DUE
Jangan dikira kerja sendiri itu nggak kenal kata sibuk atau capek. Gue baru aja ngalamin kata capek itu, more mentally than physically. Apalagi hari ini Mr. Hans baru ngasih tahu gue kalau dia bakal ngejual salah satu propertinya yang ada di Singapura dan gue diminta komunikasi sama orang akuntingnya yang notabene ada di Jerman buat ngebahas beberapa detail. Gonna be a long week. And tiring.
Sejak lulus kuliah, gue memang cuma bertahan enam tahun kerja kantoran. Setelah itu, gue mutusin buat ngatur sendiri waktu gue dengan jadi private accountant, meski yang gue urusin lebih banyak soal pajak pendapatan dan 'bisnis kecil' mereka. Kerjaan gue di perusahaan internasional bikin gue bisa dapet beberapa klien yang sampai sekarang, masih gue urusin. Gue capek jadi babu perusahaan gede.
Setelah hampir seharian duduk di apartemen, gue butuh break. Or I will spend the rest of the day cursing everything.
"I need to get out of here!"
Gue langsung bangkit dari bean bag di ruang tamu dan langsung ngeraih kunci motor. Meski kayaknya di luar lagi panas banget, otak gue bisa jadi lebih panas kalau tetep di apartemen. Mr. Hans kasih detail yang cukup banyak dan gue nggak yakin bisa terus ngadepin angka-angka itu. I love numbers but I hate having too much of it.
Gue selalu ngehela napas tiap kali mau keluar dari apartemen. Oke, apartemen Mas Gio ini boleh aja kece, lokasinya strategis, balkonnya juara buat sunset-an, tapi ... tangganya masih bikin gue eneg. Punya apartemen di lantai tiga dan nggak ada lift bener-bener bikin gue nggak perlu olahraga lagi. Naik turun tangga aja udah cukup bikin gue ngos-ngosan. Gue nurunin dua anak tangga sekaligus dan begitu sampai di parkiran, gue langsung ngidupin motor. Karena tadi gue udah makan, cuma satu tempat yang bisa bikin pikiran gue agak santai.
Toko buku.
Untung Jalan Oberoi nggak macet. Gue paling males lewat sana kalau nggak kepaksa banget. Selain jalannya kecil, dua arah pula, udah tamat pokoknya kalau ada truk pengangkut bahan bangunan yang lewat. Gue nggak eprnah ngerti kenapa orang Bali bikin jalan sekecil ini dan belok-belok pula. Nggak nyampe 20 menit, gue udah markir motor di Periplus Seminyak. Koleksi buku mereka nggak banyak sebenernya, tetapi gue memang nggak pernah nyari buku yang aneh-aneh. Kalau ada buku yang gue mau dan yakin nggak bakal ada di Periplus, gue pasti minta Mas Gio buat kirimin. Gue suka hunting dan ngabisin berjam-jam di toko buku, dan pasti selalu beli, meski nggak langsung gue baca. Di apartemen masih ada 4 atau 5 buku yang sampul plastiknya aja belum gue buka. Gue bahkan nggak inget kapan gue belinya.
Gue sempet buka akun Goodreads buat sekadar nyari referensi buku sebelum masuk ke Periplus. Gue biasanya langsung ke bagian novel karena gue nggak pernah baca non-fiksi. Kerjaan gue udah bikin pusing, nggak perlu juga gue baca buku yang isinya serius. Ada dua buku yang pengen gue beli, The Gift of Rain punya Tan Twan Eng sama A Little Life-nya Hanya Yanagihara. Rating di Goodreads sih bagus, dan gue percaya sama review-review di sana. Gue suka Periplus yang di Seminyak ini karena seberangan sama Bali Deli. Biasanya, gue bakal ke sana tiap kali abis dari Periplus. Kalau lagi mood, gue baca dikit buku yang baru gue beli, tapi kalau nggak, ya ngelamun nggak jelas. Tergantung.
Entah terlalu fokus sama isi pikiran gue yang berantakan atau fokus nyari dua buku itu, gue nggak liat kalau ada orang di sebelah gue lagi jongkok. Alhasil, gue nabrak orang itu sampai kejengkang dan gue pun hampir jatuh kalau nggak pegangan sama rak di depan gue. Untungnya, nggak ada korban buku jatuh berantakan yang bisa bikin gue malu. Semuanya cepet banget kejadian sampai ketika gue udah nemuin keseimbangan lagi, gue ngulurin tangan buat bantu orang itu berdiri.
"Sorry ya? Saya nggak liat ada orang."
Cowok itu cuma senyum dan nerima uluran tangan gue. Setelah dia berdiri, gue agak kaget ternyata cowok ini cukup tinggi juga.
"It's okay. Kamu nggak kenapa-kenapa?"
Gue cuma bisa geleng. Cowok itu lagi megang satu buku yang sedari tadi gue cari. Pantesan nggak ketemu, wong ditaruhnya di rak bagian bawah.
"Kamu? Nggak kenapa-kenapa juga?"
"Saya baik-baik aja. Kamu lagi cari buku apa? Pasti terlalu konsentrasi sampai nggak liat ada saya."
"Saya lagi nyari itu. Buku yang kamu pegang." Gue sengaja nunjukkin buku di tangannya, karena memang buku itu yang gue lagi cari.
"Ini?"
Gue ngangguk. "Review-nya kelihatannya bagus."
"Iya. Saya juga direkomendasikan temen. Ini." Cowok itu kemudian ngulurin buku itu ke gue. Karena bingung, gue natap cowok ini. Maksudnya apa ngasih buku itu ke gue?
Gue kemudian bungkukkin badan buat ngambil satu kopi A Little Life lagi sebelum mandang cowok berkacamata di depan gue.
"I have mine."
Cowok itu ketawa. Dan dia punya lesung pipit. Dan gue nggak bisa berhenti mandangin wajahnya. Dan gue tahu, this is a warning.
"Ada buku lain yang kamu cari?"
Gue ngangguk. "The Gift of Rain punya Tan Twan Eng. Tapi sepertinya mereka nggak punya."
"Sepertinya begitu."
Ini canggung. Sumpah! Gue paling alergi sama situasi kayak gini. Daripada makin lama gue nggak tahu harus ngapain, mending gue cabut.
"Sekali lagi, maaf ya?" Cowok itu ngangguk dan gue kemudian berniat buat keluar dari Periplus. Baru aja lima langkah, cowok itu manggil gue. Terpaksa, gue harus balik badan.
"Saya punya kopi The Gift of Rain di rumah. Saya nggak akan keberatan kalau kamu mau pinjem."
"Oh. Nggak usah. Nanti malah ngerepotin."
Cowok itu kemudian jalan ke arah gue dan begitu dia ada di depan gue, dia ngulurin tangan. "Saya Zack."
Gue mandang uluran tangannya lama karena nggak yakin harus gimana. Mau nolak, kesannya kok gue kayak nggak tahu sopan santun, mau diterima juga gue lagi nggak mau kenalan sama orang.
"Glenn." Akhirnya, gue salamin juga cowok itu. Dan kulit telapak tangannya lembut banget sampai gue merinding.
"Mau baca bab pertama A Little Life bareng sambil ngopi?"
Karena gue masih ngerasa nggak enak udah nabrak cowok ini, akhirnya gue ngangguk. "Boleh. Di Bali Deli aja yang deket."
Zack ngangguk. "Excellent."
***
"Lo bukan dokter kan, Zack?"
Akhirnya gue bisa ngomong biasa sama cowok yang lagi duduk di depan gue ini. Kami udah baca bab pertama A Little Life dan ngebahas sedikit tentang kemungkinan yang bisa kejadian dari satu bab itu. Turned out, he was a very observant reader. Dia merhatiin detail-detail kecil yang kelewatan sama gue. Udah lama gue nggak ngebahas buku sama orang lain. Selalu sama Mas Gio.
Gue beraniin ngomong 'lo' 'gue' lagi karena Zack tadi bilang pas kami mau jalan ke Bali Deli kalau gue bisa ngomong kayak biasanya. Dia tahu gue agak kagok pakai bahasa formal dan dia juga nggak nyaman pake 'saya' buat nyebut dirinya. We ended up talking the way we usually talk before that little accident.
"Memang aku keliatan kayak dokter ya?"
"Kacamata lo, tampang serius lo, dan cara berpakaian lo ngingetin gue sama dokter."
Zack ketawa lagi sebelum nyeruput tehnya. Gue nggak abis pikir kenapa ada orang yang mau minum kopi ketika cuaca lagi sepanas ini. Gue sih pesen teh, tapi es teh lemon. Kopi jam segini itu sama aja nyari perkara kalau gue yang minum, karena gue bakal ngantuk. Yep! Kopi nggak pernah sukses bikin gue terjaga. Justru sebaliknya.
"Aku keliatan seserius itu?"
"Nggak tahu kalau orang lain ngeliatnya beda. Buat gue sih, tampang lo serius banget. Sori kalau gue salah."
"Nggak. Aku bukan dokter, Glenn. Cuma pegawai biasa."
"Gue nggak bakal percaya kalau lo bilang cuma pegawai biasa."
"Kenapa?"
"Satu, kacamata lo Lindberg. Cuma orang yang punya gaji gede bisa beli kacamata yang harganya di atas 500 dolar itu. Dua, loafer lo Salvatore Ferragamo kan? Tiga, lo pake Omega Seamaster 300. Masih mau bohongin gue dengan bilang lo 'cuma pegawai biasa'?"
Ternyata pelajaran yang ge dapet dari Mas Gio soal aksesoris dan fashion bisa gue pakai juga. Dulu pas masih kerja kantoran juga gue sering banget liat orang pake branded stuff, jadi gue tahu dengan sekali liat, kalau Zack ini punya selera yang 'mahal' karena kalau ditotalin tiga benda yang gue sebutin itu, jumlahnya bisa bikin gue keliling Eropa sebulan.
"I'm impressed, Glenn. You surprised me."
Gue cuma ngangkat bahu. "Lo bukan orang pertama yang gue tahu pake branded stuff. Sekarang , lo jujur deh. Who are you?"
Zack garuk kepala meski gue nggak yakin kalau kepalanya gatel. Tapi, gue juga bisa liat senyuman dia.
"Aku kerja di agen properti di Sanur, Glenn."
"Lo kerja atau lo yang punya?"
Zack kembali ketawa. "Nggak. Aku nggak sekaya itu buat punya agen properti sendiri."
Meski gue masih nggak begitu percaya sama jawabannya, at least, that's enough for now. Gue nggak mau bikin Zack takut karena blak-blakannya gue, meski gue juga nggak nyoba buat impress dia.
"Lo emang dari mana atau mau ke mana, sampai dressed up from head to toe. Literally."
"Nggak dari mana-mana. Aku dari Sanur tadi, dari rumah dan rencana mau ke makan malam di Merah Putih nanti. Sanur terlalu sepi."
"Ya lo sendiri kenapa milih Sanur dulu?"
"Nggak ada pilihan lain. Lagipula, nggak jauh kok. After all, I love driving."
"Lo naik mobil dari Sanur?"
"Iya. Kenapa memangnya?"
"Nggak. Sayang aja kalau lo udah keren begitu harus naik motor."
Zack lagi-lagi ketawa. "Sebenernya, aku nggak bisa naik motor, jadinya ya nggak ada pilihan lain. Aku tahu macetnya Bali bisa parah, tapi mau gimana lagi?"
"Lo nggak gawe?"
"Udah pulang. Tadi cuma ketemu satu klien aja."
"Kalau jam segini lo udah balik gawe, berarti lo orang cukup penting dong? Sori. Gue nggak bermaksud tahu banyak soal kerjaan lo, cuma penasaran aja."
"It's okay, Glenn. Jam kerjaku memang nggak bisa dipastikan. Hari ini bisa sebentar, besok bisa panjang. It really depends."
"Oh, oke. Lo sering ke daerah Seminyak sini?"
"Lumayan. Aku baru pindah ke Bali empat bulan lalu, jadi belum tahu banyak tentang Bali. Kamu sendiri, udah lama di Bali?"
"Kakak gue dulu tinggal di Bali. Dia lagi ngelanjutin S2 di Aussie, jadi gue sementara nempatin apartemen dia. Udah 2 tahunan lebih gue tinggal di sana meski sebelumnya sering juga bolak-balik Bali."
"Kamu pasti nggak kerja kantoran kan?"
Gue ngerutin dahi. "Kok lo tahu?"
"Nebak aja."
"Gue nggak betah kerja kantoran. Enam tahun cukup buat gue."
"Jadi kamu kerja sendiri?"
"Bisa dibilang gitu. Gue private accountant, jadi bisa kerjain dari mana aja."
"Glenn, kamu beneran bikin aku terus-terusan kaget."
"Kenapa lagi?"
"Aku nggak pernah nyangka kalau kamu akuntan."
"Memangnya lo ngira gue apa? Awas ya kalau lo sampai bilang gue gembel."
"Nggak lah. Tebakanku kamu nggak jauh dari dunia seni. Mungkin musisi, penulis, atau orang yang kerja di dunia kreatif."
"Kita berdua impas kalau gitu."
"Impas?"
"Iya. Gue salah nebak profesi lo, lo juga kaget begitu tahu gue akuntan. Orang yang bikin pepatah 'Don't judge by its cover' kayaknya harus dirajam. Apanya yang jangan judge by its cover? Kita berdua ini bukti kalau we judged each other from our appearance."
"Kamu bener juga."
"Lo jauh -jauh ke Seminyak cuma mau ke Periplus? Bukannya di Sanur juga ada? Lagian, ini masih jam makan siang kalaupun lo mau dinner di Merah Putih."
"Mau ke Mozaik nanti sebelum dinner. I love sunset dan di Sanur kan nggak bisa lihat sunset."
Gue udah mau buka mulut, nawarin apartemen gue buat dia sunset-an, tapi gue batalin, Apa-apaan sih gue ini, orang baru kenal udah mau ditawarin ke apartemen. Jadi akhirnya gue nyeruput es teh gue sambil negliat jalan yang nggak begitu rame.
"Kamu suka baca buku seperti itu, Glenn?"
"Maksud lo? Setipe kayak A Little Life?" Zack ngangguk. "Nggak juga sih. Gue baca apa aja asal jangan non-fiksi. Hidup gue udah penuh sama angka dan fakta, males juga kalau harus baca buku non-fiksi kecuali kalau ada urusan sama kerjaan. Kakak gue pernah nyinggung buku ini, dan tadi gue sempet buka Goodreads buat cari referensi, terus inget kalau gue pengen beli buku ini. Lo sendiri? Suka buku yang kayak gimana?"
"Aku lebih selektif sih kalau soal buku. Ada temen yang kasih tahu kalau aku harus baca buku ini, dan aku percaya sama rekomendasi dia. So, I bought this book."
"Temen lo pasti hebat banget sampai lo sepercaya itu sama pendapat dia."
"Well, she's an editor in one of the biggest publishing company in UK. So, yes, I trust her opinion when it comes to book."
"Lo suka The Gift of Rain?"
Zack ngangguk. "Bukunya bagus. Narasinya puitis. Aku suka historical fiction, jadi kebanyakan buku yang ada di rumah ya historical fiction."
"Udah lama gue nggak bahas buku sama orang selain kakak gue. Thanks ya Zack?"
"The pleasure is mine. Glenn?"
"Ya?"
"Kamu keberatan nggak kalau kapan-kapan nunjukkin aku tempat-tempat yang enak buat hang out atau dining out selain di daerah Seminyak? Aku belum banyak jelajahin Bali dan kamu udah cukup lama di sini, jadi pasti tahu tempat-tempat yang aku belum tahu. Of course, kalau kamu nggak sibuk dan nggak ngerasa direpotin."
"Direpotin sih nggak, tapi gue kasih tahu kalau gue nggak suka dining out. Paling nggak bukan ke fine dining. Kalau hang out, tergantung selera kamu kayak apa. Kalau gue sih nggak pernah punya tempat yang favorit banget. Sini deh, kasih nomor lo, biar gamnpang kalu ngatur kapan ketemuan."
Setelah itu, gue sama Zack tukeran nomor dan begitu namanya kesimpen di phonebook, gue nggak tahu kenapa gue sangat nggak sabar buat ketemu dia lagi, meski kami juga belum berniat buat say goodbye. But, exchanging phone number usually a sign of goodbye, right?
"Kamu kalau Sabtu atau Minggu masih kerja?"
"Mau kerjaan gue seabrek, gue selalu jadiin Sabtu sama Minggu as my days off. Gila aja kerja pas weekend. Dibayar mahal pun gue ogah."
"Jadi gampang ya kalau aku mau ngajak jalan Sabtu atau Minggu?"
Gue ngangguk. "Weekend is fine. Kasih tahu aja. Zack, gue pengen lebih lama ngobrol sama lo, tapi kayaknya gue harus cabut. Masih ada kerjaan yang harus gue selesain hari ini juga."
Zack ngangguk, seperti tahu kalau kami akhirnya bakal pisah juga stelah tukeran nomor. But, I can say, I'm looking forward to meet him again.
"Oke. Nanti aku kabari ya? Mungkin kita jalan ke mana Sabtu ini. Aku harus liat jadwal di kantor juga, apakah minggu ini giliran aku masuk atau libur."
"Sip. Gue tunggu."
Begitu gue manggil pramusaji buat ngasih bill, dan udah ngeluarin dompet, Zack mandang gue.
"On me, Glenn."
"Nggak. Kita nggak lagi nge-date, kita baru kenal, dan gue tadi udah bikin lo jatuh di Periplus. No offense, tapi gue nggak mau lo bayarin."
"Glenn, I will be offended if you won't let me pay."
"Zack, lo apa-apaan sih? Udah. Gue aja. Next time kalau lo mau traktir gue, boleh deh. But not today."
"Nggak ada bedanya kan nanti atau sekarang? Toh kita juga akan gantian juga bayarnya. Am I wrong?"
Daripada ribut-ribut soal siapa yang mau bayar sementara Mbaknya udah nunggu di deket meja kami, akhirnya gue ngalah. Zack senyum, berasa menang karena berhasil ngelarang gue buat bayar afternoon snack kami. Begitu Mbak itu berlalu setelah Zack bilang buat ngambil kembaliannya, gue gantain natap Zack bingung.
"Lo itu murah hati banget ya, Zack?"
"Murah hati gimana?"
"Tip lo kebanyakan tahu."
"It's okay. They don't earn much, Glenn."
Saat itu, gue tertegun. Zack ngasih tip karena tahu kalau kerjaan sebagai waitress gajinya nggak banyak? Wow! Gue nggak pernah ketemu sama orang yang begini.
"Yuk!"
Begitu kami keluar dari Bali Deli buat jalan ke parkiran, gue dan Zack berhenti di deket motor gue karena tempat parkir mobil dan motor beda.
"Ini motor gue. Lo harus ke sana kan?" tanya gue sambil nunjuk parkiran mobil.
Zack ngangguk. "It's nice talking to you, Glenn. Semoga kita bisa cepet ketemu lagi ya? Kita bisa lomba baca A Little Life dan pas ketemuan lagi, we can talk about it. Let's make our own little book club."
Kali ini, gantian gue yang ketawa. "Gue pasti kalah, Zack. Ini aja nyampe apartemen belum tentu gue pegang lagi bukunya. I enjoyed our conversation as well. Kabarin aja kalau lo lagi di daerah Seminyak, mungkin kita bisa ketemuan lagi."
"Pasti." Zack ngulurin tangannya dan nggak kayak pas di ngenalin dirinya tadi, gue langsung bales. "Thank you for the delightful afternoon, Glenn."
"Sama-sama. Gue cabut ya?"
Zack cuma ngangguk pas gue mulai pake helm dan nyalain motor. Gue cuma ngasih Zack senyum pas keluar dari parkiran Bali Deli.
Gue nggak tahu kenapa, tapi sekarang gue senyum karena nggak sabar pengen ketemu Zack lagi. Keputusan gue buat kabur dari apartemen ternyata bukan keputusan yang salah. Paling nggak, sekarang gue kenal satu temen lagi.
Somehow, gue ngerasa nggak bete meski harus ngadepin angka lagi setelah ini.
***
Satu part aja dulu ya, lumayan panjang kan ini? Hehehehe. Saya cuma mau bilang thank you so much for the vote and the comment. Karena kalian, cerita ini sempat jadi #83 di General Fiction. Buat saya, yang ceritanya nggak pernah namanya masuk rank (Twenty Four sempat nangkring di #283) bisa nembus 100 besar itu sesuatu yang cukup membanggakan. In a way, it boosted my confidence :) Jadi, terima kasih banyak yang udah mau vote dan juga komen. Thank you, thank you, thank you very much. I appreciate it a lot.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top