29
*****
"Masih sakit?" tanya Ranu.
Kami baru saja melakukannya lima belas menit yang lalu untuk pertama kalinya. Dan yah, ternyata sakitnya luar biasa. Tubuhku bagai dibelah menjadi dua.
Aku tidak menyangka rasa sakitnya akan seperti ini. Aku pikir tidak akan sesakit ini karena aku pernah mendengar, katanya rasa sakitnya tidak akan sesakit itu. Tapi yang kurasakan sekarang memang benar-benar tidak bisa diprediksikan dengan kata-kata saking sakitnya.
Walaupun aku juga pernah mendengar kalau perempuan itu berbeda-beda. Ada yang merasakan sakit seperti apa yang kurasakan sekarang, ada yang hanya biasa saja dan bahkan ada yang tidak merasakan sakit sama sekali. Sungguh beruntung mereka yang tidak merasakan sakit di malam pertama mereka.
Aku pernah mengira mungkin hanya mereka yang tidak tahan dengan rasa sakit yang mengeluhkan sakit di malam pertama mereka, tapi nyatanya sekarang aku mengalaminya sendiri padahal aku bukan orang yang manja dan takut dengan rasa sakit.
Apakah karena aku merasa tegang ya? Padahal rasanya aku sudah mencoba merilekskan badan. Ranu juga sudah melakukan foreplay lama sampai aku benar-benar siap untuk melakukannya. Tapi tetap saja aku masih kesakitan saat Ranu mulai melakukannya.
Tapi dengan adanya rasa sakit ini aku jadi merasa puas karena artinya malam itu memang tidak terjadi apa-apa padaku. Aku tidak jadi diperkosa di saat aku teler kala itu. Mungkin si pemerkosa tiba-tiba mendapat hidayah saat hendak melakukannya. Padahal saat itu aku sudah dalam keadaan tidak berdaya. Andai dulu dia melakukannya dan meninggalkanku setelahnya seperti saat itu, aku juga tidak akan pernah tahu dia siapa.
"Masih lah. Sakit banget ini," jawabku seraya mengusap air mata yang meleleh di pelipisku.
"Maaf ya, sayang." Ranu mengusap air mata di pelipisku yang satunya lalu dia menciumku lagi. Malam ini rasanya dia banyak sekali menciumku, seolah ingin menandai seluruh tubuhku jika semua itu miliknya.
Lalu dia menarikku dalam dekapannya. "Dibuat tidur saja ya, biar besok kamu punya tenaga," ujarnya sembari mempererat pelukannya.
Aku mendongak menatap Ranu yang mulai memejamkan mata, pikiranku mulai berkelana, apakah besok dia akan memintanya lagi? Bagaimana jika besok dia meminta lagi? Apa aku bisa melakukannya? Membayangkan akan merasakan sakit seperti ini lagi rasanya aku belum sanggup. Tapi meskipun begitu aku tidak bisa mengatakan itu pada Ranu. Aku takut mengecewakannya.
Dan besoknya ternyata Ranu tidak memintanya lagi. Jujur aku merasa bersyukur dia tidak memintanya lagi padaku, karena rasanya tubuhku belum sanggup untuk melakukannya lagi.
Hingga tiga hari kemudian dia juga masih tidak meminta hal itu lagi padaku. Sekarang aku mulai dilanda kecemasan. Dalam benakku muncul berbagai macam pertanyaan, apa malam itu dia tidak puas dengan diriku? Apa pelayananku tidak memuaskan untuknya? Apa dia tidak suka melakukan itu denganku? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang bercokol di kepalaku, dan aku tidak tahu jawabannya apa. Akhirnya, karena tidak ihi semakin merasa gelisah sendiri, pada malam Jum'at di saat dia pulang agak telat, setelah Ranu selesai mandi dan makan malam, aku memberanikan diri untuk menawarkan diri padanya.
"Mas, mau … itu … nggak?"
*****
Hubungan kami semakin harmonis dari hari ke hari. Terhitung sudah lebih dari satu bulan setelah malam pertama itu terjadi. Sekarang aku mulai berperan menjadi istri yang sesungguhnya untuk Ranu dan dia pun berperan sebagai suami yang sangat baik untukku. Rumah tanggaku dan dia berjalan sebagaimana mestinya sebuah pernikahan dijalankan. Mengenal Ranu lebih dalam ternyata menyenangkan. Dia benar-benar orang yang sangat baik sekali. Pengertian. Perhatian. Lembut dan penyayang. Ranu bahkan selalu tahu apa yang aku inginkan bahkan sebelum aku mengatakan.
Contohnya seperti malam ini saat aku melihat televisi ada iklan orang makan mie instan, tiba-tiba aku ingin makan sate taican. Aku hanya menceletuk seperti itu dan beberapa menit setelahnya ada driver makanan yang datang mengantarkan sate taican.
Lalu kemarin saat ada iklan sabun mandi aku hanya mengatakan, "Kayaknya panas-panas begini enak kalau spa." Ranu langsung mereservasi tempat spa untuk kita berdua.
Di hari sebelumnya lagi aku hanya menceritakan tentang betapa serunya saat kami jalan-jalan keliling Jakarta waktu itu dan satu jam kemudian teman-teman motornya datang dan mengajak kami pawai keliling Jakarta lagi seperti waktu itu.
Dan masih banyak lagi hal-hal yang ia lakukan secara tiba-tiba untukku. Mungkin seandainya aku mengatakan ingin punya jet pribadi bakal langsung dia kabulkan saat itu juga meski harus menjual negara.
Ternyata benar apa kata Binar dulu, mungkin jika aku mengenal Ranu lebih dulu dari pada dia aku akan jatuh cinta padanya. Karena Ranu memang tipikal orang yang sangat mudah dicintai oleh siapapun. Sikapnya yang humble, santai dan baik itulah yang paling memikat hati.
Karena nyatanya sekarang aku juga sudah jatuh cinta pada Ranu. Di manapun aku berada dan kemanapun mataku memandang semuanya akan berporos padanya. Bahkan sekarang aku tidak bisa jauh-jauh dari Ranu. Jika dia sedang bekerja aku akan sering-sering meneleponnya. Jika dia sedang di rumah aku akan dekat-dekat dengannya. Dan jika dia sedang tidur aku akan masuk dalam pelukannya.
Ranu benar-benar gambaran suami-suami idaman setiap perempuan di luar sana. Bahkan tokoh-tokoh fiksi yang ada di novel-novel kalah romantisnya dari Ranu.
Dan dari semua itu ada satu hal yang paling kusuka darinya yaitu setiap kami selesai bercinta dia akan berlama-lama menciumi perutku sembari mengatakan, "Hai, Boys cepat tumbuh di dalam perut Bunda ya?" Seolah dia sudah sangat ingin sekali ada anaknya di dalam perutku.
****
"Ini dia kopinya Bapak Ranu Biru Aryasatya suaminya Arunika Himallaura Putri yang cantik jelita." Aku menaruh kopi di depan Ranu yang sedang mengerjakan sesuatu di bekas kamarku dulu yang ia sulap menjadi ruang kerjanya.
Ranu terkekeh mendengar aku mengatakan itu. "Terima kasih Arunika Himallaura Putri istrinya Ranu Biru Aryasatya yang cantik jelita," balasnya menirukan gaya bicaraku tadi yang membuatku terbahak mendengarnya.
Dan yah, beginilah dia. Dia akan selalu mengimbangi kekonyolanku yang kadang absurd itu. Bahkan aku sering berpikir ini dia yang terlampau bucin atau aku yang terlalu konyol. Kami bagaikan soulmate yang sudah klop satu sama lain.
Mengabaikan gurauan Ranu, aku lekas saja membuka tangannya yang tadi dia taruh di atas meja, lalu masuk ke dalam pelukannya dan duduk di pangkuannya.
"Lagi ngerjain apa?" tanyaku seraya merebahkan kepalaku di dadanya. Ranu sendiri langsung memeluk pinggangku dan sama sekali tak merasa terganggu.
"Biasa masih kasus yang kemarin," ujarnya setelah mengecup rambutku.
"Yang sengketa tanah itu?" Aku mendongak padanya.
Ranu menunduk dan mengecup pipiku. "Iya." Lalu dia mencium hidungku, pipiku yang satunya kemudian bibirku. Kami berciuman lumayan lama. Hingga akhirnya aku mendorong dadanya baru Ranu melepaskan ciumannya.
"Yang kasus itu belum selesai?" tanyaku lagi setelah ciuman kami usai. Sekarang aku sedang mengusap-usap cambang Ranu yang mulai memanjang.
"Belum, sayang. Pihak klienku bukti-buktinya kurang kuat. Jadi harus benar-benar jeli untuk mencari celah mereka," kata Ranu.
"Tapi klien Mas Ranu ada di pihak yang benar, kan?"
"Iya. Tanah itu dulu diwariskan padanya. Karena dia pindah ke Jakarta tanah itu dikelola oleh kakaknya. Kakaknya menikah dengan janda beranak satu. Dan selama pernikahan mereka tidak memiliki anak. Sekarang anaknya itu sudah besar, dia tahunya tanah itu milik ayahnya. Ayahnya sekarang sudah meninggal dan dia berniat ingin menjual tanah itu. Klienku yang mendengarnya tentu tidak terima dan ingin mengambil tanah itu kembali. Tapi pihak sana juga ternyata mempunyai sertifikat resmi. Kecurangan seperti ini memang sering terjadi," jelasnya panjang lebar yang sebenarnya aku tidak mengerti. "Dan awal bulan depan aku harus ke Kalimantan lagi, Aru."
Tanganku yang sedang mengelus cambang Ranu sontak terhenti. Aku menatap mata Ranu yang tengah menatapku juga.
"Jadi Mas Ranu mau ke Kalimantan lagi?"
Ranu mengangguk. "Iya. Nanti kamu bisa di rumah Mama atau di rumah Bunda dulu seperti biasanya."
"Awal bulan depan kan tinggal seminggu lagi Mas," gerutuku.
"Iya. Maaf, Aru, aku lupa mengatakannya padamu."
"Berarti aku bakal ditinggal lagi dong!" Aku cemberut menatap Ranu. Ranu sendiri malah terkekeh sembari mencubit hidungku.
"Nggak lama kok cuma tiga minggu saja," katanya.
"Tiga minggu itu lama, Mas," gerutuku lagi. Aku memang sering ditinggal-tinggal Ranu saat dia ada kerjaan di luar kota, tapi biasanya tak pernah lama, hanya sekitar dua atau tiga harian. Atau paling hanya semingguan saja. Belum pernah sampai tiga minggu seperti ini. Jelas bagiku akan terasa lama.
Ranu terkekeh dan mengambil daguku dengan jemarinya, mengangkat wajahku agar menghadap padanya.
"Aku senang akhirnya bisa mendapatkan perhatianmu Aru," ujarnya menatap dalam mataku.
Aku balas menatap mata teduh Ranu. "Apa aku belum pernah mengatakannya padamu, Mas?" tanyaku.
Kening Ranu berkerut. "Mengatakan apa?"
Aku pura-pura berpikir. Setelah lima detik aku baru mengatakannya. "Kalau aku mencintaimu?"
Dan kening Ranu semakin berkerut seolah tidak percaya dengan apa yang kukatakan. "Apa itu benar? Bisa coba ulangi lagi, Aru?" pintanya.
Tapi aku tak mau menurutinya. Kuputar tubuhku menghadap ke depan tapi tetap masih dalam pangkuan Ranu.
"Aru, coba ulangi lagi yang tadi," pintanya membalikkan tubuhku agar kembali menghadap padanya.
"Yang mana?" Aku pura-pura tak tahu.
"Yang tadi."
"Yang aku mencintaimu?"
"Ya. Apa itu benar?"
"Kalau itu benar Mas Ranu mau ngasih aku apa? Kalau salah aku bakal dikasih apa?" tantangku padanya.
Ranu menatapku dengan wajah berbinar. "Aku akan kasih segalanya untukmu."
Lalu Ranu mengangkatku dalam gendongannya seperti koala dan membawaku ke kamar kami. Dia menjatuhkanku di atas tempat tidur dan mengukungku di bawah tubuhnya.
"Aku mencintaimu, Aru." Ranu menciumku. Aku membalas ciuman Ranu.
"Aku juga mencintaimu, Mas."
Malam itu kami melakukannya dengan suasana hati yang berkali-kali lipat bahagia.
TBC
*****
Astaghfirullah, sinetron sekali part ini 🙈🙈
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top