7.

*****

Sore harinya aku langsung menyeret Binar ke sasana tinju milik Banu yang ada di kawasan Pasar Minggu. Dan mungkin karena merasa telah melakukan kesalahan, Binar mengikutiku tanpa bantahan sedikit pun.

Sesampainya di sana, aku langsung meminta perlengkapan pada Banu yang memang sudah kukabari sebelumnya, sekalian kuminta Banu untuk memakaikan aneka perlengkapan itu pada Binar juga.

Binar terlihat bingung pada awalnya, tapi lama-kelamaan dia mulai sadar dengan apa yang akan kulakukan padanya.

"Satu pukulan," kataku saat kami sudah berada di atas ring. "Jika kamu bisa memukulku sekali aku akan melepaskanmu dan tidak akan pernah mencampuri urusanmu lagi," kataku lagi.

Binar diam tapi matanya menyorotku tajam.

"Tapi jika kamu tidak bisa memukulku, jauhi gadis itu."

Binar masih tetap diam, karena sadar dia tidak memiliki pilihan.

Dia mulai memasang kuda-kuda, aku pun demikian. Dan setelah beberapa saat kami mulai saling adu tinju di atas ring yang lebih terlihat seperti pembantaian dari pada pertandingan.

*****

"Ayo, bangun!" kataku pada Binar yang sedang terduduk sambil mengusap ujung bibirnya yang berdarah.

Bukannya segera bangun, dia justru mendelik padaku.

"Apa cuma segitu kemampuanmu? Jangan cemen! Bangun!" kataku lagi.

Kulihat dia mendesah. Lalu menumpukan kedua tangannya sebagai penyangga tubuhnya. Binar bangun dengan susah payah.

"Sini," pancingku dengan menggerakkan boxing gloves yang kukenakan dua kali seolah menyuruhnya mendekat.

"Ayo. Cuma sekali masa nggak bisa?" pancingku lagi.

Binar memfokuskan matanya padaku seolah mencari titik-titik terbuka yang ada pada diriku.

Setelahnya dia mendekat dengan terburu-buru. Tangan kanannya yang terbungkus boxing gloves terangkat. Aku menyambutnya dengan posisi siap. Ia mengayunkannya ke arah wajahku. Aku segera mengelak karena pergerakannya terbaca dengan jelas dan akhirnya tinjunya hanya mengenai udara kosong.

Binar membuang napas frustasi dengan mata yang melihat tajam padaku.

"Come on," pancingku lagi sambil bergerak ke arah kanan, memutari tubuhnya. Binar mengikuti pergerakanku. Mungkin tidak ingin membuatku semakin jauh, dia mendekat lagi, mengayunkan tangan kirinya ke arah sisi wajahku yang lain, aku segera mengelak lagi, tapi sepertinya itu hanya pancingan karena tangan kanannya segera menyusul hendak memukul perut, aku langsung memblokirnya dengan tangan dan membalasnya dengan tinjuan di wajahnya yang masih terbungkus Boxing head guard, seketika Binar sempoyongan.

Binar mundur beberapa langkah, menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba agar tetap sadar. Meskipun wajahnya sudah terlindungi, tapi aku yakin tinjuku pasti rasanya sakit sekali karena memang aku tidak main-main kali ini.

Setelah beberapa saat Binar mendekat lagi. Ia meninju dengan membagi buta dan kembali menargetkan wajahku sebagai sasarannya yang jelas bisa kublokir dengan gampang. Aku membalasnya dengan meninju wajahnya dan ternyata Binar bisa memblokir tinjuku dengan tangannya, tapi bagian lain dari tubuhnya terbuka, seketika kumanfaatkan hal itu.  Kuarahkan tanganku yang lain ke arah tulang rusuknya. Dan kena! Biar meringis kesakitan sambil membungkuk dan terbatuk-batuk.

"Baru segitu masa sudah menyerah? Mana Binar yang tadi mau memperkosa seseorang?" tanyaku dengan napas memburu karena rasanya dadaku hampir meledak, bukan hanya karena pertandingan ini tapi juga karena teringat apa yang kulihat tadi.

Binar mendelik padaku. Mendesah. Lalu meludahkan Gumshield-nya. "Mas, haruskah seperti ini?!" tanyanya lemah tapi syarat akan emosi. Dia masih menunduk sambil memegangi rusuknya yang pasti terasa ngilu.

"Apanya yang seperti ini?" tanyaku balik.

"Mas Ranu benar-benar mau membunuhku?"

Aku berdecak meremehkannya. "Ini hanya pelajaran kecil. Come on. Jangan cemen jadi laki-laki. Ke mana sikap gentle-mu tadi?" kataku lagi.

Binar masih meringis-ringis memegangi perutnya. "Tapi ini sudah dua jam, Mas."

"Dan aku akan melakukannya sepanjang hari jika kamu belum bisa memukulku bahkan sekali."

"Ayolah, Mas," pintanya. Lalu dia membuka Boxing head guard-nya dan membuangnya asal. "Rasanya tubuhku sudah mati rasa."

"Dan kamu akan benar-benar mati jika benar-benar melakukannya tadi. Bukan aku yang akan membunuhmu tapi orang tua gadis itu."

"Namanya Arunika."

"Aku tidak peduli siapa namanya," bohongku.

"Dan aku mencintainya."

"Oh, ya?" tanyaku mencemooh. "Cinta macam apa yang kau punya sampai mau memperkosanya?"

"Kami melakukannya atas dasar suka sama suka! Tak ada yang memaksa. Mas Ranu salah paham!" katanya bersikukuh membela diri. "Dan kami sudah pacaran satu minggu," lanjutnya seraya mengatur napas yang ngos-ngosan.

"Ooh, jadi karena sekarang kalian pacaran, terus menurutmu kamu berhak menidurinya?"

"Bukan begitu, Mas!"

"Pakai!" kataku tegas menyuruhnya memakai pelindung kepalanya. Mendengar aneka pembelaannya rasanya darahku mendidih.

Binar berdecak tidak langsung menuruti ucapanku.

"Pakai!" kataku lagi.

Dia lantas berdiri menegapkan badan dengan kesusahan, dan tetap tidak mau memakai helm-nya. "Aku tahu Mas Ranu sangat ingin menghajarku, 'kan. Yasudah, silahkan hajar aku sampai Mas Ranu puas. Aku tak akan melawan," katanya pasrah.

Aku hanya bisa mendesah. "Binar. Pakai helm-mu atau aku akan benar-benar menghajarmu."

"Hajar saja," tantangnya. "Toh, dari tadi itu yang Mas Ranu lakukan."

Aku memandangnya datar. "Berarti kamu sudah merelakan gadis itu?" tanyaku. "Bukankah kesepakatan awal kita jika kamu tidak bisa memukulku kamu harus memutuskannya?" kataku mengingatkan akan perjanjian awal kami sebelum memulai tanding ini.

"Aku tidak akan memutuskannya. Aku mencintainya."

"Kalau begitu kamu harus memukulku. Dan jika kamu bisa, bukan hanya merestui hubungan kalian aku bahkan tidak akan ikut campur lagi dengan urusanmu, apa pun itu."

"Tapi kita berdua sama-sama tahu kalau aku tidak akan bisa melakukannya! Aku bukan tandingan Mas Ranu!" geramnya frustasi.

"Kalau begitu kamu harus memutuskannya."

"SUDAH BERAPA KALI KUKATAKAN KALAU AKU MENCINTAINYA! AKU MENGINGINKANNYA! KENAPA MAS RANU TIDAK MAU MENGERTI! APA MAS RANU TIDAK PERNAH JATUH CINTA? APA CUMA MAS RANU YANG BERHAK MENCINTAI?" teriaknya penuh emosi. Yang justru menyulut emosiku juga yang memang sejak tadi sudah meletup-letup sampai ubun-ubun.

Aku mendekati Binar dengan langkah lebar. Kuangkat tanganku siap meninju wajahnya yang menyorot tajam padaku.

"Tahu apa kamu tentang cinta? Hm?" bisikku penuh emosi juga.

Binar hanya diam menunggu bogemku mendarat ke wajahnya.

Tapi aku tak segera memukulnya. Tanganku masih setia di udara. Aku memandang Binar tajam tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian berbalik pergi meninggalkannya begitu saja.

Kubuka sarung tinjuku lalu melemparkannya pada Banu yang sejak tadi menonton pertandingan kami.

"Bisa tolong cek keadaan dia?"

Banu mengangguk mengangkat jempolnya. "Serahkan padaku."

"Thanks," kataku lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dan menenangkan diri.

Dalam hati aku membatin, apakah sebegini susahnya menjadi orang tua? Mengurus keluarga? Membesarkan anak-anak? Kasus Binar mungkin hanya sebagian kecil saja, tapi rasanya kepalaku hampir pecah memikirkannya.

"Ayah, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi memikul semuanya. Ini semua terlalu berat untukku. Maafkan aku kalau kali ini terlalu kejam padanya. Aku hanya tidak ingin hal buruk menimpanya. Aku menyayanginya, Ayah. Sangat."

*****

Aku mendekati Binar yang sedang diobati oleh Banu di sebuah bangku yang ada di sekitar ring. Terdapat beberapa lebam di tubuhnya tapi tidak terlalu parah, karena memang aku tidak menargetkan pukulanku ke arah titik-titik fital di tubuhnya. Dan lagi, Binar juga menggunakan alat pelindung lengkap, sehingga dapat mengurangi dampak dari pukulanku padanya.

Binar terlihat meringis saat Banu memberikan obat ke arah bibirnya yang terluka.

"Bagaimana?" tanyaku. Keduanya serempak menoleh, tapi Binar langsung membuang mukanya ke arah lain.

"Nggak ada luka serius. Cuma beberapa lebam saja. Kurasa dia hanya kehabisan stamina. Kalian sparring sampai dua jam, btw," ujar Banu.

Aku mengangguk membenarkan ucapannya.

"Sini, biar aku saja," pintaku. Banu terlihat menoleh sekilas ke Arah Binar. Dan setelah tahu maksudku dia langsung mengangguk memberikan tempatnya padaku.

Aku segera mengambil alih tugas Banu yang sedang mengobati Binar. Saat aku hendak mengobati ujung bibir Binar, dia menepis tanganku.

"Nggak perlu. Aku bisa sendiri," ujarnya marah merebut kapas di tanganku.

Aku mendesah. Tapi tetap menurutinya. Memperhatikannya yang sedang mengobati ujung bibirnya sendiri.

"Apa kamu akan tetap mempertahankannya?" tanyaku padanya.

"Sudah kubilang aku mencintainya, Mas. Aku akan tetap mempertahankannya."

Aku menatap Binar yang sepertinya serius dengan ucapannya.

"Kalau kamu memang benar mencintainya, seharusnya kamu tidak melakukannya. Cinta itu dijaga, bukan dirusak," kataku pelan menasehatinya. Mengutip dari kata-kata seorang penulis di buku yang aku lupa judulnya apa.

"Kehilangan keperawanan bukan berarti gadis rusak," sanggahnya tegas tidak terima dengan ucapanku.

"Oh, ya?"

"Keperawanan bukan segalanya. Jika ada laki-laki yang mempermasalahkan keperawanan perempuan berarti dia sampah."

Aku terkejut mendengar pembelaannya seolah dia orang paling benar sedunia.

"Dan hal itu dikatakan dengan sangat jelas oleh orang yang baru pacaran satu minggu tapi sudah mau meniduri pacarnya," cibirku.

Binar diam dan mendelik padaku. Mendegkus tapi tak lagi berargumen.

"Kenapa hal itu bisa dikatakan merusak? Apa kamu yakin, kelak kalian akan terus bersama? Apa kamu yakin dia adalah jodohmu? Apa kamu yakin hubungan kalian akan langgeng selamanya?"

Binar akhirnya menoleh padaku. Memfokuskan atensinya padaku. Sepertinya apa yang aku katakan mengusik hatinya dan aku memanfaatkan itu.

"Kalian sekarang bahkan masih SMA. Dia kelas berapa?" tanyaku menjeda.

Binar terlihat tak yakin untuk menjawab, tapi akhirnya dia mengatakannya juga. "Sepuluh."

Aku mengangkat alis pura-pura terkejut. Karena memang sebenarnya aku sudah tahu kalau gadis itu kelas sepuluh.

"Astaga, Binar. Dia bahkan masih di bawah umur. Kamu bisa terkena pasal pencabulan. Belum lagi jika nanti dia hamil. Oh ya Tuhan. Apa kamu tidak berpikir sampai sana? Masa depannya akan langsung hancur. Tidak bisa sekolah. Tidak bisa menggapai cita-citanya. Dikucilkan. Dipandang rendah. Belum lagi harus mengandung dan melahirkan. Apa kamu tahu melahirkan di usia itu banyak resikonya? Dan resiko terbesarnya adalah meninggal dunia. Apa itu yang kamu namakan cinta? Apa itu namanya jika bukan merusak?" ujarku panjang lebar berharap Binar sadar jika satu perbuatan salah bisa membawa berjuta dampak negatif lainnya.

Binar terlihat menunduk. Agaknya dia sedang memikirkan perkataanku.

"Aku tidak melarangmu untuk pacaran, asalkan pacaranlah dengan sehat," kataku. "Tapi jika kamu tidak bisa menjaga nafsumu, lebih baik jauhi dia untuk sementara waktu."

Binar masih diam dan aku memanfaatkan momen itu untuk mengompres lebam-lebam di tubuhnya. Binar meringis saat aku menempelkan ice bag di beberapa bagian tubuhnya.

"Tahan, ini cuma sebentar. Sehabis ini kita ke rumah sakit."

*****

Beberapa hari kemudian Binar seolah menjauhiku. Dia selalu berangkat pagi-pagi dan pulang larut layaknya budak korporat. Bahkan ada momen di mana aku sama sekali tak melihatnya hampir tiga hari padahal kami tinggal dalam satu rumah.

Dan soal sparring saat itu, Bunda memarahiku habis-habisan karena telah membuat Binar babak belur seperti itu. Aku hanya memberikan alasan kalau itu hanyalah latihan kebugaran karena tidak mungkin aku mengatakan pada Bunda yang sebenarnya tentang apa yang hampir saja Binar lakukan pada pacarnya. Kalau saja Bunda tahu, aku sangat yakin Bunda akan menghajar Binar melebihi apa yang kulakukan padanya.

Lalu pada suatu hari di saat dia akhirnya pulang sore untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tiba-tiba Binar mendatangiku. "Kami sudah putus," katanya pelan sambil berlalu.

TBC
*****

Instagram : Zeeniyee_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top