8.


*****

Ini benar-benar di luar ekspektasiku. Bukan di luar lagi! Melainkan karena aku benar-benar tidak berani lagi berekspektasi tinggi pada Binar, tapi apa yang kutemukan akhir-akhir ini benar-benar tidak pernah terbayangkan olehku barang sedikitpun.

Setelah pengakuannya hari itu Binar benar-benar berubah. Dia seolah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lain yang sebenarnya bagus,  karena dia sudah mulai jarang nongkrong bareng teman-teman balap motornya, mabuk-mabukan atau melakukan hal-hal yang kurang berfaedah lainnya, dia jadi lebih betah di rumah, lebih perhatian terhadap Bunda, lebih suka bercanda dengan Rinjani dan sesekali mengajakku bicara layaknya saudara. Hanya saja, sebagai orang yang selama ini memperhatikannya, hal itu justru membuatku takut. Takut jika itu hanyalah pengalihan dari apa yang sebenarnya ia sembunyikan. Aku hanya takut Binar berpura-pura baik-baik saja padahal tidak.

Dia yang mulai lebih sering berada di rumah nyatanya lebih membuatku khawatir dari pada saat Binar keluyuran, berlaku seenaknya dan pulang malam nyaris subuh. Setidaknya saat itu aku tahu kalau dia benar-benar merasa menjadi dirinya sendiri dan bahagia. Sedangkan sekarang ... entah aku tidak tahu apa yang sedang ia rasakan dan sembunyikan. Apakah fia bahagia atau tidak.

Dan perubahan sikap Binar yang demikian drastis, benar-benar membuatku semakin merasa bersalah padanya. Bagaimanapun aku mengambil andil besar atas perubahannya itu, dan sekarang aku tidak tahu harus melakukan apa untuk membantunya selain hanya bisa memperhatikannya dari jauh dan siap sedia jika dia membutuhkan bantuanku untuk hal apa pun itu.

Binar benar-benar berubah kali ini. Berubah dalam arti yang sebenar-benarnya. Dari Binar yang begajulan menjadi Binar yang alim dan sopan. Kupikir hal ini hanya akan berlangsung sementara, hanya selama dia sedang menyembuhkan diri dari luka hatinya pasca putus dengan pacarnya itu, tapi nyatanya aku salah, perubahan Binar bahkan sampai dia lulus SMA berlanjut hingga kuliah dan wisuda.

Walaupun memang pernah ada suatu kondisi di mana aku mendapati dia kadang sedikit murung dan tidak bersemangat tapi aku juga kadang mendapati dia luar biasa senang. Entah apa yang saat itu membuatnya senang. Aku tidak pernah tahu, karena Binar tidak pernah mau mengaku tiap aku menanyakannya. Atau dia hanya akan menjawab ambigu seperti, "Ya, hanya berhasil mengalahkan satu lagi." Selalu itu jawaban yang ia berikan yang sama sekali membuatku tak paham.

Dan dari semua hal itu ada satu hal yang aku perhatikan darinya yang membuatku semakin merasa bersalah berkali-kali lipat dari pada sebelumnya. Ternyata saat itu dia tidak main-main dengan ucapannya yang mengatakan kalau dia begitu mencintai Arunika. Karena setelah putus dengan gadis itu Binar tidak pernah terlihat berpacaran lagi dengan siapapun, baik itu selama ia kuliah atau saat dia sudah bekerja. Mungkinkah perubahannya ini karena Arunika? Apakah demi gadis itu Binar rela berubah sampai seperti ini? Kalau jawabannya iya sungguh dosaku benar-benar sangat besar pada Binar.

Dan untuk Binar yang tidak pernah dekat lagi dengan gadis manapun itu, aku pernah merasa takut jika orientasinya mulai berbeda. Secara pergaulannya hanya dengan laki-laki dan maraknya kasus LGBT saat ini. Apalagi jika mengingat perasaannya terhadap Arunika yang terpaksa ia matikan di saat dia sedang cinta-cintaannya, bukan mustahil jika hal itu terjadi pada Binar.

Tapi kekhawatiranku ternyata sia-sia saat Binar mengajak Arunika main ke rumah, memperkenalkannya sebagai kekasihnya lagi dan mengatakan jika mereka akan menikah.

Saat mereka meminta restu jelas aku merestui hubungan mereka karena aku melihat sorot mata bahagia dari keduanya dan betapa besar rasa cinta yang mereka miliki untuk satu sama lain, terlepas dari apa pun masa laluku dengan Arunika.

****

"Bagaimana?" tanyaku pada Binar yang sedang memperhatikan para pekerja WO yang sedang menghias halaman rumah dengan bunga-bunga dan tenda-tenda mewah.

Lusa dia akan menikah. Dan hari ini seisi rumah sudah dihias dengan aneka perlengkapan untuk acara pernikahannya nanti. Para saudara juga sudah mulai berdatangan dari luar kota yang membuat rumah menjadi luar biasa ramai. Apalagi ditambah keponakan-keponakan yang suka berlari-lari dan super berisik. Bukan berarti aku tidak menyukainya. Keramaian ini  hanya terasa asing untukku yang sudah terbiasa dengan keheningan.

Binar menoleh padaku, tersenyum dan sedikit menggeser tubuhnya ke arah halaman yang tidak terkena sinar matahari karena sudah dinaungi tenda.

"Tinggal ini aja kok, Mas. Semua persiapannya sudah beres," jawabnya. "Toh ini juga hanya sebagai simbol saja kan kalau lusa aku akan menikah. Acara ijabnya di rumah Aru sedangkan resepsinya di hotel," lanjutnya lagi sambil melihatku sekilas.

Aku mengangguk lalu berdiri di sebelah Binar ikut memperhatikan para pekerja. Meskipun ini bukan pernikahanku sendiri aku juga ingin pernikahan ini berjalan sempurna nantinya. Karena bagaimanapun toh kebahagiaan Binar adalah  kebahagiaanku juga.

Kami sama-sama diam untuk  beberapa saat karena memang tidak ada yang ingin kubicarakan dengan Binar. Aku hanya ingin bersamanya saja. Untuk beberapa alasan entah kenapa rasanya begitu berat untuk melepasnya. Bukan karena aku iri Binar lebih dulu menikah atau karena akan dilangkahi, sungguh bukan itu. Aku benar-benar ikhlas Binar lebih dulu menemukan jodohnya. Hanya saja ada perasaan aneh yang menyusup dada yang mungkin inilah yang dirasakan para orang tua di saat hendak melepaskan anaknya untuk melangkah ke jenjang kehidupan baru nantinya.

Lama kami saling terdiam hingga akhirnya Binar mulai membuka percakapan.

"Nanti malam aku jadi ke Menteng ya, Mas. Anak-anak pada minta diadakan pesta bujang soalnya," kata Binar.

Aku mengerutkan kening. Seingatku dia tidak mengadakan pesta bujang. Padahal saat itu sudah aku ingatkan. "Bukannya kamu nggak bikin?"

"Tau tuh. Anak-anak maksa. Yaudah deh aku turutin aja,"

"Di mana acaranya?" tanyaku memastikan sambil melihat salah satu keponakan yang berlari-lari sambil mengambil setangkai bunga yang digunakan sebagai hiasan. Anak yang aku lupa siapa namanya itu berlari lagi ke dalam rumah sambil membawa setangkai bunga itu.

"Di restorannya Reno."

"Oh," jawabku sekenanya karena fokusku masih pada anak kecil itu yang kembali mengambil bunga dan dibawa masuk ke dalam rumah.

"Nggak tahulah. Nggak niat bikin acara begituan sebenarnya. Tapi anak-anak maksa," kata dia lagi dan aku masih memperhatikan anak kecil itu yang kembali mengambil bunga dan dibawa masuk ke rumah.

"Yasudah, nggak apa-apa. Asal jangan ada acara mabuk-mabukan saja. Soalnya besok kamu ada banyak kegiatan."

"Iya, mas. Nggak kok. Paling acara kumpul-kumpul dan makan-makan saja."

"Baguslah," sahutku. "Arunika tahu?"

"Tahu, Mas. Tadi sudah bilang lewat ponsel sepupunya."

Aku mengangguk. "Jadi kalian masih bisa saling berhubungan?"

"Iya, tapi ya gitu. Dia selalu pakai nomer baru. Entah siapa yang bisa ia temui saat itu."

Aku terkekeh membayangkan Arunika meminta-minta pinjaman ponsel agar bisa berhubungan dengan Binar.

"Zaman sekarang masih ada ya acara pingitan-pingitan begitu," keluhnya.

"Selama itu hal baik tinggal turuti saja. Toh kalian dilarang bertemu hanya untuk beberapa hari. Dulu bertahun-tahun saja kalian kuat."

"Ck. Mas Ranu nggak tahu saja. Mati-matian tahu aku dulu jagain dia dari pacar-pacarnya."

Aku menoleh padanya. Si anak kecil baru saja masuk ke dalam rumah untuk ke sekian kalinya. "Oh ya?" tanyaku tidak percaya. Karena setahuku mereka beda kampus. Beda jurusan. Beda angkatan. Bagaimana caranya Binar menjaga Aru?

"Entah lah. Setelah putus dia seperti layangan hilang. Nemplok sana. Nemplok sini. Mungkin kalau ada genderuwo nyamar jadi aktor-aktor Korea siapa itu namanya, dan nembak dia juga bakal diterima."

Aku tergelak. "Separah itu?"

"Iya, Mas."

"Lalu bagaimana kalian bisa bertemu lagi?"

"Reuni. Saat itu dia datang setelah bertahun-tahun nggak pernah mau datang. Mungkin karena saat itu habis putus dari pacarnya juga, jadi butuh hiburan. Aku deketin, dia welcome. Aku ajak pacaran lagi, dia oke. Yaudah … akhirnya sampai sini," katanya.

Aku hanya diam menyimak ucapannya sambil masih terus mengamati anak kecil itu yang lagi-lagi mengambil bunga dan dibawa masuk ke rumah entah digunakan untuk apa.

"Tapi Mas. Jujur. Aku merasa takut," ujarnya.

"Takut? Kenapa takut?" tanyaku.

"Ya, takut aja kalau nanti nggak bisa membahagiakannya."

"Memangnya Aru orang yang sulit?"

"Nggak, Mas. Sama sekali bukan. Justru dia bukan tipe orang yang suka menuntut. Tapi, ya … takut saja mengecewakannya."

Aku terkekeh. Kutepuk pundaknya pelan. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku yakin kamu pasti bisa," ujarku memberikan semangat.

"Kalau nanti aku nggak bisa membahagiakannya, titip Aru ya Mas."

"Kamu pasti bisa," ujarku lagi.

Binar masih akan mengatakan sesuatu, hanya saja aku sudah lebih dulu berlari ke arah anak kecil itu yang kembali mengambil bunga.

Kupercepat langkahku agar bisa menjangkau anak itu sebelum masuk kembali ke dalam rumah. Dan saat dia baru saja mengambil setangkai bunga lagi dan akan berlari ke dalam rumah aku sudah mencekal tangannya.

"Hai, girl," sapaku karena aku benar-benar lupa siapa namanya.

Anak kecil itu tersenyum menampilkan giginya yang rapi. Tapi dari gestur tubuhnya dia sedikit gemetar mungkin karena terkejut aku mendatanginya tiba-tiba.

"Mau kamu buat apa bunganya, Cantik?" tanyaku sehalus mungkin karena tidak ingin membuat anak kecil ini takut.

"Eumm ... Buat hiasan Om," kata anak kecil itu ragu-ragu.

"Hiasan untuk apa?" tanyaku lagi.

Anak kecil itu masih belum mau menjawab. Dia tetap diam sambil menggoyang-goyangkan badan.

"Om bantuin mau?" tawarku pada anak kecil itu, karena entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengannya.

"Tapi Om nanti jangan marah. Lala kan sudah berusaha untuk memperbaikinya," ujarnya ambigu yang justru menambah rasa penasaranku.

"Iya, Om nggak akan marah."

Lalu aku mengikuti anak kecil itu ke dalam rumah. Kami naik ke lantai atas tepatnya ke kamar Binar.

Dan di lantai kamar sudah ada pigura yang terlihat berserakan dengan pecahan kaca di mana-mana. Aku segera meraih anak kecil itu yang hendak mendekati pigura itu dan meletakkan bunga terakhir yang ia bawa untuk ditaruh di atas pigura bersebelahan dengan bunga-bunga sebelumnya.

"Tadi Lala mau lihat soalnya uangnya cantik. Lala pikir itu ringan jadi Lala angkat. Eh ternyata berat. Lala nggak kuat, terus piguranya pecah. Tapi uangnya tetap aman kok Om. Itu Lala kasih bunga biar cantik soalnya udah gak ada kacanya," katanya tanpa dosa.

Aku hanya bisa menatap lala dan pigura tempat uang mahar itu dengan pikiran yang terbang ke mana-mana.

Aku bukanlah orang yang percaya dengan adanya tahayul atau apapun yang berhubungan dengan itu. Hanya saja melihat sendiri keadaan pigura itu membuatku cemas.

Hampir semalaman aku tak bisa tidur. Pikiranku gelisah. Gundah. Cemas. Khawatir. Takut bercampur aduk menjadi satu. Aku hanya berdoa semoga semuanya baik-baik saja.

Tapi sepertinya doaku tak didengar oleh Tuhan. Tak diamiinkan oleh para malaikat dan tak bisa menembus langit. Karena aku mendapatkan telepon tentang Binar yang mengalami kecelakaan.

TBC
*****

Instagram : Zeeniyee_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top