9.

*****

Rumah ini terlihat sangat ramai. Justru lebih ramai dari pada semalam di saat ada pengajian. Juga lebih ramai dari kemarin di saat saudara berkumpul menjadi satu, dan mungkin lebih ramai dari pasar sehari menjelang lebaran. Tapi keramaian yang ada di rumah ini bukanlah keramaian yang aku inginkan. Keramaian ini terasa kosong. Terasa hampa. Lantaran hanya ada suara rintihan, tangisan dan jeritan orang-orang.

Aku sendiri tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Di dalam dadaku rasanya seperti ada yang hilang. Seolah ada yang sengaja menusuk jantungku dengan pisau tumpul karatan, lalu diremas dengan tangan kemudian dicabut paksa dari dada, hingga rasanya aku ingin menjerit tapi tak bisa karena sakitnya begitu luar biasa.

Andai aku bisa aku pasti sudah menjerit meraung-raung seperti Bunda saat mendapat kabar meninggalnya Binar atau pingsan berkali-kali seperti Arunika. Tapi aku tak bisa. Bukan karena aku tak mempunyai hati atau rasa simpati. Hanya saja rasa yang ada di dada ini terlalu sakit hingga aku tak bisa melakukan itu semua. Aku merasa begitu tak berdaya. Seolah rasanya ini bukan sebuah kenyataan. Seolah ini hanyalah mimpi. Seolah apapun yang terjadi hari ini hanyalah sebuah bayangan semu yang tidak pernah benar-benar terjadi.

Aku benar-benar tidak bisa merasakan hatiku. Bukankah katanya puncak dari rasa sakit adalah mati rasa karena saking sakitnya hingga kita tidak bisa merasakan apa-apa? Dan sekarang aku mengalami itu semua.

Hal yang tidak pernah terduga. Tidak pernah terbayangkan dan tidak seharusnya terjadi. Kenapa lagi-lagi aku harus mengalami hal seperti ini. Kenapa lagi-lagi aku harus kehilangan orang-orang yang kusayangi. Kenapa Tuhan mengambil mereka di saat waktu yang sangat tidak tepat? Dulu Ayah yang diambil Tuhan lebih dulu, di saat kami semua masih kecil. Di saat kami masih butuh kasih sayang dan bimbingannya. Di saat Bunda masih membutuhkannya sebagai sandaran jiwa dan raganya, sekarang Tuhan mengambil Binar di saat besok dia akan menikah dengan kekasihnya. Kenapa?

Kenapa harus Binar, Tuhan. Kenapa harus dia. Kenapa harus sehari sebelum pernikahannya. Dan kenapa Engkau membuatku lagi-lagi harus memakamkan orang yang kucintai.

*****

Setelah pemakaman Binar aku mendapat kabar jika Aru tidak mau diajak pulang ke rumah. Katanya dia terus mengurung diri di kamar Binar. Hal itu membuat kedua orang tua Aru juga terpaksa masih ada di sini hingga malam. Andai musibah ini tidak terjadi, malam ini akan menjadi malam yang indah untuk mereka, karena seharusnya ada acara siraman, pengajian dan seserahan yang harus mereka jalankan. Sayang seribu sayang Tuhan lebih sayang pada Binar hingga memanggilnya secepat ini untuk segera bertemu dengan-Nya di sana.

Terkadang takdir memang begitu kejam.

"Arunika di mana?" tanyaku pada Bunda yang sedang duduk di ruang tengah bersama kedua orang tua Arunika.

"Masih di kamar Binar," jawab Bunda lemah.

"Sendirian?" tanyaku ingin tahu karena bagaimanapun Arunika adalah calon pengantin yang seharusnya akan menikah besok. Kehilangan calon suami sehari sebelum pernikahan seperti ini pasti sangat mengguncang dirinya. Aku hanya tidak ingin sesuatu terjadi padanya.

"Ditemani Rinjani."

"Dia sudah makan?" tanyaku lagi. Bukankah memang begitu hukumnya? Yang hidup harus tetap meneruskan hidup. Yang sudah tiada ikhlaskan agar tenang di sana. Terlalu berlarut dalam kesedihan juga tidak baik.

"Tadi Rinjani sudah Tante minta membawakan makanan ke atas," jawab Tante Hesti, ibu Arunika.

Aku mengangguk merasa lega, karena tadi di saat kami semua makan Aru menolak untuk makan. Sedangkan sekarang sudah pukul sembilan malam padahal seharian dia tidak makan sama sekali.

Kulihat Bunda masih terlihat sesekali mengusap air matanya. Begitu juga dengan Tante Hesti. Om Adam sendiri lebih terlihat tegar daripada yang lain, tapi aku tahu beliau juga pasti merasa sedih karena bagaimanapun beliau dekat dengan Binar.

Aku mengambil tempat duduk di sebelah Bunda, menelusupkan tangan di belakang punggungnya melewati lengannya. Mengusap lengannya yang terasa rapuh. Mencoba menenangkannya. Bunda mulai menyandarkan kepalanya di bahuku dan mulai terisak lagi. Bagaimanapun tinggal aku laki-laki di keluarga ini. Aku harus tetap tegar demi mereka dan sebagai sandaran mereka, meskipun aku juga sebenarnya merasa hancur atas kepergian Binar.

Kami sama-sama diam di sana. Menatap televisi yang entah sedang menyiarkan berita apa. Aku tidak memperhatikan karena memang fokusku bukan di sana. Dan sepertinya begitu juga dengan mereka. Kepergian Binar benar-benar mengguncang kami, seolah kami kehilangan pemeran utama dalam drama kehidupan kami.

"Lalu untuk besok bagaimana, Nak Ranu?" tanya Om Adam tiba-tiba memecah keheningan.

Aku yang sama sekali tak terpikirkan tentang acara besok hanya bisa menatapnya bingung.

"Untuk besok bagaimana maksudnya, Om?" tanyaku ganar.

"Pernikahan Aru."

Aku semakin tidak mengerti. Kutatap Om Adam dan Tante Hesti bergantian. Memang seharusnya besok Binar dan Aru akan menikah. Tapi Binar sudah tiada. Kenapa Om Adam masih menanyakan perihal itu. Tidak mungkin Aru menikah sendirian, kan?

Ah, aku ingat kalau yang dimaksud Om Adam pasti karena tidak ada yang mengurus pembatalan untuk acara yang seharusnya berlangsung besok.

"Nanti biar saya yang urus pembatalannya," kataku pada Om Adam. Karena mungkin sekarang semuanya sudah siap seratus persen dan hanya tinggal menunggu calon pengantinnya saja. Jika kami tiba-tiba hilang tanpa kabar takutnya kami dikira tidak bisa menghargai kerja keras yang sudah mereka lakukan berbulan-bulan. Tapi mau bagaimana lagi jika keadaannya seperti ini. Setidaknya kami harus bicara baik-baik dengan mereka jika ingin membatalkannya.

"Bukan itu maksud Om."

Rasanya dahiku semakin mengerut karena benar-benar tidak mengerti maksud dan arah pembicaraan yang dimaksud Om Adam.

"Kenapa tidak kita lanjutkan saja pernikahannya?"

Aku tertawa sumbang. "Om jangan bercanda. Binar sudah meninggal. Tidak mungkin Aru menikah sendirian."

"Kamu bisa menikahinya," cetus Om Adam tiba-tiba yang membuatku tercengang. "Aru tidak akan menikah sendirian karena kamu bisa menikahinya menggantikan Binar."

Aku tahu maksud dari ucapan Om Adam bagaimana. Aku yakin maksudnya bukan menyuruhku bertanggung jawab atas kematian Binar yang membuat anaknya tidak jadi menikah. Aku tahu maksudnya bukan itu. Tapi entah kenapa rasanya begitu tidak masuk akal.

"Kenapa Om Adam bisa mengatakan demikian?" tanyaku semakin bingung.

"Karena kamu sepertinya orang yang baik, Ranu. Om yakin kamu bisa menjadi suami yang baik untuk Aru nanti," katanya yakin seolah sudah mengenalku bertahun-tahun lamanya.

"Mungkin pandangan orang-orang seperti itu. Tapi orang yang baik belum tentu bisa menjadi suami yang baik, Om," ujarku merendah. Entah kenapa aku kurang setuju dengan saran Om Adam. Bukan karena aku tidak menyukai Aru, justru karena aku sangat menyayanginya jadi rasanya ini kurang tepat saja.

"Tapi Om yakin kamu bisa menjadi suami yang baik nantinya."

Ya, aku akan menjadi suami yang baik nanti. Entah siapapun yang akan menjadi istriku jelas aku akan menjadi suami yang baik untuknya. Tapi bukan mengambil calon istri adikku juga.

"Apa kamu tidak menyukai Aru?" tanya Om Adam saat tidak mendapatkan respon dariku.

"Bukan begitu Om. Saya menyayanginya."

"Nah, lalu apa masalahnya?"

"Masalahnya, Aru tidak mencintai saya," kataku. "Rumah tangga tanpa cinta itu rapuh Om. Apalagi dia baru saja kehilangan orang yang dia cintai. Kalau saya menikahinya bukankah saya seperti menyiramkan cuka di atas lukanya."

"Justru di saat seperti ini Aru membutuhkan orang lain sebagai obat untuk lukanya. Sebagai sandaran untuk hatinya. Om rasa kamu orang yang tepat Ranu. Lalu soal masalah cinta, cinta akan datang dengan sendirinya. Nanti dia juga akan mencintaimu jika sudah terbiasa hidup bersamamu," jawab Om Adam lagi. Aku melihat Tante Hesti dan Bunda yang diam menyimak pembicaraan kami.

"Om. Tapi sepertinya ini bukan ide yang bagus," sanggahku. Takutnya justru hanya akan menambah luka untuk Arunika.

"Kenapa?"

Aku hanya bisa menggeleng bingung.

"Tapi, Ranu ada satu hal yang harus kamu tahu. Acara besok sudah tidak bisa dibatalkan. Jadi atau tidak jadi pernikahannya acaranya akan tetap berjalan. Tamu-tamu undangan sudah mulai berdatangan dari luar kota. Mungkin karena mereka belum mendengar kabar tentang Binar, atau karena kita belum memberi kabar lagi tentang pernikahannya karena fokus pada pemakaman Binar."

Aku terdiam. Merenungkan ucapan Om Adam yang kurasa benar. Aku bahkan seharian ini tidak bisa fokus untuk memikirkan apapun selain Binar. Jika kami tiba-tiba membatalkan acara begitu saja lalu bagaimana dengan tamu undangan yang sudah berdatangan?

Kutatap Bunda yang melihatku. Bunda mengangguk. "Kalau kamu siap, Bunda merestui Mas. Aru anak yang baik. Pasti bisa jadi istri yang baik untuk kamu.," Ujar Bunda.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa.

"Binar juga sering membicarakan kamu. Kamu yang baik. Kamu yang sabar. Kamu yang bertanggung jawab Nak Ranu. Bisakah kami percayakan Aru padamu?" Kini giliran Tante Hesti yang berbicara.

Aku semakin dilema. Dua-duanya bukan pilihan yang mudah untukku. Jika aku menikahi Aru apa aku bisa membahagiakannya? Apa ini yang dia inginkan? Apa ini yang Binar inginkan? Dan jika aku menolak tawaran Om Adam, bagaimana dengan acara besok? 

Aku masih ingat jelas saat Binar mengatakan menitipkan Aru padaku. Apakah ini maksudnya? Sekarang aku paham kenapa Binar bisa mengatakan takut tidak bisa membahagiakan Aru saat itu. Karena sekarang aku merasakan hal yang sama. Bisakah aku membahagiakannya Jika  menikahinya?

Bersamaan dengan kekalutan pikiranku, Arunika terlihat sedang berjalan menuruni tangga. Ada Rinjani di sebelahnya. Mataku tak bisa lepas dari wajah Arunika yang begitu sembab dan pucat.

Mereka berjalan mendekati kami. Arunika mengambil tempat duduk di sebelah Tante Hesti dan langsung menyandarkan kepalanya di bahu Tante Hesti sedangkan Rinjani duduk di sebelah Bunda di sisi lainnya.

"Kak, Aru nggak mau makan Tante. Padahal sudah aku paksa-paksa tetap aja dia nggak mau," kata Rinjani.

Kami semua menatap Aru yang terlihat begitu lemah.

"Makan, sayang," pinta Tante Hesti pada Aru.

Aru hanya membalasnya dengan gelengan kepala. "Nggak enak Ma."

"Tapi kamu harus tetap makan. Binar nggak akan suka jika kamu sakit nantinya," sahut Bunda.

Aru tetap menggelengkan kepala.

Aku mengamati wajah Arunika yang begitu pucat, seolah sinarnya benar-benar hilang terkubur bersama jasad Binar. Padahal sebelumnya wajah itu selalu berseri-seri. Selalu tersenyum hingga kedua lesung pipinya terlihat indah. Dan selau bersikap ceria. Dalam hati aku menimbang-nimbang, apakah jika aku menerima saran dari Om Adam wajah itu akan berseri lagi nantinya? Apakah aku bisa menjadi obat untuk sakitnya Arunika. Apakah aku bisa menggantikan posisi Binar di hatinya? Tapi melihatnya begitu rapuh, rasanya ingin sekali aku melindunginya. Memeluknya. Menghiburnya dan membuat senyumnya kembali seperti sedia kala? Tapi mampukah aku?

"Aru sedang nggak ingin makan, Bunda. Toh pernikahan Aru nggak jadi," katanya lemah.

Mendengar kata-katanya yang begitu tidak bersemangat entah kenapa menggelitik hatiku. Dan akhirnya mulutku memutuskan sesuatu yang sepertinya akan kusesali.

"Kata siapa pernikahannya nggak jadi," sanggahku padanya.

Dia diam menatapku.

"Pernikahan akan tetap dilangsungkan," lanjutku yang membuat Arunika sontak melihatku bertanya-tanya.

"Aku akan menikahimu," putusku pada akhirnya.

TBC
*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top