun, Nayra seakan memberi kode semua akan baik-baik saja.

Senyum merekah tergambar jelas di wajah Devin. Pemuda itu kemudian menatap Kaila. “Tapi Kakak tidak puas jika tidak mendengarnya sendiri.”

Ah, tidak! Jangan lagi. Senyum itu adalah kelemahan Kaila. Lihat gadis itu sekarang, wajahnya tak dapat menahan senyum lagi dan juga detak jantungnya yang tidak bisa diajak kompromi.

Kaila mengangguk gugup. “Baiklah, Kaila akan pulang bersama Kakak.”

Okay, selamat bersenang-senang!” pekik Nayra kegirangan. “Oh, iya, jangan lupa soal pembicaraan kita tadi siang, Kai. Aku duluan, Daahh.”

Nayra beranjak dari sana dengan langkah cepat, meninggalkan sepasang muda-mudi yang terpaku di sana.

“Sebenarnya, Kakak ingin membawamu ke suatu tempat dulu, boleh, kan?” Devin memecah keheningan yang sempat terjadi di antara mereka.

Kaila menatap Devin sejenak kemudian mengangguk. “Baiklah, tapi kita mau kemana?”

“Kamu akan tahu nanti.”

***

Dan di sinilah sepasang muda-muda itu berdiri sekarang, Kaila dan Devin menatap langit yang mulai menjingga di sebuah taman bunga. Tamannya hampir tanpa pengunjung. Barangkali karena hari yang menjelang malam.

“Kaila,” panggil Devin dengan mata yang masih memandang takjub langit jingga. Kaila mendengar, tapi ia tidak berniat untuk menoleh sam sekali. Jika Devin akan bicara, toh, Kaila juga akan, mendengarnya, bukan?

“Kaila,” panggilnya lagi. Gadis itu hanya bergumam kecil menanggapi, terlalu sibuk memandangi langit yang jingganya sangat indah itu.

Devin berdecak sebal menatap Kaila yang berdiri di kirinya. Tentu saja hal itu karena Kaila tak kunjung menoleh.

“Kenapa? Mengapa Kakak terlihat kesal begitu?” Kaila akhirnya menoleh, menatap wajah Devin yang kesal itu.

“Tentu saja karena dirimu,” balasnya dengan nada kesal. “Aku memanggilmu beberapa kali dan kau sama sekali tidak menoleh. Apa senja itu lebih indah dari Pangeran di sebelahmu?”

Kaila hampir saja tergelak keras tatkala mendengar kalimat terakhir darinya. Oh, astaga ... mengapa ia begitu menggemaskan dengan wajah seperti itu?

Devin tak bisa menahan senyumnya saat melihat Kaila yang hampir tertawa. “Tertawalah. Aku suka melihat wajahmu berseri di bawah semburat jingga,” katanya tanpa sadar.

Kaila menundukkan kepalanya. Ia malu sekaligus senang. Ah, mengapa Devin malah membuatnya malu?

Devin yang tadinya terus menatap Kaila, kini beralih pada langit di depannya. “Indah, ya?”

Kaila mengangguk. Kali ini ia juga kembali menatap langit. “Hmm, Hari ini senjanya begitu indah.”

“Bukan, bukan itu,” kata Devin. Ia kembali menoleh menatap sepasang mata coklat milik Kaila. “Tapi senyum kamu.”

Gadis itu menghela. “Berhentilah membual, Kak.” Tidak, sebenarnya ia bahagia. Namun, tak mungkin ia mengekspresikannya begitu saja. Barangkali Devin memang bercanda, kan?

Devin tertawa renyah. Ia suka sekali melihat wajah Kaila. Sinar matahari yang semakin menjingga, membuat Kaila sangat menawan.

“Kakak tidak berbohong. Itu yang sebenarnya.”

Kaila melirik pemuda di sampingnya sekilas lalu memutar bola matanya. “Baiklah, terserah Kakak saja.”

“Menurutmu, sudah berapa lama kita saling mengenal?” tanya Devin yang melihat wajah Kaila dari samping.

Kaila bergidik. “Entahlah. Mungkin sekitar dua bulan.”

Tidak, Kaila berbohong. Ia mengingat segalanya. Bahkah saat pertama kali ia berkenalan dengan Devin. Gadis itu menghitung harinya dengan tepat, mencatat momen penting bersama pemuda itu di buku harian, kemudian mengetiknya lagi di dalam laptopnya. Berlebihan memang, tetapi begitulah Kaila.

Mata Devin menelisik garis jingga yang mulai menyentuh biru tua itu. Malam akan datang.

“Tak terasa, kita sudah saling mengenal cukup lama, ya.”

“Ya, terlalu lama hingga rasa ini semakin mendalam. Aku butuh sebuah kepastian, Kak Devin,” batin Kaila.

Terdengar helaan napas berat dari bibir Devin. “Kakak takut ... ini semua menyiksa kamu, Kaila.”

Dengan cepat, Kaila menoleh pada Devin. Kedua alisnya saling bertautan. “Maksudnya?”

Devin membuat mereka berdua kini berdiri saling berhadapan. Saling menatap satu sama lain. “Jujur, Kakak nggak mau ini semua jadi tidak jelas. Kakak perhatian sama kamu, Kakak baik sama kamu, tetapi seolah-olah semua orang menyimpulkan hal itu adalah sebuah keistimewaan. Kakak rasa Kaila juga berpikir seperti itu.”

Sepasang mata coklat itu masih menatap Devin dalam. Hingga saat ini, gadis itu masih tak mengerti apa yang sedang dikatakan pemuda itu. Namun, detak jantungnya terus berkata jika sesuatu yang tidak baik akan terjadi.

“Menurut kamu ... Kakak ini memberi sebuah harapan untuk Kaila atau tidak?”

Kaila sedikit terkejut. Apa maksudnya lagi ini? “Sepertinya ... ya.”

Devin menunduk sesaat lalu kembali lagi menatap Kaila. “Itu yang Kakak takutkan. Bukannya Kakak ingin menyakiti Kaila, tapi sejujurnya Kakak cuma mau kenal lebih dekat bagaimana sosok Kaila sebenarnya.”

Kalimat itu seperti menusuk jantungnya. Gadis itu menunduk kala menyadari pemikirannya selama ini memang benar. Dan yang paling bodoh, mengapa ia masih menumbuhkan rasa itu?

“Kakak minta maaf, Kaila. Kakak benar-benar tidak bermaksud,” ucap Devin tulus.

Kaila langsung mendongak. Tidak, jangan jatuhkan air mata itu sekarang. Ini bukan waktu yang tepat. “It’s okay. Mungkin persepsi Kaila selama ini memang benar, Kak Devin hanya sekedar penasaran.”

“Tidak, aku sangat kecewa!” Kaila hanya bisa berteriak di dalam hati. Ingin ia katakan segalanya. Namun apa daya, bibir bahkan tak bisa berkata lebih dari sekedar tak apa.

“Kakak mohon jangan marah,” kata Devin lagi sambil menatap Kaila takut-takut.

Kaila memaksakan sebuah senyuman, berharap Devin tidak mengetahui bahwa itu adalah sebuah senyum luka. “Kaila tidak marah. Tenang saja. Lagipula, di dunia ini tidak harus tentang rasa, bukan?”

Devin membalas senyum itu dengan ragu. Ah, mengapa sekarang keadaannya malah semakin canggung? “Yaa ....”

Tiba-tiba, seseorang dengan pakaian serba hitam dan juga penutup wajah mengunci leher Kaila dengan lengannya. Seseorang dengan postur tegap itu langsung saja mengeluarkan belati dari sakunya, mengunci pergerakan gadis itu dengan meletakkan benda itu tepat di depan leher Kaila. Kaila menjerit, sedangkan Devin tersetak kaget dengan wajah pucat pasi, takut hal buruk terjadi pada Kaila.

Devin mencoba maju beberapa langkah tatkala pria itu melangkah mundur dengan membawa Kaila.

“Jangan mendekat! Atau peluru akan bersarang di kepala cantiknya,” ancam pria itu. Tubuh Kaila bergetar, wajahnya pucat. Ia sangat tak ingin sebuah kejadian buruk terjadi.

“Aku mohon lepaskan dia,” pinta Devin dengan wajah kalut. “Aku akan lakukan apapun untukmu.”

Pemuda itu benar-benar tak tahu siapa pria yang hendak mecoba menyakiti Kaila. Ia hanya bisa menebak, mungkin saja pria itu buronan polisi atau perampok.

“Buang ponselmu!” serunya.

“Apa?” Devin mengerjab tak mengerti.

“Aku bilang, buang ponselmu!”

“A-ah, i-iya. Baiklah.” Devin merogoh kantongnya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah benda pipih lalu membuangnya entah kemana.

“Jangan berani-berani untuk menghubungi polisi,” ancamnya lagi.

Devin mengangguk. “Baiklah. Tapi aku mohon, jangan sakiti gadis itu.”

Pria itu lantas tertawa kencang. Hal itu membuat Devin mengernyit bingung. Apa ia pasien rumah sakit jiwa? Sedangkan Kaila semakin ketakutan. Pikiran yang mengatakan bahwa hal buruk benar-benar akan terjadi semakin membuatnya kalut.

“Semua telah terlambat, Anak muda.”

Jleeebbb ....

Devin membelalak tatkala matanya menangkap tangan pria gila tadi menusukkan belati di dada Kaila. Kakinya terasa lemas saat menyadari belati itu tertanam dekat dengan jantung si gadis. Pelaku yang tadinya mengunci Kaila, pergi begitu saja dari sana.

Pemuda itu lantas menangkap Kaila yang dibiarkan begitu saja, membaringkan Kaila di atas rerumputan dengan kepala yang bertumpu pada pahanya. Ditangkupnya wajah Kaila dengan kedua tangannya. Hingga pada akhirnya, darah yang mengalir dari pelipis Kaila mengenai tangan hingga kaosnya.

Matanya memanas. Ia benar-benar tak sanggup menahannya lagi. Ya, Devin menangis sembari menatap Kaila yang berusaha mengatur napasnya.

“Kaila ... nggak tau harus ... mulai darimana.” Kalimatnya terputus-putus. Ia masih menahan rasa sakit di dadanya yang menjadi-jadi. Pasokan oksigen di sekitar gadis itu rasanya juga mulai menipis.

“Jangan paksakan untuk bicara dulu, Kaila−”

Kaila menggeleng lemah sembari terus berusaha mengambil oksigen yang terasa sangat tipis di sekitarnya. “Kaila ... ingin mengungkapkan ... semuanya, Kak.”

“Sebenarnya ... sebelum awal perkenalan itu ..., Kaila telah tertarik pada Kakak. Namun nyatanya, harapan tinggi yang Kaila ... bangun dengan kokoh itu runtuh juga.” Kaila menarik napas panjang, menetralkan denyut di sekujur tubuhnya. “Tapi ..., jika Kakak lebih ... nyaman kita sebagai kakak adik ..., maka biarkan itu ... yang terjadi. Kaila tetap akan ... menyayangi Kakak.”

Kalimat itu seakan telah menghantam dada Devin dengan kuat. Begitu menusuk. Mengapa, mengapa semuanya terjadi di saat yang sangat terlambat? Tidak, pada dasarnya Devin sangat menyesal telah mengatakan bahwa ia ingin Kaila sebagai adiknya.

“Kaila bodoh. Walaupun udah ... diperingatkan da-dari awal, rasa Kaila malah ... malah bertambah besar. Tapi ... jika hanya dengan sebagai adik ... Kaila bi-bisa terus dekat dengan Kakak, maka ... Kaila akan lakuk-an apapun. Lagipula ... Kaila akan bahagia ... pu-punya Kakak seperti Kak Devin,” tuturnya lagi.

Tidak dapat dipungkiri, jantungnya seakan telah mencelos hanya karena berkata seperti itu. Setitik air mata kemudian jatuh dari pelupuknya.

Rasa sakit di dadanya semakin menjadi. Kaila terus meringis kesakitan dengan mata terpejam. Ia merasa, ini mungkin adalah akhir dari dirinya. Di dalam hati, ia bersyukur masih diberi waktu untuk menyatakan rasanya. Sekarang janjinya pada Nayra telah tertepati, gadis harus bertindak lebih dulu jika pemuda terus mengulur.

Tangis Devin semakin keras. Sebelumnya, ia tidak pernah menangis untuk perempuan manapun, kecuali ibunya. Ia membawa Kaila dalam pelukannya seakan sangat takut jika gadis itu pergi. Pakaian yang dikenakannya bahkan juga telah ikut berdarah.

Kaila meremas pelan tangan Devin yang menangkup wajahnya setelah pelukannya terlepas, memegangnya untuk sesaat karena mungkin, ia takkan pernah menyentuh atau bahkan melihatnya lagi. Seutas senyum ia torehkan untuk Devin.

“Terima kasih karena telah membuat dunia Kaila berwarna. Terima kasih untuk momen indah yang telah kita lalui bersama.”

Kaila menghela panjang. Kepalanya semakin berat dengan denyut yang semakin tak tertahankan, pandangannya juga mulai memburam.

“Thanks and goodbye,” lirihnya
kemudian menutup matanya perlahan. Dapat Devin rasakan, pegangan Kaila pada tangannya mengendur hingga akhirnya jatuh begitu saja di atas rerumputan.

Devin terisak. Tangisan yang lebih terdengar sebagai sebuah isak pilu atas ketidakberdayaan dan rasa bersalah. Ia merasa tak berguna. Mengatakan bahwa ia menyayangi Kaila sebagai adiknya adalah sebuah kebodohan. Tidak! Sejujurnya ia menyayangi Kaila lebih dari pada itu. Ia mencintai Kaila lebih dari apapun. Mengatakan Kaila sebagai adiknya hanya sebuah alasan. Alasan agar mereka tidak terpisah atau menyakiti satu sama lain di sebuah akhir
hubungan nanti.

“Kakak mohon jangan pergi, Kaila,” raungnya sembari mempererat pelukannya. Namun, semuanya tidak lagi berguna, Kaila telah pergi.

Devin melepas pelukannya. Ia mencoba menghentikan tangisnya, menangkup wajah Kaila yang kini matanya telah tertutup rapat.

“Dengar, Kaila. Kakak bohong mengenai tadi. Kakak sayang sama Kaila lebih dari seorang Kakak. Kakak cinta sama Kaila!”

“Percayalah,” lirihnya kemudian memberi kecupan kecil di puncak kepala Kaila. Ia masih berharap gadis itu segera bangun. Ia berharap Kaila hanya bercanda.

Akan tetapi, semuanya memang nyata dan Kaila ... tidak bercanda.

“KAILAAA!!!”

THE END

.
.
.

Thanks buat yang udah mampir
Luv pokoknya 😘

Untuk penuliskece2019, terima kasih sudah menerima saya untuk ikut berpartisipasi dalam lomba ini. Love yaa 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top